Strategi Belajar Mengajar
________________________________________
MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Rasional
Pendidikan memiliki peranan yang sangat sentral dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), misalnya, menunjukkan akan peran strategis pendidikan dalam pembentukan SDM yang berkualitas. Karakter manusia Indonesia yang diharapkan menurut undang-undang tersebut adalah manusia yang beriman dan bertaqwa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, maju, cerdas, kreatif, terampil, disiplin, profesional, bertanggung jawab, produktif, serta sehat jasmani dan rohani. Upaya efektif untuk membentuk karakter manusia seperti ini dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas pendidikan. Untuk itu, pendidikan harus dilandaskan pada empat pilar pendidikan, yaitu: (1) learning to know, di mana siswa mempelajari pengetahuan; (2) learning to do, di mana siswa menggunakan pengetahuannya untuk mengembangkan keterampilan; (3) learning to be, di mana siswa belajar menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk hidup; dan (4) learning to live together, di mana siswa belajar untuk menyadari bahwa adanya saling ketergantungan sehingga diperlukan adanya saling menghargai antara sesama.
Sejalan dengan hal tersebut, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) saat ini semakin pesat mengakibatkan setiap orang harus memiliki kualitas pendidikan yang baik agar dapat mengikuti perkembangan yang terjadi dan memiliki daya saing yang tinggi. Perkembangan IPTEK yang terjadi menyebabkan manusia dituntut memiliki kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, kreatif, bernalar, dan kemampuan bekerja sama yang efektif. Oleh karena itu, diperlukan adanya fungsi dan peranan pendidikan dalam menghadapi IPTEK yang semakin pesat. Sesuai dengan Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Salah satu mata pelajaran yang membekali siswa untuk mengembangkan kemampuan – kemampuan tersebut adalah matematika, karena matematika memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar konsepnya sehingga memungkinkan siswa terampil berpikir rasional (Irwan (2011) dalam Mandur, dkk (2013)). Namun sayangnya, kualitas pendidikan di Indonesia pada mata pelajaran matematika masih sangat rendah. Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari beberapa hasil studi seperti Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2011 menyatakan Indonesia berada pada peringkat ke-38 dari 42 negara dengan skor rata-rata 386, sedangkan skor rata-rata internasional 500 (TIMSS, 2011), penilaian oleh Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2012 yang menyatakan Indonesia berada pada peringkat ke-64 dari 65 negara peserta tes, dengan skor matematika yaitu 375 sedangkan rata-rata OECD adalah 494 (Kompas, 2013). Dari hasil penelitian tersebut terlihat jelas bahwa kemampuan siswa siswi di Indonesia dalam bidang matematika masih sangat rendah. Hal ini tentunya menjadi suatu hal serius yang harus segera dicarikan solusimya, mengingat kemampuan dalam bidang matematika sangat penting untuk dimiliki. Sebab banyak permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang dapat diselesaikan dengan konsep matematika.
Berdasarkan data di atas, perlu kiranya kita untuk mulai memikirkan permasalahan yang dihadapi oleh siswa yang menyebabkan kemampuan mereka dalam bidang matematika rendah. Permasalahan yang banyak dihadapi oleh para siswa yang menyebabkan rendahnya kemampuan pemahaman mereka mengenai konsep materi yang diajarkan antara lain: (1) banyak dari siswa yang mampu menyajikan tingkat hapalan yang baik terhadap materi ajar yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya; (2) sebagian besar siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan atau dimanfaatkan; (3) masih banyak siswa yang diajarkan dengan menggunakan metode ceramah dan dengan menggunakan sesuatu yang abstrak sehingga mereka memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah guru diharapkan mampu menggunakan model pembelajaran yang sesuai dalam membelajarkan matematika kepada siswa. Metode pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu metode yang dirasa mampu untuk menciptakan suasana belajar yang mendukung terjadinya pembelajaran yang bermakna.
Model pembelajaran berbasis masalah berbeda dengan model pembelajaran yang lainnya. Dalam model pembelajaran ini, peranan guru adalah menyodorkan berbagai masalah, memberikan pertanyaan, dan memfasilitasi investigasi dan dialog. Hal yang paling utama adalah guru menyediakan kerangka pendukung yang dapat meningkatkan kemampuan penyelidikan dan intelegensi peserta didik dalam berpikir. Proses pembelajaran diarahkan agar peserta didik mampu menyelesaikan masalah secara sistematis dan logis. Model pembelajaran ini dapat terjadi jika guru dapat menciptakan lingkungan kelas yang terbuka dan jujur, karena kelas itu sendiri merupakan tempat pertukaran ide-ide peserta didik dalam menanggapi berbagai masalah.
1.2 Rumusan Masalah
Mengacu pada rasional yang telah diuraikan di atas, adapun beberapa masalah yang akan dikaji dalam paper ini yaitu sebagai berikut.
1) Apa landasan filosofis model pembelajaran berbasis masalah?
2) Apa landasan teoritis model pembelajaran berbasis masalah?
3) Bagaimana sintaks model pembelajaran berbasis masalah?
4) Bagaimana implementasi model pembelajaran berbasis masalah dalam pembelajaran matematika?
5) Bagaimana situasi ideal yang diperlukan untuk menerapkan model pembelajaran berbasis masalah dalam pembelajaran matematika?
6) Apa keunggulan dari model pembelajaran berbasis masalah?
7) Apa kelemahan dari model pembelajaran berbasis masalah?
8) Apa saja upaya yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil belajar pada model pembelajaran berbasis masalah dalam pembelajaran matematika?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan paper ini adalah sebagai berikut.
1) Mengkaji landasan filosofis model pembelajaran berbasis masalah.
2) Mengkaji landasan teoritis model pembelajaran berbasis masalah.
3) Merumuskan sintak model pembelajaran berbasis masalah.
4) Menyusun rencana pembelajaran dengan mengimplementasikan model pembelajaran berbasis masalah dalam pembelajaran matematika.
5) Mengidentifikasi situasi ideal yang diperlukan untuk menerapkan model pembelajaran berbasis masalah dalam pembelajaran matematika.
6) Mengidentifikasi keunggulan model pembelajaran berbasis masalah.
7) Mengidentifikasi kelemahan model pembelajaran berbasis masalah.
8) Merumuskan upaya yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil belajar pada model pembelajaran berbasis masalah dalam pembelajaran matematika.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kajian Filosofis Pembelajaran Berbasis Masalah
Istilah pembelajaran berbasis masalah diadopsi dari istilah Inggris Problem Based Learning (PBL). Berikut beberpa pengertian tentang model pembelajaran berbasis masalah menurut para ahli :
a) Menurut Dewey (dalam Trianto, 2009:91) belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dan respon, merupakan hubungan dua arah antara belajar dan lingkungan. Lingkungan memberikan masukan kepada peserta didik berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dicari pemecahannya dengan baik.
b) Menurut Arends (dalam Trianto, 2009:92), pengajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri.
Pembelajaran berbasis masalah memiliki ciri – ciri seperti (Tan, 2003; Wee & Kek, 2002; dalam Amir (2006)): pembelajaran dimulai dengan pemberian masalah, biasanya masalah memiliki konteks dengan dunia nyata, peserta didik secara berkelompok aktif merumuskan masalah dan mengidentifikasi kesenjangan pengetahuan mereka, mempelajari dan mencari sendiri materi yang terkait dengan masalah dan melaporkan solusi dari masalah. Sementara guru lebih banyak memfasilitasi. Dan karakteristik dari model pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut: (1) Pembelajaran dipandu oleh masalah yang menantang; (2) Para siswa bekerja dalam kelompok kecil; (3) Guru mengambil peran sebagai fasilitator dalam pembelajaran.
Terdapat suatu hal yang menjadi ciri khas dari pembelajaran berbasis masalah yakni pemberian masalah padaawal pembelajaran. Kita mengetahui manusia merupakan makhluk yang sulit untuk melepaskan diri dari zona nyaman yang mereka miliki. Manusia berusaha untuk tetap berada pada zona nyaman yang dimilikinya. Namun, keadaan manusia yang berusaha mempertahankan diri pada zona nyamannya membuat mereka menjadi lebih pasif. Berbeda halnya ketika manusia dihadapkan pada kondisi yang memaksanya menjauhi zona nyamannya. Ketika manusia dihadapkan pada suatu masalah maka mereka akan berusaha untuk mencari solusi dari masalah yang mereka hadapi. Misalkan saja ketika manusia dihadapkan pada kondisi sulit untuk memperoleh makanan tapi mereka sedang lapar, maka manusia akan berfikir dan berusaha untuk mencari dan mendapatkan makanan.
Berdasarkan keadaan tersebut landasan filosofis dari pembelajaran berbasis masalah adalah manusia akan berusaha untuk berfikir, belajar dan mencari solusi ketika dihadapkan pada suatu masalah. Atau dengan kata lain masalah menyebabkan seseorang memiliki keinginan dan rasa untuk terus belajar agar dapat mencari solusi atas permasalahan yang sedang dihadapinya. Karena manusia terbiasa menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya maka lama-kelamaan manusia akan menganggap jika belajar merupakan suatu kebutuhan. Dan kita juga perlu sadari jika belajar bukan hanya sekadar menempuh pendidikan di jenjang formal, tetapi belajar dapat dilakukan dimana saja dengan siapa saja. Oleh karena itulah belajar itu sepanjang hayat.
2.2 Landasan Teoritik Pembelajaran Berbasis Masalah
Ada beberapa teori yang melandasi model pembelajaran berbasis masalah, yakni: (1) teori konstruktivis menurut Jean Piaget; (2) teori penemuan Jerome S. Bruner; (3) teori konstruktivis menurut Vygotsky; (4) teori belajar bermakna David Ausubel; dan (5) Teori John Dewey.
1) Teori Belajar Konstruktivis menurut Jean Piaget
Teori belajar konstruktivistik yang dikembangkan oleh Piaget dikenal dengan nama konstruktivistik kognitif (personal constructivism). Teorinya berisi konsep-konsep utama di bidang psikologi perkembangan dan berkenaan dengan pertumbuhan intelegensi, yang untuk Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih akurat merepresentasikan dunia, dan mengerjakan operasi-operasi logis dari representasi-representasi konsep realitas dunia. Teori ini memiliki fokus perhatian pada bangkitnya dan dimilikinya skema—skema bagaimana seseorang mengenal dunia dalam saat "tingkatan-tingkatan perkembangan", ketika anak-anak menerima cara baru bagaimana secara mental merepresentasikan informasi.
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak. Pada teori ini konsekuensinya dalah siswa harus memiliki ketrampilan untuk menyesuaikan diri atau adaptasi secara tepat. Ada empat konsep dasar yang diperkenalkan oleh Piaget, yaitu:
a) Schemata adalah kumpulan konsep atau kategori yang digunakan individu ketika beradaptasi dengan lingkungan baru, konsep ini sendiri terbentuk dalam struktur pekiran (Intellectual Scheme) sehingga dengan intelektualnya itu manusia dapat menata lingkungan barunya. Jadi shemata adalah suatu struktur kognitif yang slalu berkembang dan berubah, karena proses asimiliasi dan proses akomodasi aktif serta dinamis.
b) Asimilasi adalah proses penyesuian informasi yang akan diterima sehingga menjadi sesuatu yang dikenal oleh siswa, proses penyesuian yang dilakukan dalam asimilasi adalah mengolah informasi yanga akan diterima, sehingga memilki kesamaan dengan apa yang sudah ada dalam skema.
c) Akomodasi adalah penempatan informasi yang sudah diubah dalam schemata ynag sudah ada, untuk penempatan tersebut schema perlu menyesuiakan diri.
d) Equilibrium (keseimbangan) adalah sebuah proses adaptasi oleh individu terhadap lingkungan individu, agar berusaha untuk mencapai struktural mental atau schemata yang stabil atau seimbang antara asimilasi dan akomodasi.
2) Teori Penemuan Jerome S. Bruner
Discovery learning merupakan salah satu teori yang dikemukakan oleh Jerome S. Bruner. Dalam discovery learning siswa harus aktif dan kreatif dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Bruner berusaha untuk mengembangkan program pembelajaran yang lebih efektif bagi setiap anak sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak. Tahap-tahap perkembangan kognitif anak dijabarkan sebagai berikut:
a) Tahap enaktif (tingkat representasi sensory), seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya memahami lingkungan sekitar. Dalam tahap ini, anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya.
b) Tahap ikonik (representasi kongkrit), seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Dalam tahap ini, anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).
c) Tahap simbolik (representasi abstrak), seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam tahap ini, anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.
Adapun tahap-tahap penerapan belajar penemuan Bruner adalah: (1) Stimulus (pemberian perangsang); (2) Problem Statement (mengidentifikasi masalah); (3) Data collection (pengumpulan data); (4) Data prosessing (pengolahan data); (5) Verifikasi; dan (6) Generalisasi.
3) Teori Belajar Konstruktivis menurut Vygotsky
Teori belajar Vygotsky menekankan pada sosiokultural dalam pembelajaran. Siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya dipengaruhi oleh lingkungan sosial disekitarnya. Pengetahuan, sikap, pemikiran, tata nilai yang dimilki siswa akan berkembang melalui proses interaksi. Konsep penting dalam teori Vygotsky yaitu Zone Of Proximal Development (ZPD) dan Scaffolding. Zone Of Proximal Development adalah jarak antara perkembangan sesungguhnya dengan tingkat perkembangan potensial dimana siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuan dibawah bimbingan orang dewasa. Sedangkan scaffolding merupakan pemberian bantuan kepada peserta didik selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan mmemberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang makin besar setelah dapat melakukannya sendiri.
Vygotsky menekankan bahwa semua kemampuan mental tingkat tinggi seperti berpikir dan pemecahan masalah dimediasi dengan alat-alat psikologis seperti bahasa, lambang dan simbol. Vygotsky dalam penelitiannya membedakan dua macam konsep yaitu konsep spontan dan konsep ilmiah. Konsep spontan diperoleh dari pengetahuan sehari-hari, sedangkan konsep ilmiah diperoleh dari pengetahuan dan pembelajaran yang diperoleh dari sekolah. Konsep ini saling berhungan antara satu dengan yang lain.
Menurut teori Vygotsky untuk dapat menjelaskan bagaimana pengetahuan dibentuk, maka dirangkum dalam dua penjelasan yang bertahap. Pertama, realitas dan kebenaran dari dunia luar mengarahkan dan menentukan pengetahuan. Kedua, faktor eksternal dan internal mengarahkan pembentukan pengetahuan yang tumbuh melalui interaksi faktor-faktor esternal (kognitif) dan internal (lingkungan dan sosial).
Dalam teori Vygotsky dalam belajar terjadi proses perkembangan internal untuk membentuk pengetahuan barunya dengan bantuan orang lain yang kompeten, dan hal itu terjadi ketika individu berinteraksi dengan lingkungan-lingkungan sosialnya. Jadi kesiapan individu untuk belajar sangat bergantung pada stimulus lingkungan yang sesuai serta bentuk bimbingan dari orang lain yang berkompeten secara tepat, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna dan terwujud perkembangan potensi secara tepat.
4) Teori Belajar David Ausubel
Teori belajar David Ausubel terkenal dengan belajar bermaknanya. Belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua berkaitan dengan cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang sudah ada. Struktur kognitif adalah fakta–fakta, konsep–konsep dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.
Ausubel membedakan belajar bermakna (meaningful learning) dan belajar menghapal (rote learning). Belajar bermakna adalah proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang belajar. Sedangkan, belajar menghapal diperlukan bila seseorang memperoleh informasi baru dalam pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan yang telah diketahui. Belajar bermakna Ausubel erat kaitannya dengan pembelajaran berbasis masalah, karena dalam pembelajaran berbasis masalah pengetahuan tidak diberikan dalam bentuk jadi, melainkan siswa menemukan kembali. Selain itu pada pembelajaran berbasis masalah, informasi baru dikaitkan dengan struktur kognitif yang telah dimiliki siswa.
5) Teori John Dewey
Dalam bukunya, Democracy and Education, Dewey menerangkan mengenai pendidikan dalam diskursus pengalaman. Menurutnya, pendidikan adalah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman serta meningkatkan kemampuan untuk menentukan arah bagi pengalaman berikutnya. Penekanannya pada pengalaman ini menimbulkan konsekuensi teknis dalam formasi akal sehingga pendidikan itu merupakan formasi akal pikiran dengan jalan membentuk jaringan dan asosiasi tertentu dari pelajaran (subject matter) yang diperoleh dari luar.
Sedangkan dalam diskursus epsitemologik, Dewey mendefinisiskan pendidikan sebagai aktivitas yang memberi nilai tambah bagi pengalaman sehingga dapat mengarahkan pengalaman berikutnya, menambah kapasitas secara bertahap, merekonstruksi pengalaman atau mengorganisasikannya. Pemaknaan pendidikan seperti di atas dengan menggunakan kata kunci“rekonstruksi pengamalan”, bagi Dewey, memberi beberapa makna. Pertama rekonstruksi pendidikan menghendaki adanya suatu hasil (the result) dan proses. Artinya, pendidikan tidak identik dengan ketidakpastian arah atau tujuan dan tanpa melalui proses. Kedua, pengalaman dan kegiatan pendidikan yang secara kontinyu berkembang dan berubah merupakan bagian dari proses pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, pendidikan yang diselenggarakan harus senantiasa berkembang dan berubah, sejalan dengan tuntutan yang dihadapi oleh manusia. Ketiga, rekonstruksi pengalaman itu bisa saja terjadi, baik secara individu maupun kolektif.
2.3 Sintaks Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Sintaks suatu pembelajaran berisi langkah-langkah praktis yang harus dilakukan guru dan siswa dalam suatu kegiatan. Pada model pembelajaran berbasis masalah terdiri atas 5 (lima) langkah yang utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Kelima langkah tersebut dijelaskan berdasarkan langkah-langkah pada tabel 1.1
Tabel 1.1
Sintaks Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Tahap Aktivitas Guru
Tahap-1
Orientasi siswa pada masalah Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih.
Tahap-2
Mengorganisasi siswa untuk belajar Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Tahap -3
Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Guru membimbing siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
Tahap – 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
Tahap -5
Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
Sumber : Ibrahim, dkk (2000:10) dalam Trianto (2009: 98)
Menurut Ibrahim (2003: 15) dalam Trianto (2009: 97), di dalam kelas dengan model pembelajaran berbasis masalah, peran guru berbeda dengan di kelas tradisional/konvensional. Peran guru di dalam kelas dengan pembelajaran berbasis masalah antara lain sebagai berikut:
1) Mengajukan masalah atau mengorientasikan siswa kepada masalah autentik, yaitu masalah kehidupan nyata sehari-hari.
2) Memfasilitasi atau membimbing penyelidikan misalnya melakukan pengamatan atau melakukan eksperimen atau percobaan.
3) Memfasilitasi dialog siswa.
4) Mendukung belajar siswa.
2.4 Implementasi Model Pembelajaran Berbasis Masalah dalam Pembelajaran Matematika
Implementasi model pembelajaran berbasis masalah adalah mengenai bagaimana model pembelajaran ini diterapkan dalam pembelajaran sesuai dengan sintaks atau langkah-langkah dari model pembelajaran berbasis masalah. Adapun implementasi yang akan dibahas di bawah ini merupakan implementasi model pembelajaran berbasis masalah dalam pembelajaran matematika.
1) Implementasi dalam Mata Pelajaran Matematika Kelas VII dengan Topik Bilangan Bulat
Tahapan-tahapan dalam pengimplementasian model pembelajaran berbasis masalah sesuai dengan sintaksnya untuk topik bilangan adalah sebagai berikut:
1) Tahap ke-1, orientasi siswa pada masalah.
Guru mengajukan masalah dan meminta siswa untuk mempelajari masalah sebagai berikut:
Seorang anak akan menaiki anak tangga yang berjumlah 20. Sekarang anak itu berada pada anak tangga ke 10, karena ingin mengambil uang logam yang jatuh, anak itu turun sebanyak 5 anak tangga. Setelah uang logam diambil, kemudian dia naik lagi sebanyak 8 anak tangga dan berhenti karena kelelahan. Pada anak tangga ke berapa anak itu sekarang berada?
2) Tahap ke-2, mengorganisasikan siswa untuk belajar.
a) Membagi siswa ke dalam kelompok di mana satu kelompok terdiri dari 5 orang siswa yang memiliki kemampuan heterogen
b) Meminta siswa mengemukakan ide kelompoknya sendiri tentang menyelesaikan masalah tersebut. Misalnya kelompok A menggambarkan sebuah tangga dengan 20 anak tangga dan menggambar seorang anak yang berada pada anak tangga ke 10.
3) Tahap ke-3, membimbing penyelidikan individual maupun kelompok.
a) Membimbing siswa menemukan penjelasan dan pemecahan masalah yang diberikan oleh guru. Misalnya guru memberikan informasi kepada siswa bahwa naik satu anak tangga dinyatakan dengan (+1) dan turun satu anak tangga dinyatakan dengan (-1).
b) Dengan bimbingan guru, siswa menentukan posisi seorang anak pada tangga dengan cara : seorang mula-mula berada di anak tangga ke 10 dinyatakan dengan (+10), kemudian turun 5 anak tangga dinyatakan dengan (-5), kemudian naik 8 anak tangga lagi dinyatakan dengan (+8). Secara matematis ditulis : (10) + (-5) +8 = 13
4) Tahap ke-4, mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
Mendorong siswa untuk menyajikan hasil pemecahan masalah tersebut dengan cara menunjuk satu kelompok secara acak untuk menuliskan hasil diskusi kelompok di papan tulis dan kelompok yang lain menanggapi hasil penyajian kelompok yang maju.
5) Tahap ke-5, menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Membantu siswa mengkaji ulang proses atau hasil pemecahan masalah yang telah dipresentasikan di depan kelas. Kemudian bersama dengan siswa menarik kesimpulan posisi seorang anak itu berada pada anak tangga ke 13.
2) Implementasi Dalam Mata Pelajaran Matematika Kelas VII Dengan Topik Bilangan Dan Sub Topik Pola Bilangan
Salah satu contoh pengimplementasian model pembelajaran berbasis masalah dalam pembelajaran matematika digunakan materi matematika kelas VII yakni mengenai topik bilangan dan sub topik pola bilangan.
Tahapan-tahapan dalam pengimplementasian model pembelajaran berbasis masalah sesuai dengan sintaksnya untuk topik bilangan dan sub topik pola bilangan adalah sebagai berikut:
1) Tahap ke-1, orientasi siswa atau peserta didik pada masalah
Pada tahap ke-1, pembelajaran pada tahap ini dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan pada pembelajaran tersebut. Hal ini sangat penting untuk memberikan motivasi bagi peserta didik agar dapat mengetahui pembelajaran yang akan dilakukan. Kegiatan pembelajaran yang dimungkinkan pada tahap ini adalah sebagai berikut:
a) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran. Berdasarkan kompetensi dasar yang dipilih, tujuan pembelajaran adalah sebagai berikut.
Peserta didik dapat:
• Memahami pola dan menggunakannya untuk menduga dan membuat generalisasi (kesimpulan) serta untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
• Memiliki rasa ingin tahu
• Menunjukkan sikap tanggung jawab, kerjasama, dan tidak mudah menyerah dalam memecahkan masalah.
b) Guru mengajukan fenomena atau cerita untuk memunculkan masalah terkait pola, memotivasi peserta didik dengan menyampaikan kegunaan praktis dari pemahaman peserta didik terhadap penerapan pola yang dapat dipergunakan untuk menduga atau membuat suatu generalisasi atau kesimpulan.
c) Guru memberikan masalah terkait penerapan pola bilangan yaitu peserta didik diminta untuk memperkirakan berapa banyak kursi penonton yang dibutuhkan dalam suatu aula sekolah untuk acara kenaikan kelas. Jika susunan kursi penonton yang dirancang dalam suatu aula sekolah tersebut berbentuk trapesium samakaki seperti gambar berikut.
i) Jika pada susunan kursi baris pertama akan diisi 4 kursi, baris kedua diisi 6 kursi, baris ketiga diisi 8 kursi, dan seterusnya setiap baris ke belakang bertambah 2 kursi, berapakah banyaknya kursi yang dibutuhkan jika susunan kursi yang dibentuk ada 12 baris, 15 baris, dan 20 baris? Dapatkah kamu membuat rumus untuk memprediksikan banyak kursi penonton yang dibutuhkan dalam acara kenaikan kelas di aula sekolah tersebut jika terdapat n baris?
ii) Jika pada susunan kursi baris pertama akan diisi 7 kursi, baris kedua diisi 9 kursi, baris ketiga diisi 11 kursi, dan seterusnya setiap baris ke belakang bertambah 2 kursi, berapakah banyaknya kursi yang dibutuhkan jika susunan kursi yang dibentuk ada 10 baris, 12 baris, dan 15 baris? Dapatkah kamu membuat rumus untuk memprediksikan banyak kursi penonton yang dibutuhkan dalam acara kenaikan kelas di aula sekolah tersebut jika terdapat n baris?
d) Guru selanjutnya menjelaskan cara pembelajaran yang akan dilaksanakan berikutnya yaitu melalui penyelidikan, kerja kelompok, dan presentasi hasil.
2) Tahap ke-2, mengorganisasi siswa atau peserta didik dalam belajar
Pada tahap ini aktivitas utama guru adalah membantu peserta didik untuk belajar (mengorganisasikan peserta didik untuk belajar yang berhubungan dengan masalah yang diberikan). Kegiatan pembelajaran yang dimungkinkan pada tahap ini adalah sebagai berikut:
a) Guru mengelompokkan peserta didik dalam kelompok kecil yang terdiri atas 4-5 orang.
b) Guru memberi tugas kelompok untuk menyelesaikan masalah yang diberikan melalui diskusi kelompok.
c) Guru memberi kesempatan kepada kelompok untuk membaca buku peserta didik atau sumber lain atau melakukan penyelidikan guna memperoleh informasi yang berkaitan dengan masalah yang diberikan.
3) Tahap ke-3, membimbing penyelidikan secara individual maupun kelompok
Pada tahap ini, guru membimbing peserta didik dalam memecahkan masalah melalui penyelidikan individu maupun kelompok. Kegiatan pembelajaran yang dimungkinkan pada tahap ini adalah sebagai berikut.
a) Guru meminta peserta didik untuk melakukan penyelidikan dengan mengumpulkan informasi terkait banyak kursi penonton yang dibutuhkan dalam setiap baris dan banyak kursi dalam beberapa baris.
b) Guru membimbing peserta didik dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis dalam mencari jawaban terkait dengan masalah yang telah diberikan (misalnya berapa banyak kursi yang dibutuhkan dalam menyusun barisan ke-n dari kursi penonton).
4) Tahap ke-4, mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Pada tahap ini guru dapat membimbing peserta didik untuk mengembangkan hasil penyelidikannya dan meminta peserta didik mempresentasikan hasil temuannya. Kegiatan pembelajaran yang dimungkinkan pada tahap ini adalah sebagai berikut.
a) Guru meminta peserta didk untuk mengembangkan hasil penyelidikan menjadi bentuk umum (rumus umum) yaitu berapa banyak kursi penonton yang dibutuhkan jika terdapat n baris.
b) Guru meminta perwakilan kelompok untuk menyampaikan hasil temuannya (jawaban terhadap masalah yang diberikan) dan memberi kesempatan kepada kelompok lain untuk menanggapi dan memberi pendapat terhadap presentasi kelompok.
5) Tahap ke-5, menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Pada tahap ini guru memandu/memfasilitasi peserta didik untuk menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah yang diperolehnya. Kegiatan pembelajaran yang dimungkinkan pada tahap ini adalah sebagai berikut.
a) Guru membimbing siswa untuk melakukan analisis terhadap pemecahan masalah terkait pola bilangan yang telah ditemukan siswa.
b) Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
c) Guru melakukan evaluasi hasil belajar mengenai materi yang telah dipelajari siswa.
2.5 Situasi Ideal untuk Menerapkan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dalam Pembelajaran Matematika
Model pembelajaran berbasis masalah terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik. Oleh karena itu, model pembelajaran berbasis masalah akan sangat baik diterapkan pada materi-materi yang penerapannya atau masalah yang berkaitan dengan materi tersebut dapat dengan mudah ditemukan pada kehidupan nyata dan berada disekitar siswa.
Berdasarkan hal diatas, maka model pembelajaran berbasis masalah sesuai atau tepat diterapkan dengan menggunakan pendekatan open ended, karena pembelajaran dengan pendekatan open ended merupakan pembelajaran yang memberikan keleluasaan berpikir secara aktif dan memacu siswa untuk menjawab permasalahan autentik melalui berbagai cara sehingga mampu meningkatkan kemampuan konsep matematika. Selain itu, siswa dapat mengkontruksi sendiri tentang pengetahuan-pengetahuan yang telah dimiliki dengan menggunakannya untuk menemukan solusi dari permasalahan autentik yang diberikan. Oleh karena itu secara tidak langsung akan terjadi pembelajaran bermakna yang akan dialami oleh siswa karena apa yang telah mereka pelajari ternyata dapat berguna dalam memecahkan permasalahan di kehidupan nyata.
Pembagian kelompok dalam model pembelajaran berbasis masalah dapat dilakukan sama dengan prinsip-prinsip pengelompokan siswa dalam pembelajaran kooperatif seperti kelompok harus heterogen baik dari segi kemampuan, jenis kelamin maupun karakteristik yang lain. Pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya agar pembelajaran yang dilakukan dengan model berbasis masalah ini berjalan efektif dan maksimal.
Selain itu, dalam penentuan masalah yang akan disajikan dalam proses pembelajaran haruslah memperhatikan berbagai aspek seperti berikut; (1) Bahan yang dipilih adalah bahan yang bersifat familiar dengan siswa, sehingga setiap siswa dapat mengikutinya dengan baik; (2) Bahan yang dipilih merupakan bahan yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak, sehingga terasa manfaatnya; (3) Bahan yang dipilih adalah bahan yang mendukung tujuan atau kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa sesuai dengan kurikulum yang berlaku; dan (4) Bahan yang dipilih sesuai dengan minat siswa sehingga setiap siswa merasa perlu untuk mempelajarinya.
2.6 Keunggulan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dalam Pembelajaran Matematika
Sebagai salah satu model pembelajaran, pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa keunggulan. Adapun keunggulan dari model pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut.
a. Dengan pembelajaran berbasis masalah akan terjadi proses pembelajaran yang bermakna. Peserta didik yang belajar memecahkan suatu masalah, maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan agar dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika peserta didik berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan. Perlakuan ini memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mengimplementasikan pengetahuan atau pengalaman yang dimiliki untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
b. Dengan menerapkan pembelajaran berbasis masalah peserta didik akan mampu mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara bersamaan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan dalam dunia nyata.
c. Memberi semangat kepada peserta didik untuk berinisiatif, aktif, kreatif, dan kritis karena menurut model pembelajaran berbasis masalah, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran peserta didik.
d. Dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan pengetahuan baru, menumbuhkan inisiatif peserta didik dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.
e. Dapat mendorong pembelajaran yang lebih mendalam (siswa berinterkasi dengan materi belajar, menghubungkan konsep-konsep dengan aktivitas keseharian, dan meningkatkan pemahaman mereka).
f. Dengan pembelajaran berbasis masalah akan menunjukkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan cara berpikir dan sesuatu yang harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekadar belajar dari guru atau dari buku-buku saja.
g. Dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah akan membantu siswa mengetahui bagaimana caranya untuk mentransfer pengetahuan mereka untuk menyelesaikan permasalahan dalam dunia nyata.
h. Penerapan model pembelajaran berbasis masalah dapat mengembangkan minat siswa untuk terus belajar walaupun pembelajaran pada pendidikan formal telah berakhir.
i. Dengan strategi pembelajaran berbasis masalah, kemandirian siswa dalam belajar akan mudah terbentuk, yang pada akhirnya akan menjadi kebiasaan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang ditemuinya dalam aktivitas kehidupan nyata sehari-hari ditengah-tengah masyarakat.
Selain itu menurut Arends (dalam Yatim, 2012: 287) mengidentifikasi 6 keunggulan pembelajaran berbasis masalah, yakni: (1) peserta didik lebih memahami konsep yang diajarkan sebab mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut, (2) menuntut keterampilan tingkat tinggi untuk memecahkan masalah, (3) pengetahuan tertanam berdasarkan schemata yang dimiliki peserta didik sehingga pembelajaran lebih bermakna, (4) peserta didik dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah yang dikaji merupakan masalah yang dihadapi dalam kehidupan nyata, (5) menjadikan peserta didik lebih mandiri dan lebih dewasa, termotivasi, mampu memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain, menanamkan sikap sosial yang positif di antara peserta didik, dan (6) pengkondisian peserta didik dalam belajar kelompok yang saling berinteraksi, baik dengan guru maupun teman akan memudahkan peserta didik mencapai ketuntasan belajar.
2.7 Kelemahan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dalam Pembelajaran Matematika
Selain memiliki keunggulan, model pembelajaran berbasis masalah juga memiliki kelemahan. Adapun kelemahan dari model pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai berikut.
a. Agar penerapan model pembelajaran berbasis masalah ini dapat berjalan dengan baik dan sukses diperlukan waktu yang cukup lama dalam persiapannya. Selain itu peserta didik juga memerlukan waktu yang cukup lama untuk memecahkan permasalahan yang diberikan, sementara pelaksanaaan PBM harus disesuaikan dengan beban kurikulum
b. Pembelajaran berbasis masalah tidak dapat diterapkan untuk semua materi pelajaran, ada bagian tertentu dimana guru berperan aktif dalam menyajikan materi. Pembelajaran berbasis masalah lebih cocok untuk pembelajaran yang menuntut kemampuan tertentu yang kaitannya dengan pemecahan masalah serta sifatnya open ended.
c. Untuk membuat peserta didik mau mempelajari dan memecahkan masalah yang sedang mereka hadapi atau pelajari, tenaga pendidik harus mampu untuk memotivasi peserta didik serta membuat peserta didik paham mengapa mereka perlu mempelajari penyelesaikan permasalahan tersebut. Sebab tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
d. Saat siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba.
e. Peserta didik dapat terbawa ke dalam situasi konvensional dimana guru yang awalnya sebagai fasilitator berubah fungsi menjadi pemberi pembelajaran.
f. Dalam memecahkan masalah peserta didik dapat mengalami kegamangan mengenai informasi atau materi apa saja yang relevan dan dapat digunakan dalam pemecahan masalah yang sedang dihadapi.
2.8 Upaya untuk Mengoptimalkan Hasil Belajar Siswa pada Model Pembelajaran Berbasis Masalah dalam Pembelajaran Matematika
Kunci tipe pembelajaran berbasis masalah ini adalah bagaimana setiap siswa yang bekerja dalam suatu kelompok mampu memahami permasalahan yang diberikan serta menemukan konsep dari materi berdasarkan permasalahan yang diberikan melalui penyelesaikan permasalahan tersebut. Namun, dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah, tidaklah selalu berjalan dengan mulus meskipun rencana telah dirancang sedemikian rupa.
Maka dari itu, adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan guna mengoptimalkan hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dalam matematika adalah (1) Hal penting yang harus diketahui adalah guru perlu memiliki seperangkat aturan yang jelas agar pembelajaran dapat berlangsung tertib tanpa gangguan, dapat menangani perilaku siswa yang menyimpang secara cepat dan tepat, juga perlu memiliki panduan mengenai bagaimana mengelola kerja kelompok; (2) dalam perumusan (perencanaan) masalah oleh guru yang nantinya akan dijadikan awalan dari model pembelajaran berbasis masalah, maka permasalahan yang diajukan itu haruslah bersifat familiar dengan siswa sehingga setiap siswa dapat mengikutinya dengan baik, permasalahan tersebut merupakan bahan yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak, sehingga terasa manfaatnya, dan juga bahan yang dipilih sesuai dengan minat siswa sehingga setiap siswa merasa perlu untuk mempelajarinya. Selain mempermudah siswa dalam memahami permasalahan yang dimaksudkan, juga mampu memotivasi siswa untuk secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran; (3) guru harus mampu membuat peserta didik paham mengapa mereka perlu belajar untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan memberikan contoh-contoh penerapan dari penyelesaian masalah di kehidupan nyata sehingga siswa mampu mengetahui kegunaan daripada mempelajari suatu materi; (4) Meningkatkan sarana pendukung pembelajaran guna melancarkan kegiatan pembelajaran berbasis masalah; (5) Selain itu, yang juga tidak kalah pentingnya adalah guru harus menyampaikan aturan, tata krama, dan sopan santun yang jelas untuk mengendalikan tingkah laku siswa ketika mereka melakukan penyelidikan di luar kelas.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Adapun kesimpulan dari pembahasan mengenai model pembelajaran berbasis masalah pada makalah ini yakni, model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) adalah konsep pembelajaran yang membantu guru menciptakan lingkungan pembelajaran yang dimulai dengan masalah yang penting dan relevan (bersangkut-paut) bagi peserta didik, dan memungkinkan peserta didik memperoleh pengalaman belajar yang lebih realistik (nyata). Model pembelajaran berbasis masalah menggunakan masalah nyata atau masalah simulasi yang kompleks sebagai titik awal pembelajaran, dengan karakteristik pembelajaran dipandu oleh masalah yang menantang, para siswa bekerja dalam kelompok kecil, dan guru mengambil peran sebagai fasilitator dalam pembelajaran. Terdapat lima tahapan dalam pembelajaran berbasis masalah yakni: (1) Orientasi siswa pada masalah; (2) Mengorganisasi siswa untuk belajar; (3) Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok; (4) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya; (5) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Model pembelajaran berbasis masalah sesuai atau tepat diterapkan dengan menggunakan pendekatan open ended, karena pendekatan open ended memberikan masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal atau dapat diselesaikan dengan berbagai cara oleh siswa.
Model pembelajaran berbasis masalah mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya dengan pembelajaran berbasis masalah akan terjadi proses pembelajaran yang bermakna, peserta didik akan mampu mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara bersamaan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan dalam dunia nyata. Selain kelebihan, model pembelajaran berbasis masalah juga mempunyai beberapa kekurangan, diantaranya diperlukan waktu yang cukup lama dalam persiapannya, masalah tidak dapat diterapkan untuk semua materi pelajaran, dan saat siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba.
3.2 Rekomendasi
Guru diharapkan mampu untuk menerapkan model pembelajaran berbasis masalah pada kegiatan pembelajaran mata pelajaran yang diampunya. Karena dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah, peserta didik akan mampu menemukan konsep suatu materi pelajaran dengan sendirinya sebelum diberikan pencerahan atau konsep yang benar oleh guru, sehingga peserta didik tidak hanya bisa sekedar untuk menghafalkan materi. Dengan menerapkan pembelajaran berbasis masalah ini, siswa diharapkan mampu untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran terutama dalam memecahkan masalah yang diberikan oleh pendidik. Dalam penerapan model pembelajaran ini guru harus melakukan perencanaan yang matang agar proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, M. Taufiq. 2009. Inovasi Pendidikan Melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik Memberdayakan Pemelajar di Era Pengetahuan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Gade, Syabuddin, 2011. Jurnal Ilmiah Didaktika, Perbandingan Konsep Dasar Pendidikan Antara Dewey Dan Asysyaibani. Jurnal [online]. Teredia: http://pustaka.jurnaldidaktika.org/index.php/jdidaktika/article/download/22/12 (diakses pada 8 Desember 2014).
Kemendiknas, Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kompas. 2013. Skor PISA: Posisi Indonesia Nyaris sebagai Juru Kunci. Tersedia pada: http://www.kopertis12.or.id/2013/12/05/skor-pisa-posisi-indonesia-nyaris-jadi-juru-kunci.html (diakses pada 15 Oktober 2014)
Putrayasa, Ida Bagus.2013.Landasan Pembelajaran.Singaraja:Undiksha Press.
Ratumanan, Tanwey Gerson. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Surabaya: Unesa University Press.
Riyanto, Yatim, Paradigma Baru Pembangunan Sebagai Referensi bagi Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas, Jakarta: Kencana, 2012
Sanjaya Wina.2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
TIMSS. 2011. Trends in International Mathematics and Science Study Report. Tersedia pada: http://timssandpirls.bc.edu/data-release-2011/pdf/Overview-TIMSS-and-PIRLS-2011-Achievement.pdf (diakses pada 15 Oktober 2014)
Trianto.2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif : Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Widjayanti, Djamilah Bondan. 2011. Problem-based learning dan Contoh Implementasinya. Tersedia pada http://staff.uny.ac.id/sites/default/file/tmp/PPM-PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH %2010%20Maret%202011-Djamilah.pdf (diakses pada 15 Oktober 2014)
Wijaya, Adi. 2014. Contoh Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Matematika SMP Kelas VII.[pdf]. Tersedia pada : http://www.p4tkmatematika.org/2014/03/contoh-penerapan-model-pembelajaran-berbasis-masalah-matematika-smp-vii/ [pdf](diakses pada 16 Oktober 2014)
BERMAIN PERAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah hal ini dapat dilihat dari komponen yang membentuk sistem pendidikan. Berdasarkan data dalam education for all (EFA) Global Monitoring Report yang diluncurkan oleh organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan perserikatan bangsa-bangsa (UNESCO) menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia dengan nilai indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) pada tahun 2008 adalah 0,934 (UNESCO dalam kompas edisi 2 Maret 2011, 2011). Dari data tersebut Indonesia mengalami penurunan EDI yang cukup tinggi. Indonesia harus mengakui keunggulan Brunei Darussalam yang berada di peringkat ke-34. Adapun Malaysia berada di peringkat ke-65. Untuk di kawasan Asia, Jepang menduduki peringkat pertama. Finlandia merupakan negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.
Masalah pendidikan senantiasa menjadi topik perbincangan yang menarik, baik di kalangan guru, orang tua, dan lebih lagi di kalangan para pakar pendidikan di seluruh negara. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar karena setiap orang berkepentingan dan menginginkan pendidikan yang terbaik bagi siswa, anak atau generasi penerus bangsa ini. Pendidikan merupakan kebutuhan utama bagi manusia. Hal ini sesuai yang diamanatkan oleh undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
Makna dari pernyataan di atas adalah melalui pendidikan setiap peserta didik disediakan berbagai kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap maupun untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan bermasyarakat. Disadari atau tidak, kita selalu menggunakan matematika dalam keseharian kita, baik menggunakan ilmu matematika maupun cara bepikir matematis. Terlebih lagi masalah pendidikan matematika selalu menjadi sorotan karena masih rendahnya prestasi belajar siswa pada bidang studi tersebut. Salah satu karakteristik matematika adalah mempunyai objek yang bersifat abstrak. Sifat abstrak inilah yang menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam belajar matematika.
Usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika di Indonesia telah lama dilaksanakan, namun keluhan tentang kesulitan belajar matematika masih saja terus dijumpai. Rendahnya hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika bukan semata-mata karena materi yang sulit, tetapi juga bisa disebabkan oleh proses pembelajaran yang dilaksanakan. Pembelajaran matematika bukanlah suatu transfer pengetahuan, tetapi lebih menekankan bagaimana siswa membangun pemahamannya dengan dibantu guru. Rendahnya kemampuan matematika siswa disebabkan oleh masalah yang dialami siswa secara komprehensif atau secara parsial dalam matematika.
Retno Kistyarti, sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengatakan bahwa kasus bunuh diri seorang siswi SMP di Tabanan-Bali diduga lantaran stres tak bisa mengerjakan soal ujian nasional (Harian Rakyat Merdeka, 9 Mei 2014). Dijelaskan selanjutnya bahwa para siswa mengungkapkan keluh kesahnya mereka mengenai ujian nasional di grup BlackBerry Messenger (BBM). Meninggalnya siswi tersebut sekitar 5 jam setelah mengikuti ujian saoal matematika dan kemudian curhat di grup itu. Dia memilih gantung diri daripada malu karena takut tidak lulus. Kasus bunuh diri siswa setelah mengikuti ujian nasional ini hanya salah satu pengaduan yang diterina FSGI. Siswa mengeluh sulit mengerjakan soal ujian matematika dan banyak yang tidak sesuai dengan kisi-kisi soal yang diberikan sekolah.
Berdasarkan peraturan menteri pendidikan nasional (Permendiknas) nomor 22 tahun 2006, mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan berikut: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataaan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; dan (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Salah satu komponen penting dalam pendidikan adalah guru. Guru sebagai tenaga kependidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam kegiatan pembelajaran, sehingga guru dikatakan sebagai ujung tonggak suksesnya pendidikan dari kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan. Pembelajaran merupakan suatu unsur penting dalam kegiatan pendidikan. Berdasarkan Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal 1 ayat 20 “pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar suatu lingkungan belajar”. Melalui proses tersebut diharapkan tercipta hubungan yang baik, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Siswa juga dapat merasakan manfaat dari proses tersebut untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik.Kesuksesan dalam kegiatan pembelajaran akan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kualitas pendidikan. Meningkatnya kualitas pendidikan akan berpengaruh dalam pembentukan generasi bangsa yang dapat memajukan bangsa dan negara Indonesia.
Ada berbagai macam model pembelajaran yang dapat diterapkan oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan Dalam pemilihan model pembelajaran yang cukup banyak ini menyebabkan para guru sulit dalam memilih model pembelajaran yang cocok dalam kegiatan pembelajarannya. Model pembelajaran dapat dikombinasikan dengan cermat agar dapat digunakan secara optimal dalam kegiatan pembelajaran. Guru memiliki peranan yang sangat penting dalam memilih model pembelajaran dalam kelas. Dalam memilih model pembelajaran ini, guru harus memiliki pengetahuan, pengalaman dan keterampilan dalam menerapkan model pembelajaran yang harus disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran dan karakteristik siswanya pula. Kemampuan guru dalam memilih dan menerapkan model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan kondisi kelas maka akan menyebabkan proses pembelajaran di kelas menjadi lebih efektif, efesien dan menyenangkan.
Dalam pembelajaran matematika, siswa harus dilibatkan langsung secara mental, fisik dan sosial untuk membuktikan kebenaran teori dan hukum matematika yang telah dipelajari dan untuk memancing serta mengaktifkan otak anak. Jika hal tersebut tidak tercakup dalam proses pembelajaran maka dapat berpengaruh terhadap penguasaan konsep matematika dan akan mempengaruhi prestasi belajar peserta didik. Salah satu metode yang dapat dilakukan dalam pembelajaran adalah dengan mengunakan metode roll playing (bermain peran). Metode ini ditempuh untuk meningkatkan mutu dan menambah wawasan bagi pendidik agar dalam menyampaikan materi terhadap anak didiknya dapat bervariatif dan dapat menggunakan berbagai metode yang tepat. Dengan rasional tersebut, peper ini dibuat dengan mengkhususkan pada metode pembelajaran bermain peran.
1.2 Rumusan Masalah
Mengacu pada rasional yang telah diuraikan, masalah yang ingin dikaji dalam paper iniadalah sebagai berikut.
1) Apa landasan filosofis model pembelajaran bermain peran?
2) Apa landasan teoretik model pembelajaran bermain peran?
3) Bagaimana sintaks model pembelajaran bermain peran?
4) Bagaimana implementasi model pembelajaran bermain peran dalam pembelajaran matematika?
5) Bagaimana situasi ideal yang diperlukan untuk menerapkan model pembelajaran bermain peran dalam pembelajaran matematika?
6) Apa keunggulan model pembelajaran bermain peran dalam pembelajaran matematika?
7) Apa kelemahan model pembelajaran bermain peran dalam pembelajaran matematika?
8) Upaya apa yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil belajar pada model pembelajaran bermain peran dalam pembelajaran matematika?
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan paper ini adalah sebagai berikut.
1) Mengkaji landasan filosofis model pembelajaran bermain peran.
2) Mengkaji landasan teoretik model pembelajaran bermain peran.
3) Merumuskan sintaks model pembelajaran bermain peran.
4) Menyusun rencana pembelajaran dengan mengimplementasikan model pembelajaran bermain peran dalam pembelajaran matematika.
5) Mengidentifikasi situasi ideal yang diperlukan untuk menerapkan model pembelajaran bermain peran dalam pembelajaran matematika.
6) Mengidentifikasi keunggulan model pembelajaran bermain peran dalam pembelajaran matematika.
7) Mengidentifikasi kelemahan model pembelajaran bermain peran dalam pembelajaran matematika.
8) Merumuskan upaya yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil belajar pada model pembelajaran bermain peran dalam pembelajaran matematika.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Filosofis
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional mengatur bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Artinya, pendidikan harus menjadikan manusia memiliki kecakapan hidup dan bisa hidup bermasyarakat.
Manusia merupakan makhluk sosial (zoon politicon). Sehingga dalam kehidupannya memerlukan bantuan dari orang lain. Dalam kehidupan nyata, setiap orang mempunyai cara yang unik dalam berinteraksi atau berhubungan dengan orang lain. Dalam kehidupan nyata setiap manusia dapat memainkan perannya masing-masing. Dalam memainkan perannya dalam kehidupan nyata maka manusia juga tak terlepas dari interaksi social tersebut. Sehingga untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain, manusia perlu menyadari peran tersebut dan bagaimana ia dilakukan. Dalam hal ini, manusia harus mampu menempatkan diri dalam posisi atau situasi orang lain. Selain itu, manusia juga harus mampu mengalami atau mendalami sebanyak mungkin pikiran dan perasaan orang lain. Kemampuan ini adalah kunci bagi setiap individu untuk dapat memahami dirinya dan orang lain yang pada akhirnya dapat berhubungan dengan orang lain.
Menurut Hamzah B. Uno (2012: 25), model pembelajaran bermain peran pertama dibuat berdasarkan asumsi bahwa sangatlah mungkin menciptakan analogi autentik ke dalam suatu situasi permasalahan kehidupan nyata. Kedua, bahwa bermain peran dapat mendorong siswa mengekspresikan perasaannya dan bahkan melepaskan. Ketiga, bahwa proses psikologis melibatkan sikap, nilai, keyakinan yang mengarahkan pada kesadaran melalui keterlibatan spontan yang disertai analisis. Model ini dipelopori oleh George Shaftel.
Hakekat pembelajaran bermain peran terletak pada keterlibatan emosional pemeran dan pengamat dalam situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Menurut Joyce, Weil, dan Calhoun (2009), role playing bertujuan untuk, 1) mengeksplorasi perasaan siswa, 2) mentransfer dan mewujudkan pandangan mengenai perilaku, nilai, dan persepsi siswa, 3) mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan tingkah laku, 4) mengeksplorasi materi pelajaran dalam cara yang berbeda(Anik dkk, 2007).
Hamzah B. Uno (2012: 26) juga mengatakan bahwa bermain peran sebagai suatu model pembelajaran bertujuan untuk membantu siswa menemukan makna diri (jati diri) di dunia sosial dan memecahkan dilema dengan bantuan kelompok. Sedangkan menurut Roestiyah N. K. (2001: 90), metode bermain peran memiliki tujuan agar siswa dapat memahami perasaan orang lain, dapat tepa seliro, dan toleransi. Hal ini berarti melalui bermain peran, siswa belajar menggunakan konsep peran, menyadari adanya peran-peran yang berbeda dan memikirkan parilaku dirinya dan orang lain. Hamzah B. Uno (2012: 26) juga menyebutkan bahwa proses bermain peran dapat memberikan contoh kehidupan prilaku manusia yang berguna sebagai sarana bagi siswa untuk: 1) menggali perasaannya; 2) memperoleh inspirasi dan pemahaman yang berpengaruh terhadap sikap, nilai dan persepsinya; 3) mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah; dan 4) mendalami mata pelajaran dengan berbagai macam cara.
2.2 Landasan Teoritis
Ada beberapa teori yang melandasi model pembelajaran bermain peran, yaitu: (1) Teori belajar Piaget, (2) teori sosial Robert M. Gagne, (3) teori sosial Albert Bandura, (4) teori humanistic dan (5) teori Vygotsky.
1) Teori Belajar Piaget
Menurut Piaget (Ratumanan, 2002: 33 ), dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak merupakan suatu proses sosial. Anak tidak berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok sosial. Akibatnya lingkungan sosialnya berada diantara anak dengan lingkungan fisiknya. Interaksi anak dengan orang lain memainkan peranan penting dalam mengembangkan pandangannya terhadap alam. Melalui pertukaran ide-ide dengan orang lain, seorang anak yang tadinya memiliki pandangan subjektif terhadap sesuatu yang diamatinya aka berubah pandangannya menjadi objektif. Aktifitas mental anak terorganisasi dalam suatu struktur kegiatan mental yang disebut “skema (schema )“ atau pola tingkah laku.
Piaget mengungkapkan bahwa struktur yang dimiliki oleh seseorang terjadi karena proses “adaptasi“ . Adaptasi merupakan proses penyesuaian skema dalam merespons lingkungan melalui 2 proses yang tidak dapat dipisahkan yaitu “asimilasi” dan “akomodasi”. Asimilasi merupakan proses penyerapan (absorbtion) pengalaman dan informasi baru ke dalam struktur mental yang telah dimiliki seseorang. Sedangkan akomodasi merupakan proses penyusupan kembali (restructuring) mental sebagai akibat dari adanya pengalaman dan informasi baru.
Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan objek fisik, ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan-pertanyaan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan. Menurut Piaget pengetahuan (knowledge) adalah interaksi yang terus menerus antara individu dengan lingkungan. Fokus perkembangan kognitif Piaget adalah perkembangan secara alami peserta didik mulai anak-anak sampai dewasa.Adapun Ada 4 tahap perkembangan menurut Piaget yaitu:
1. Tahap Sensori motor (0-2 tahun): Ciri pokok perkembangannya anak mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta mempelajari permanensi obyek
2. Tahap Pre operasional (2-7 tahun): Ciri pokok perkembangannya adalah penggunaan symbol/bahasa tanda dan konsep intuitif
3. Tahap konkret (7-11 tahun): Ciri pokok perkembangannya anak mulai berpikir secara logis tentang kejadian-kejadian konkret
4. Tahap operasi formal (11 keatas): pokok perkembangannya adalah hipotesis, abstrak, dan logis.
2) Teori Sosial Albert Bandura
Teori belajar ini umumnya menerima sebagian besar prinsip-prinsip teori belajar behavioristik. Namun didalamnya mengalami perkembangan. Hal ini dikarenakan menurut Bandura teori-teori behavioristik yang telah ada sebelumnya mengabaikan berberapa aspek situasi yang penting khususnya pengaruh sosial terhadap belajar. Teori belajar sosial berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dari segi interaksi timbal-balik yang berkesinambungan antara faktor kognitif, tingkahlaku, dan faktor lingkungan/ sosial. Teori belajar sosial menekankan pengamatan sebagai proses pembelajaran, yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari perilaku dengan mengamati secara sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang lain. Proses belajar semacam ini disebut "observational learning" atau pembelajaran melalui pengamatan (modeling). Dalam proses timbal balik itulah terletak kesempatan bagi manusia untuk mempengaruhi nasibnya maupun batas-batas kemampuannya untuk memimpin diri sendiri (self direction). Konsepsi tentang cara manusia berfungsi semacam ini artinya adalah tidak menempatkan orang semata-mata sebagai objek tak berdaya yang dikontrol oleh pengaruh-pengaruh lingkungan. Manusia dan lingkungannya merupakan faktor-faktor yang saling menentukan secara timbal balik.
Menurut Bandura, proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar. Pengertian meniru dalam hal ini bukan berarti menyontek tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain, misalkan guru, orang tua atau tokoh lainnya. Sehingga Bandura mengkritik teori yang dikemukakan oleh Skinner (tokoh behavioristik), yang mana Skinner mengabaikan modeling dalam pengaruhnya terhadap proses belajar.Bandura merasa bahwa yang dipelajari seseorang bukan hanya dibentuk oleh konsekuensinya, tetapi karena dipelajari langsung dari model. Menurut teori sosial seseorang belajar melalui pengamatan perilaku, sikap, dan hasil dari perilaku orang lain. Oleh karena itu, melalui pengamatan terhadap pemeranan maka peserta didik akan bisa belajar mengenai cara pemecahan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
3) Teori Sosial Robert M. Gagne
Menurut Gagne dalam Aisyah (2007: Sub bab 3.2) belajar merupakan proses yang memungkinkan manusia mengubah tingkah laku secara permanen, sedemikian sehingga perubahan yang sama tidak akan terjadi pada keadan yang baru. Selain itu, Gagne mengemukakan kematangan tidak diperoleh melalui belajar, karena perubahan tingkah laku yang terjadi merupakan akibat dari pertumbuhan struktur pada diri manusia tersebut.Teori Gagne mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara terus-menerus, bukan hanya disebabkan oleh pertumbuhan saja.
Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatannya mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya berubah dari sebelum ia mengalami situasi dengansetelah mengalami situasi tadi. Belajar dipengaruhi oleh faktor dalam diri dan faktor dari luar siswa di mana keduanya saling berinteraksi. Komponen-komponen dalam proses belajar menurut Gagne dapat digambarkan sebagai S - R. S adalah situasi yang memberi stimulus, R adalah respons atas stimulus itu, dan garis di antaranya adalah hubungan di antara stimulus dan respon yang terjadi dalam diri seseorang yang tidak dapat kita amati, yang bertalian dengan sistem alat saraf di mana terjadi transformasi perangsang yang diterima melalui alat indra. Stimulus ini merupakan input yang berada di luar individu dan respon adalah outputnya, yang juga berada di luar individu sebagai hasil belajar yang dapat diamati.Menurut Gagne belajar melalui empat fase utama yaitu sebagai berikut.
a. Fase pengenalan (apprehending phase)
Pada fase ini siswa memperhatikan stimulus tertentu kemudian menangkap artinya dan memahami stimulus tersebut untuk kemudian ditafsirkan sendiri dengan berbagai cara. Ini berarti bahwa belajar adalah suatu proses yang unik pada tiap siswa, dan sebagai akibatnya setiap siswa bertanggung jawab terhadap cara belajarnya.
b. Fase perolehan (acqusition phase)
Pada fase ini siswa memperoleh pengetahuan baru dengan menghubungkan informasi yang diterima dengan pengetahuan sebelumya. Dengan kata lain pada fase ini siswa membentuk asosiasi-asosiasi antara informasi baru dan informasi lama.
c. Fase penyimpanan (storage phase)
Fase penyimpanan atau sorage adalah fase penyimpanan informasi, ada informasi yang disimpan dalam jangka pendek ada yang dalam jangka panjang, melalui pengulangan informasi dalam memori jangka pendek dapat dipindahkan ke memori jangka panjang.
d. Fase pemanggilan (retrieval phase)
Fase Retrieval/Recall, adalah fase mengingat kembali atau memanggil kembali informasi yang ada dalam memori. Kadang-kadang dapat saja informasi itu hilang dalam memori atau kehilangan hubungan dengan memori jangka panjang. Untuk lebih mudah mengingat maka informasi yang baru dan yang lama perlu disusun secara terorganisasi, diatur dengan baik atas pengelompokan-pengelompokan menjadi katagori, konsep sehingga lebih mudah dipanggil kembali.
4) Teori Humanistik
Pendukung humanis memiliki pandangan yang sangat positif dan optimis tentang kodrat manusia.Pandangan humanistik menyatakan bahwa manusia adalah agen yang bebas dengan kemampuan superior untuk menggunakan simbol-simbol dan berpikir secara abstrak.Jadi, orang mampu membuat pilihan yang cerdas, untuk bertanggungjawab atas perbuatannya, dan menyadari potensi penuhnya sebagai orang yang mengaktualisasikan diri.Humanis memiliki pandangan holistik mengenai perkembangan manusia, yang melihat setiap orang sebagai makhluk keseluruhan yang unik dengan nilai independen. Dalam pandangan holistik, seseorang lebih dari sekedar kumpulan dorongan, instink, dan pengalaman yang dipelajari (Rita dkk, 2007: 34).
Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Dalam teori belajar humanistik proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Peserta didik dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
5. Teori Vygotsky
Menurut Vygotsky metode bermain peran adalah main peran disebut juga main simbolis, pura-pura, make believe, fantasi, imajinasi, atau bermain drama, sangat penting untuk perkembangan kognisi, sosial, dan emosi anak pada usia tiga sampai enam tahun. Menurut Moeslichetoen bermain pura-pura adalah bermain yang menggunakan daya khayal anak yaitu dengan memakai bahasa atau berpura-pura bertingkah laku seperti benda tertentu, atau orang tertentu dan binatang tertentu yang dalam dunia nyata tidak dilakukan.
Pemikiran Vygotsky sama dengan pemikiran Piaget bahwa anak membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Vygotsky yakin bahwa perkembangan tergantung pada faktor biologis yang menentukan fungsi-fungsi elementer memori, atensi, persepsi dan stimulus respon, serta tergantung pada faktor sosial yang sangat penting artinya bagi perkembangan fungsi mental lebih tinggi untuk perkembangan konsep, penalaran logis, dan pengambilan keputusan (Widhadirane Triardhila K.N, 2013).
Teori Vygotsky menyatakan secara tidak langsung bahwa perkembangan kognitif dan kemampuan untuk mengendalikan tindakan-tindakan diri sendiri mensyaratkan adanya sistem-sistem komunikasi budaya dan kemudian belajar menggunakan sistem-sistem ini untuk menyesuaikan proses-proses berpikir diri sendiri. Inti dari teori ini yaitu menekankan interaksi antara aspek eksternal dan internal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pembelajaran.
2.3 Sintaks Pembelajaran Bermain Peran
Tujuan pembelajaran bermain peran adalah: 1) agar siswa dapat menghayati dan menghargai perasaan orang lain, 2) agar siswa dapat belajar bagaimana membagi tanggung jawab, dan 3) merangsang kelas untuk berpikir dan memecahkan masalah. (Suryani, 2012: 61).
Model bermain peran merupakan suatu model pembelajaran yang bertujuan untuk memecahkan masalah peragaan, serta langkah-langkah identifikasi masalah, analisis, pemeraanan dan diskusi. Terdapat tiga hal yang menentukan kualitas dan keefektifan bermain peran yakni:
1. Kualitas pemeranan
2. Analisis dalam diskusi
3. Pandangan peserta didik terhadap peran yang ditampilkan dibandingkan dengan situasi kehidupan nyata.
Shaftel dalam Mulyasa (2011: 185) mengemukakan sembilan langkah bermain peran yang dapat dijadikan pedoman dalam pembelajaran yaitu :
1. Menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik
2. Memilih partisipan/peran
3. Menyusun tahap-tahap peran
4. Menyiapkan pengamat
5. Pemeranan
6. Diskusi dan evaluasi
7. Pemeranan ulang
8. Diskusi dan evaluasi tahap dua
9. Membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan.
Kesembilan tahap tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1. Menghangatkan Suasana dan Memotivasi Peserta didik
Menghangatkan suasana kelompok termasuk menghantarkan peserta didik terhadap masalah pembelajaran yang perlu dipelajari. Hal ini dapat dengan mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan cerita dan mengeksplorasi isu-isu,serta menjelaskan peran yang akan dimainkan. Pada tahap ini guru mengemukakan masalah. Masalah dapat diangkat dari kehidupan peserta didik, agar dapat merasakan masalah tersebut hadir dihadapan mereka, dan memiliki hasrat untuk mengetahui bagaimana masalah tersebut dipecahkan. Masalah yang dipilih sebaiknya masalah yang hangat dan actual, langsung menyangkut kehidupan peserta didik, menarik dan merangsang rasa ingin tahu peserta didik, serta memungkinkan berbagai alternative pemecahan.
Tahap ini lebih banyak dimaksudkan untuk memotivasi peserta didik agar tertarik kepada masalah, karena itu tahap ini sangat penting dalam bermain peran dan paling menentukan keberhasilan. Bermain peran akan berhasil apabila peserta didik menaruh minat dan memperhatikan masalah yang diajukan guru.
Setelah masalah didentifikasi, guru berusaha menjelaskannya secara lebih rinci. Selanjutnya dikemukakan peran-peran yang harus dimainkan. Masalah yang akan dimainkan mungkin sama atau berbeda dengan cerita yang dimaksudkan untuk memotivasi kelompok.
2. Memilih Peran dalam Pembelajaran
Pada tahap ini peserta didik dan guru mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka, bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan, kemudian para peserta didik diberi kesempatan secara suka rela untuk menjadi pemeran. Jika para peserta didik tidak menyambut tawaran tersebut, guru dapat menunjukan salah seorang peserta didik yang pantas dan mampu memerankan posisi tertentu.
3. Menyusun Tahap-Tahap Peran
Pada tahap ini para pemeran menyusun garis-garis besar adegan yang akan dimainkan. Dalam hal ini, tidak perlu ada dialog khusus karena para peserta didik dituntut untuk bertindak dan berbicara secara spontan. Guru membantu peserta didik menyiapkan adegan-adegan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, misalnya di mana pemeranan dilakukan, apakah tempat sudah dipersiapkan, dan sebagainya. Persiapan ini penting untuk menciptakan suasana yang menyenangkan bagi seluruh peserta didik, dan mereka siap untuk memainkannya.
4. Menyiapkan Pengamat
Sebaiknya pengamat dipersiapkan secara matang dan terlibat dalam cerita yang akan dimainkan agar semua peserta didik turut mengalami dan menghayati peran yang dimainkan dan aktif mendiskusikannya. Menurut Shaftel dan Shaftel, agar pengamat turut terlibat, mereka perlu diberi tugas. Misalnya menilai apakah peran yang dimainkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya? Bagaiman kefektifan perilaku yang ditunjukan pemeran? Apakah pemeran dapat menghayati peran yang dimainkannya ?
Keterlibatkan pengamat dapat memperkaya model, terutama mengajukan alternative pemeranan. Dengan demikian, pembelajaran akan lebih hidup, terutama pada saat mendiskusikan peran-peran yang telah dimainkan.
5. Tahap Pemeranan
Pada tahap ioni para peserta didik mulai beraksi secara spontan, sesuai dengan peran masing-masing. Mereka berusaha memainkan setiap peran seperti benar-benar dialaminya. Mungkin proses bermain peran tidak berjalan mulus karena para peserta didik ragu dengan apa yang harus dikatakan dan ditunjukan.
Pemeranan dapat berhenti apabila para peserta didik telah merasa cukup, dan apa yang seharusnya mereka perankan telah dicoba dilakukan. Adakalanya para peserta didik keasyikan bermain peran sehingga tanpa disadari telah memakan waktu yang terlampau lama. Dalam hal ini guru perlu menilai kapan bermain peran dihentikan. Sebaiknya pemeranan dihentikan pada saat terjadi pertentangan agar memancing permasalahan untuk didiskusikan.
6. Diskusi dan Evaluasi Pembelajaran
Diskusi akan dimulai jika pemeran dan pengamat telah terlibat dalam bermain peran, baik secara emosional maupun secara intlektual. Dengan melontarkan sebuah pertanyaan, para peserta didik akan segera terpancing untuk diskusi. Diskusi mungkin dimulai dengan tafsiran mengenai baik tidaknya peran yang dimainkan selanjutnya mengarah pada analisis terhadap peran yang ditampilkan, apakah cukup tepat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Di sini diskusi dapat diharapakan pada pengajuan alternative-alternatif pemeranan yang akan ditamppilkan kembali. Dalam kaitan ini, guru harus mengarahkan diskusi yang dilakukan para peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.
7. Pemeranan Ulang
Pemeranan ulang dapat dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi mengenai alternative-alternatif pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak yang dituntut, demikian hanya dengan pelakunya. Perubahan ini memungkinkan adanya perkembangan baru dalam upaya pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan mempengaruhi peran-peran lainnya.
8. Diskusi dan Evaluasi Tahap Dua
Diskusi dan evaluasi pada tahap ini sama seperti pada tahap ke enam, hanya dimaksudkan untuk menganalisis hasil pemeranan ulang, dan pemecahan masalah pada tahap ini mungkin sudah lebih jelas. Para peserta didik menyetujui cara tertentu untuk memecahkan masalah, meskipun dimungkinkan adanya peserta didik yang belum menyetujuinya. Kesepakatan bulat tidak perlu dicapai karena tidak ada cara yang pasti dalam menghadapi masalah kehidupan.
9. Membagi Pengalaman dan Pengambilan Kesimpulan
Tahap ini tidak harus menghasilkan generalisasi secara langsung karena tujuan utama bermain peran ialah membantu para peserta didik untuk memproleh pengalaman-pengalaman berharga dalam hidupnya melalui kegiatan interaksional dengan teman-temanya. Mereka bercermin pada orang lain untuk lebih memahami dirinya. Hal ini mengandung implikasi bahwa yang paling penting dalam bermain peran ialah terjadinya saling tukar pengalaman. Proses ini mewarnai seluruh kegiatan bermain peran, yang lebih ditegaskan lagi pada tahap akhir. Pada tahap ini para peserta didik saling mengemukakan pengalaman hidupnya dalam berhadapan dengan orang tua, guru teman-teman dan sebagainya. Semua pengalaman peserta didik dapat diungkap atau muncul secara spontan.
Keberhasilan bermain peran bergantung pada kemampuan dalam mengungkap pengalaman pribadi peserta didik. Di samping terdapat aneka ragam pengalaman, dalam hal tertentu dimungkinkan ada kesamaan pengalaman antara peserta didik. Berdasarkan kesamaan pengalaman ini ditarik suatu generalisasi. Melalui bermain peran para peserta didik dapat berlatih untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Kelas dapat diibaratkan sebagai suatu kehidupan sosial tempat para pesrta didik belajar mengemukakan pendapat dan menghargai pendapat orang lain.
2.4 Implementasi
Dalam pelajaran matematika, biasanya proses belajar mengajar yang berlangsung kurang menarik, menjenuhkan dan membosankan. Hal ini membuat pelajaran matematika menjadi jarang disukai pesertya didik. Metode pembelajaran yang biasa di pakai saat proses pembelajaran di dominasi oleh metode ceramah, sehingga pembelajaran kurang menarik. Oleh karena itu, seorang guru harus dapat lebih kreatif lagi untuk menerapkan metode pembelajaran yang menarik dan sesuai dengan materi yang disampaikan, sehingga selain tujuan pembelajaran yang tersampaikan dengan baik pembelajaran pun menjadi tidak membosankan. Misalnya pada mata pelajaran matematika dengan materi aritmatika sosial, pembelajaran ini dapat di terapkan dengan beberapa metode pembelajaran, salah satu diantaranya yaitu metode pembelajarn role playing (Nurliya Febrisma, 2013).
Penerapan metode role playing pada materi aritmatika sosial ini bertujuan agar selain siswa memahami dan mengerti mengenai bahasan-bahasan pada materi ini seperti harga jual, harga beli, untung, rugi, dan lain-lain, tetapi pembelajaran juga akan lebih menarik dan lebih bermakna karena siswa dapat mempraktekan langsung proses jual beli tersebut. Proses pembelajaran role playing pada pembahasan materi aritmatika ini akan lebih membantu siswa dan guru dalam mencapai standar kompetensi yang memang di harapkan.
a. Pembelajaran materi Aritmatika Sosial dengan menggunakan teknik Pembelajaran Role playing.
Tahapan kegiatan pembelajaran Role playing pada tulisan ini merupakan modifikasi dari tahapan-tahapan yang disampaikan oleh Shaftel dan Shaftel (dalam E. Mulyasa, 2003), yaitu tahapan pemeranan dilakukan oleh sekelompok pemeran untuk satu sub materi sebagai contoh, dan sub materi lainnya diperankan oleh kelompok lain yang telah disusun oleh siswa sendiri.
Langkah- langkah Role playing dalam pembelajaran aritmatika sosial:
1. Menghangatkan Suasana dan Memotivasi Peserta didik
Memotivasi peserta didik dan memberikan gambaran masalah dalam situasi yang akan diperankan, misalnya seorang pembeli akan melakukan transaksi jual beli di sebuah pertokoan, maka siswa diberikan gambaran apa yang dilakukan oleh pembeli dan penjual dalam transaksi tersebut.
2. Memilih Peran dalam Pembelajaran
Menetapkan pemain yang akan terlibat dalam Role playing, peranan yang harus diperankan oleh pemeran dan waktu yang disediakan untuk melakukan kegiatan Role playing. Selain menyiapkan pemeran guru juga menyiapkan pengamat.
3. Menyusun Tahap-Tahap Peran
Menetapkan topik atau masalah serta tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran, yaitu topik harga jual, harga beli, untung dan rugi. Sehingga tujuan dalam pembelajaran yang ingin dicapai adalah siswa mendeskripsikan harga jual, harga beli, untung, persentase untung, rugi dan persentase rugi. Setelah itu guru memberitahukan adegan/gambaran mengenai peranan dan cerita/scenario yang akan dimainkan. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya khususnya pada siswa yang terlibat dalam pemeranan Role playing.
4. Tahap Pemeranan
a) Role playing mulai dimainkan oleh kelompok pemeran.
b) Siswa lainnya sebagai pengamat mengikut dengan penuh perhatian.
c) Guru memberikan bantuan kepada pemeran yang mendapat kesulitan.
5. Diskusi dan Evaluasi Pembelajaran
a) Melakukan diskusi tentang kegiatan Role playing yang baru saja dilakukan khususnya pada kegiatan yang mengarah pada konsep harga jual, harga beli, untung, persentase untung, rugi, dan persentase rugi.
b) Siswa yang memainkan peran dapat membagi pengalamannya pada siswa yang tidak memainkan peran.
c) Guru bersama siswa merumuskan kesimpulan.
d) Menyuruh siswa membentuk kelompok untuk memerankan situasi yang berkaitan dengan sub materi pokok selanjutnya.
Kesimpulan:
Materi aritmatika sosial pada sub materi pokok uang dalam perdagangan (harga jual, harga beli, untung, persentase untung, rugi, dan persentase rugi)
a. Harga jual adalah nilai uang dari suatu barang yang dijual.
b. Harga beli adalah nilai uang dari suatu barang yang dibeli.
c. Untung, jika harga penjualan lebih besar daripada harga pembelian.
d. Besar untung = harga penjualan – harga pembelian
e. Persentase untung adalah besar keuntungan yang diperoleh dalam satuan persen berdasarkan harga pembelian
f. Rugi, jika harga penjualan lebih kecil daripada harga pembelian.
Besar rugi = harga pembelian – harga penjualan
g. Presentase rugi adalah besar kerugian yang diderita dalam satuan persen berdasarkan harga pembelian.
Sebelum menerapkan metode pembelajaran role playing ini guru tentu harus mempersiapkan skenario yang akan di perankan siswa. Contoh skenario yang dapat dipakai untuk pembelajaran dengan metode role playing pada materi aritmatika sosial ini adalah:
Tokoh:
1. Pak Rian sebagai pembeli dari toko grosir.
2. Bu Rian, istri pak Rian yang membantu pak Rian berjualan di toko.
3. Bu Ade sebagai karyawan toko gorsir “SERBA ADA”.
4. Yayu sebagai pembeli pertama.
5. Evi sebagai pembeli terakhir.
Suatu hari pak Rian pergi ke toko grosir ‘SERBA ADA untuk membeli 20 potong busana
Pak Rian : “Selamat siang Bu”
Bu Ade : “Selamat siang Bapak, ada yang bisa saya Bantu?
Pak Rian : “Apa ada busana model baru Bu”
Bu Ade : “oh ada Bapak, Bapak mau yang harga berapa?”
Pak Rian memilih beberapa model baju. Akhirnya setelah sekian lama memilih, pak Rian menemukan model busana yang diinginkan.
Pak Rian : ”Saya pilih yang model ini saja bu, berapa harganya?”
Bu Ade : ”Oh kalau itu, memang model yang paling digemari remaja-remaja akhir-akhir ini Bapak bagus sekali pilihan bapak. Kalau model yang ini satu kemasan terdiri dari ukuran M, L dan XL. Setiap kemasannya kami beri harga Rp 120.000,00. Nanti ada beberapa pilihan warna Bapak. Bapak mau ambil berapa kemasan?”
Pak Rian : “Ehm, kalu begitu saya ambil 10 kemasan”
Bu Ade : ”Oh iya bapak, warna apa saja bapak?”
Bu Ade : “Warna merahnya 2, warna putihnya 3, warna hijaunya 2, warna ungunya 1, dan warna jingganya 2”
Setelah menunggu beberapa saat,Bu Ade datang membawa barang yang dibeli pak Rian dan nota pembelian pak Rian.
Bu Ade : ”Ini bapak barangnya, dan ini nota pembeliannya”
Pak Rian : ”jadi semuanya Rp. 1.200.000,00 Bu ya?, ini uangnya.”
Setelah pak Rian membayar busana yang dibelinya, pak Rian langsung pulang ke tokonya dan menata busana yang baru saja dibelinya di etalase. Selang beberapa menit, seorang pembeli datang ingin membeli busana itu.
Pembeli 1 : ”Berapa harga busana ini, Pak?”
Pak Rian : ”Kalau yang itu Rp. 65.000,00, Mbak”
Pembeli 1 : ”Apa tidak boleh kurang, Pak?”
Bu Rian : ”Mbak nawarnya berapa?”
Pembeli 1 : ”Rp 50.000,00 boleh?”
Pak Rian : ”Ya dinaikkan lagi to Mbak”
Pembeli 1 : ”Pasnya berapa sih Bu?”
Bu Rian : ”Ya sudah, saya kasihkan Rp 60.000,00 saja buat mbak, gimana?”
Pembeli 1 : ” Tidak bisa kurang lagi ya Bu?”
Pak Rian : ”Kan sudah dikurangi sama ibunya, pasnya ya segitu mbak, gimana mbak, kalau jadi saya bungkuskan, saya beri bonus tas plastic nanti.”
Pembeli 1 : ”Ya sudah pak, saya jadi beli”
Akhirnya pembeli 1 membeli busana tersebut dengan harga Rp. 60.000,00.
Bu Rian : ”Bapak, busana yang kita beli dengan harga Rp 40.000,00 dapat kita jual dengan harga Rp. 60.000,00”
Pak Rian : ”Iya Bu, kita untung Rp. 20.000,00”
Akhirnya setelah beberapa hari, sisa dagangan busana model baru pak Rian tinggal satu potong. Selang beberapa menit sebelum pak Rian hendak menutup tokonya, penjual yang terakhir datang.
Pak Rian : ”Mau cari apa Mbak?”
Yayu : ”Bapak, ada model busana yang biasa digunakan artis Syahrini itu lo pak?”
Pak Rian : ”Oh yang ini, kebetulan sekali Mbak tinggal satu ini. Model ini banyak yang cari. Wah kebetulan ukurannya sesuai dengan ukuran badannya Mbak. Bagaimana Mbak, mau diambil?”
Yayu : ”Ukurannya sih cocok Pak, tapi warnanya kok merah sih Pak, apa tidak ada yang lain?”
Pak Rian : ”Kan Bapak tadi sudah bilang, tinggal satu-satunya ini Mbak”
Yayu : ”Berapa Pak harganya?”
Pak Rian : ”Rp. 65.000,00 saja kok Mbak”
Yayu : ”Boleh kurang kan Pak?”
Pak Rian : ”Boleh, Mbak nawar berapa?”
Yayu : ”Rp. 30.000,00 ya Pak?”
Pak Rian : ”Waduh ya dinaikkan to Mbak, masa harga Rp. 65.000,00 Mbak tawar Rp.30.000,00?”
Yayu : ”Kalau ada warna yang lain saya mau Pak menaikkan agak banyak, tapi yang ini saya agak tidak suka warnanya. Begini saja Pak, saya tawar Rp.35.000,00. Bagaimana? Kalau tidak boleh ya sudah.”
Pak Rian : ”Ya sudah Mbak, saya kasihkan Rp.35.000,00, lagian saya juga sudah mau tutup.”
Yayu : ”terima kasih pak, ini uangnya 35.000,00”
Akhirnya busana model baru tersebut terjual habis. Di rumah pak katiin bercerita kepada istrinya mengenai pembeli terakhir.
Pak Rian : ”Bu, maaf ya, busana terakhir terjual hanya Rp.35.000,00”
Bu Rian : ”Ya sudahlah Pak, tidak apa-apa, meskipun begitu, uang yang kita dapat dari penjualan busana itu saja sudah mencapai Rp. 1.635.000,00, kita sudah punya kelebihan dari biaya yang kita keluarkan untuk membeli busana itu.”
Dalam skenario diatas selain hanya siswa diajak bermain peran tapi ia juga dapat mengerti dan paham mengenai materi aritmatika sosial. Untuk mengatasi hal-hal sepeti banyaknya waktu terbuang ataupun kekurangan waktu, maka seorang guru harus dapat menyusun RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dengan sebaik mungkin.
2.5 Keunggulan
Model Bermain Peran menurut Mansyur dalam Syaiful (2007:213) mempunyai keunggulan sebagai berikut.
1) Siswa melatih dirinya untuk melatih, memahami, dan mengingat bahan yang akan didramakan.
2) Siswa akan terlatih untuk berinisiatif dan berkreatif.
3) Bakat yang terpendam pada siswa dapat dipupuk sehingga dimungkinkan akan muncul atau timbul bibit seni dari sekolah.
4) Kerja sama antar pemain dapat ditumbuhkan dan dibina dengan sebaik-baiknya.
5) Siswa memperoleh kebiasaan untuk menerima dan membagi tanggung jawab dengan sesamanya.
6) Bahasa lisan siswa dapat dibina menjadi bahasa yang baik agar mudah dipahami orang lain.
2.6 Kelemahan
Model Bermain Peran menurut Mansyur dalam Syaiful (2007: 213) mempunyai kelemahan antara lain sebagai berikut.
1) Sebagian besar anak yang tidak ikut bermain peran menjadi kurang aktif.
2) Banyak memakan waktu, baik waktu persiapan dalam rangka pemahaman isi bahan pelajaran maupun pada pelaksanaan pertunjukan.
3) Memerlukan tempat yang cukup luas, jika tempat bermain sempit menyebabkan gerak para pemain kurang bebas.
4) Kelas lain sering terganggu oleh suara pemain dan para penonton yang kadang-kadang bertepuk tangan dan sebagainya.
2.7 Upaya Opimalisasi
Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidaklah selalu berjalan dengan mulus meskipun rencana telah dirancang sedemikian rupa. Hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran terutama dalam penerapan model pembelajaran bermain peran diantaranya adalah sebagai berikut: 1) sebagian besar anak yang tidak ikut bermain peran menjadi kurang aktif; 2) banyak memakan waktu, baik waktu persiapan dalam rangkan pemahaman isi bahan pelajaran maupun pada pelaksanaan pertunjukan; 3) memerlukan tempat yang cukup luas, jika tempat bermain sempit menyebabkan gerak para pemain kurang bebas; dan 4) Kelas lain sering terganggu oleh suara pemain dan para penonton yang kadangkadang bertepuk tangan dan sebagainya. Menurut Mansyur dalam Syaiful, (2007: 214) agar pelaksanaan Pembelajaran Bermain Peran dapat berjalan dengan baik, upaya yang harus dilakukan adalah sebagai berikut.
1) Guru harus menerangkan tentang metode ini kepada siswa bahwa dengan jalan bermain peran siswa diharapkan dapat memecahkan masalah hubungan sosial yang aktual ada di masyarakat.
2) Guru harus memilih masalah urgen sehingga menarik minat anak.
3) Agar siswa memahami peristiwa yang diperagakan, guru harus bisa menceritakan sambil mengatur adegan pertama.
4) Bobot dan luasnya bahan pelajaran yang akan didramakan harus sesuai dengan waktu yang tersedia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasaan pada bab II dan III maka dapat ditarik kesimpulan bahwa metode pembelajaran bermain peran adalah suatu metode pembelajaran dengan cara mengelompokkan siswa dan memberikan siswa suatu peran untuk dimainkan dalam sebuah peristiwa yang berkaitan dengan topik bahasan materi pelajaran. Metode ini baik digunakan agar siswa dapat lebih mudah memahami konsep pelajaran khususnya mata pelajaran matematika. Hanya saja, metode ini tidak bisa diterapkan untuk semua materi yang ada pada mata pelajaran matematika.
3.2 Saran
Dari simpulan di atas dapat disampaikan beberapa saran mengenai metode pembelajaran bermain peran yaitu sebagai berikut.
3.2.1 Kepada Siswa
Kepada siswa, sebaiknya mengikuti metode pembelajaran bermain peran ini dengan baik. Siswa sebaiknya melakukan dan mengamati peran dengan seksama agar dapat memahami makna dari konsep pembelajaran matematika yang sedang diterapkan pada peran tersebut.
3.2.2 Kepada Guru Matematika
Kepada guru, sebaiknya bisa memilih materi pelajaran mana yang dapat dijelaskan dengan menggunakan metode bermain peran. Karena metode ini sangat baik digunakan untuk menanamkan konsep awal kepada siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah B. Uno. 2012. Model pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.
Triardhila K.N, Widhadirane. 2013. Pengaruh Metode Bermain Peran Terhadap Peningkatan Perilaku Prososial Anak Tk A Lab. Um Kota Blitar. Jurnal. Universitas Negeri Malang
Nunuk Suryani dan Leo Agung. 2012. Strategi Belajar Mengajar. Yogyakarta: Ombak
Mulyasa, H. E. 2011. Manajemen Pendidikan Berkarakter. Jakarta: Bumi Aksara.
H.Syaiful. 2009. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Roestiyah N. K. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Ratumanan, Tanwey Gerson. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Surabaya: Unesa University Press.
Nyimas Aisyah dkk. 2007. Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Rita Eka Izzaty dkk. 2007. Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta.
Anik dkk. 2007. Peningkatan Pemahaman Kebebasan Berorganisasi Mata Pelajaran Pkn Melalui Metode Role Playing Tugas Program S1, PGSD FKIP Universitas Sebelas Maret.
Harian Rakyat Merdeka, 9 Mei 2014, Di Balik Kisah Siswa SMP Yang Bunuh Diri Akibat Ujian Nasional,
Harian Kompas, 2 Maret 2011, Indeks Pendidikan Indonesia M
DUTI DUTA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Rasional
Pendidikan merupakan hal penting yang diperlukan bagi setiap manusia untuk memperoleh pengetahuan, wawasan serta meningkatkan martabat dalam kehidupan. Manusia berhak mendapatkan pendidikan yang layak sesuai perkembangannya. Pendidikan ini diperoleh melalui proses dari pendidikan dasar, menengah, sampai perguruan tinggi. Pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan akan sangat berguna bagi kehidupan akan datang manakala setiap orang mampu memanfaatkan dan mengoptimalkan pendidikan didapatnya selama ini. Manusia harus memahami bahwa pendidikan yang didapatnya selama ini bukan hanya sekadar formalitas belaka. Namun lebih dari itu, pendidikan akan sangat menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejatinya dipupuk dari tingkat dasar.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Pada pasal 3 dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk itu, pendidikan harus dilandaskan pada empat pilar pendidikan, yaitu: (1) learning to know, di mana siswa mempelajari pengetahuan; (2) learning to do, di mana siswa menggunakan pengetahuannya untuk mengembangkan keterampilan; (3) learning to be, di mana siswa belajar menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk hidup; dan (4) learning to live together, di mana siswa belajar untuk menyadari bahwa adanya saling ketergantungan sehingga diperlukan adanya saling menghargai antara sesama.
Sesuai dengan tujuan diberikannya matematika di sekolah, kita dapat melihat bahwa matematika sekolah memegang peranan sangat penting. Anak didik memerlukan matematika untuk memenuhi kebutuhan praktis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dapat berhitung, dapat menghitung isi dan berat, dapat mengumpulkan, mengolah, menyajikan dan menafsirkan data, dapat menggunakan kalkulator dan komputer. Selain itu, agar mampu mengikuti pelajaran matematika lebih lanjut, membantu memahami bidang studi lain seperti fisika, kimia, arsitektur, farmasi, geografi, ekonomi, dan sebagainya, dan agar para siswa dapat berpikir logis, kritis, dan praktis, beserta bersikap positif dan berjiwa kreatif.
Namun, kenyataan di lapangan belum sesuai dengan yang diharapkan.Hasil studi menyebutkan bahwa meski adanya peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun fokus dan perhatian pada upaya meningkatkan kemampuan berpikir matematika siswa masih jarang dikembangkan. salah satu penyebab rendahnya penguasaan matematika siswa adalah guru tidak memberi kesempatan yang cukup kepada siswa untuk membangun sendiri pengetahuannya. Matematika dipelajari oleh kebanyakan siswa secara langsung dalam bentuk yang sudah jadi (formal), karena matematika dipandang oleh kebanyakan guru sebagai suatu proses yang prosedural dan mekanistis.
Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali mereka dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta kemampuan bekerja sama. Dalam membelajarkan matematika kepada siswa, apabila guru masih menggunakan paradigma pembelajaran lama dalam arti komunikasi dalam pembelajaran matematika cenderung berlangsung satu arah umumnya dari guru ke siswa, dimana guru lebih mendominasi pembelajaran maka pembelajaran cenderung monoton sehingga mengakibatkan peserta didik (siswa) merasa jenuh dan tersiksa. Oleh karena itu dalam membelajarkan matematika kepada siswa, guru hendaknya lebih memilih berbagai variasi pendekatan, strategi, metode yang sesuai dengan situasi sehingga tujuan pembelajaran yang direncanakan akan tercapai. Perlu diketahui bahwa baik atau tidaknya suatu pemilihan model pembelajaran akan tergantung tujuan pembelajarannya, kesesuaian dengan materi pembelajaran, tingkat perkembangan peserta didik (siswa), kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran serta mengoptimalkan sumber-sumber belajar yang ada.
Model pembelajaran yang dapat digunakan guru dalam pembelajaran matematika, yaitu model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang didalamnya mengkondisikan para siswa bekerja bersama-sama didalam kelompok-kelompok kecil untuk membantu satu sama lain dalam belajar (Suprijono, 2011). Pembelajaran kooperatif didasarkan pada gagasan atau pemikiran bahwa siswa bekerja bersama-sama dalam belajar, dan bertanggung jawab terhadap aktivitas belajar kelompok mereka seperti terhadap diri mereka sendiri. Sehingga pembelajaran matematika dengan model pembelajaran kooperatif akan meningkatkan hasil belajar akademik siswa dan siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya, serta pengembangan keterampilan sosial.
Salah satu model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran kooperatif Duti-Duta (Dua Tinggal-Dua Tamu) atau Two Stay-Two Stray. Melalui model pembelajaran kooperatif Duti-Duta diharapkan siswa akan berani mengungkapkan pendapatnya dalam kelompoknya sendiri, kemudian dalam kelompok lain. Model pembelajaran ini juga memberikan kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lain.
Pada kesempatan ini, penulis akan memaparkan kajian filosofis dan kajian teoritik mengenai model pembelajaran kooperatif Duti-Duta, sintaks model pembelajaran kooperatif Duti-Duta, implementasi model pembelajaran kooperatif Duti-Duta, serta kelebihan dan kekurangan model pembelajaran kooperatif Duti-Duta.
1.2 Masalah
Mengacu pada rasional yang telah diuraikan, masalah yang ingin dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1) Apa landasan filosofis model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta?
2) Apa landasan teoritik model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta?
3) Bagaimana sintaks model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta?
4) Bagaimana implementasi model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta dalam pembelajaran matematika?
5) Bagaimana situasi ideal yang diperlukan untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta dalam pembelajaran matematika?
6) Apa kelebihan dan kekurangan model pembelajaran kooperatif Duti-Duta?
7) Upaya apa yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil belajar pada model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta dalam pembelajaran matematika?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini, yaitu:
1) Mengkaji landasan filosofis model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta.
2) Mengkaji landasan teoritik model pembelajaran kooperatif tupe duti-duta.
3) Merumuskan sintaks model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta.
4) Menyusun rencana pembelajaran dengan mengimplementasikan model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta dalam pembelajaran matematika.
5) Mengidentifikasi situasi ideal yang diperlukan untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta dalam pembelajaran matematika.
6) Mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta.
7) Merumuskan upaya yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil belajar pada model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta dalam pembelajaran matematika.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Filosofis
Model pembelajaran kooperatif merupakan kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkonstruksi konsep dan menyelesaikan persoalan. Model pembelajaran kooperatif mengupayakan seorang siswa mampu mengajarkan siswa lain. Mengajar teman sebaya memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari sesuatu dengan baik dan pada waktu yang bersamaan, ia menjadi nara sumber bagi siswa lainnya.
Pembelajaran kooperatif pertama kali muncul dari para filosofis diawal abad masehi yang mengemukakan bahwa dalam belajar seseorang harus memiliki pasangan atau teman sehingga teman tersebut dapat diajak untuk memecahkan suatu masalah. Menurut Anita Lie (dalam Ai Nurhayati, 2012) model pembelajaran kooperatif atau disebut juga pembelajaran gotong royong merupakan sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas yang terstruktur.
Hal-hal yang melandasi model pembelajaran kooperatif, yaitu hidup bermasyarakat, dimana manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan selalu bergantung kepada orang lain. Atas dasar inilah akan lebih efektif apabila dalam pembelajaran siswa dapat bekerja secara berkelompok. Dengan belajar bersama siswa akan lebih mudah menemukan, memahami konsep yang sulit menjadi lebih mudah dipahami, karena setiap siswa mengutarakan ide-idenya dalam bentuk potongan-potongan atau pecahan-pecahan masalah yang apabila digabung (dikonstruksikan) akan ditemukan pemecahan masalahnya. Dengan adanya pemikiran-pemikiran yang bervariasi pada setiap siswa maka akan didapatkan kesimpulan yang lebih baik dibandingkan dengan berfokus pada satu pemikiran. Karena manusia menyadari bahwa pemikiran orang banyak jauh lebih baik daripada pemikiran sendiri.
Dalam pembelajaran kooperatif menurut Wina Sanjaya (dalam Syaifurahman, 2013) terdapat empat prinsip yang akan muncul, yaitu (1) Prinsip ketergantungan positif, (2) Tanggung jawab perseorangan, (3) Interaksi tatap muka, dan (4) Partisipasi dan komunikasi. Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama diantara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Ciri-ciri pembelajaran kooperatif adalah (1) siswa belajar dalam kelompok secara kooperatif; (2) kelompok dibentuk dari siswa-siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah; (3) kelompok belajar terdiri atas ras, suku, budaya, jenis kelamin yang berbeda; (4) penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok daripada perorangan.
Manfaat pembelajaran kooperatif bagi siswa antara lain: (1) meningkatkan kemampuan bekerjasama dan bersosialisasi; (2) melatih kepekaan diri, empati melalui variasi perbedaan sikap dan prilaku; (3) mengurang rasa kecemasan dan menumbuhkan rasa percaya diri; (4) meningkatkan motivasi belajar, harga diri dan sikap prilaku yang positif, sehingga siswa akan tahu kedudukannya dan belajar untuk saling menghargai satu sama lain; (5) meningkatkan prestasi belajar dengan menyelesaikan tugas akademik, sehingga dapat membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit.
Model pembelajaran kooperatif tipe Duti-Duta adalah merupakan salah satu bagian dari metode pembelajaran kooperatif yang menempatkan peserta didik dalam kelompok kecil yang beranggotakan 3-4 orang. Kemudian mereka diberi tugas untuk membahas materi pelajaran bersama teman kelompoknya untuk selanjutnya mereka juga akan bertukar anggota untuk sementara guna saling membagikan hasil diskusi dan kerja kelompok untuk didiskusikan kembali dengan anggota lainnya. Hal ini dilakukan dengan cara saling mengunjungi/bertamu antar kelompok untuk berbagi informasi.
Model Pembelajaran Kooperatif Duti-Duta ini bukan sekadar model pembelajaran berkelompok biasa. Akan tetapi, model ini juga merupakan sistem kerja atau belajar berkelompok yang terstruktur. Struktur Duti-Duta memberikan kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lain. Hal ini didasarkan pada kenyataan hidup di mana kehidupan dan kerja manusia saling bergantung satu dengan yang lainnya.
Model ini memberikan kesempatan kepada kelompok membagikan hasil dan informasi kepada kelompok lain. Hal ini dilakukan karena model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta ini memiliki tujuan mengarahkan siswa untuk aktif, baik dalam berdiskusi, tanya jawab, mencari jawaban, menjelaskan dan juga menyimak materi yang dijelaskan oleh teman. Selain itu, alasan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta ini karena dalam model ini terdapat pembagian kerja kelompok yang jelas untuk tiap anggota kelompok dan siswa mendapat kesempatan bekerjasama dengan temannya.
Adapun etika saat siswa berperan menjadi tamu diantaranya ketika bertamu siswa hendaknya bersikap sopan, dapat menyimak dengan baik informasi yang disampaikan oleh siswa yang bertugas sebagai tuan rumah. Sedangkan siswa yang betugas sebagai tuan rumah juga hendaknya bersikap sopan dan dapat menjelaskan hasil diskusi kelompoknya kepada teman yang berkunjung.
Ciri-ciri model pembelajaran kooperatif Duti-Duta, yaitu:
- Satu kelompok beranggota 3-4 siswa.
- Beri tugas untuk berdiskusi.
- Setelah selesai dua siswa bertamu ke kelompok lain.
- Dua siswa yang tinggal menginformasikan hasil diskusinya kepada dua temannya.
- Tamu kembali ke kelompok dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain.
2.2 Landasan Teoritik
Ada beberapa teori yang melandasi model pembelajaran kooperatif tipe Duti-Duta, yaitu: Teori Belajar Kognitif, Teori Belajar Sosial, Teori Belajar Bermakna Ausubel dan Teori Belajar Menurut Paham Behavioristik.
Teori Belajar Kognitif
Dalam praktek pembelajaran, teori kognitif tampak dalam penerapan pendekatan konstruktivisme yang dikemukakan oleh Jean Piaget. Menurut piaget, pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah kumpulan fakta-fakta tetapi merupakan konstruksi kognitif seseoarng terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya.
Selain itu, Slavin (dalam Trianto, 2012), menurut pandangan konstruktivisme anak secara aktif membangun pengetahuan dengan cara terus menerus mengasimilasi dan mengakomodasi informasi baru. Dengan kata lain konstruktivisme adalah teori perkembangan kognitif yang menekankan peran aktif siswa dalam membangun pemahaman mereka tentang realita.
Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi. Kegiatan belajar dipandang dari segi prosesnya daripada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Pemberian makna terhadap objek dan pengalaman terhadap individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan social yang unik, yang terbentuk baik dalam budaya kelas maupun diluar kelas. Oleh sebab itu, pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya bukan semata-mata pada pengelolaan siswa dan lingkungan belajarnya.
Teori Belajar Sosial
Teori Vygotsky menekankan pada aspek sosial daripada pembelajaran. Menurut Vygotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas itu masih dalam zone of proximal development anak yaitu daerah tingkat perkembangan sedikit diatas perkembangan anak saat itu. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan dan kerja sama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap kedalam individu tersebut.
Pemikiran Vygotsky sama dengan pemikiran Piaget bahwa anak membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Vygotsky yakin bahwa perkembangan tergantung pada faktor biologis yang menentukan fungsi-fungsi elementer memori, atensi, persepsi dan stimulus respon, serta tergantung pada faktor sosial yang sangat penting artinya bagi perkembangan fungsi mental lebih tinggi untuk perkembangan konsep, penalaran logis, dan pengambilan keputusan.
Selain itu terdapat pula konsep dasar dari teori belajar sosial yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Menurut Bandura, sebagai besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. (Arends dalam Trianto, 2012). Seorang belajar menurut teori ini dilakukan dengan mengamati tingkah laku orang lain (model), hasil pengamatan itu kemudian dimantapkan dengan cara menghubungkan pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya atau mengulang-ulang kembali. Dengan jalan ini memberi kesempatan kepada orang tersebut untuk mengekspresikan tingkah laku yang dipelajarinya.
Teori Belajar Bermakna
Teori belajar Ausubel menitikberatkan pada bagaimana seseorang memperoleh pengetahuannya. Inti dari teori Ausubel tentang belajar ialah belajar bermakna. Bagi Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Belajar dikatakan menjadi bermakna (meaningful learning) bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu mampu mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Belajar seharusnya merupakan apa yang disebut asimilasi bermakna, materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya.
Kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan belajar penemuan (discovery learning) lebih bermakna dari pada kegiatan belajar penerimaan (reception learning). Sehingga dengan ceramahpun, asalkan informasinya bermakna bagi peserta didik, apalagi penyajiannya sistematis, akan dihasilkan belajar yang baik. Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar bermakna. Mereka yang berada pada tingkat pendidikan dasar, akan lebih bermanfaat jika siswa diajak beraktivitas, dilibatkan langsung dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih efektif jika menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram dan ilustrasi.
Teori Belajar Menurut Paham Behavioristik
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berwujud kongkrit yaitu dapat diamati atau tidak kongkrit yaitu tidak dapat diamati.
2.3 Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Duti-Duta
Aktivitas belajar dalam model pembelajaran kooperatif tipe Duti-Duta melibatkan pengakuan tim dan tanggungjawab kelompok untuk pembelajaran individu anggota. Inti kegiatan dalam model pembelajaran Duti-Duta adalah:
1. Mengajar: guru mempresentasikan materi pelajaran
2. Belajar pada tim: peserta didik belajar melalui kegiatan kerja dalam tim/kelompok dan antar kelompok dengan dipandu oleh lembar kegiatan untuk menuntaskan materi pelajaran.
3. Penghargaan: pemberian penghargaan kepada peserta didik yang berprestasi dan tim/kelompok yang memperoleh skor tertinggi dalam kuis.
Berikut adalah ilustrasi pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe Duti-Duta :
Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe duti-duta (Lie, 2008), yaitu:
1. Membagi siswa dalam kelompok-kelompok. Satu kelompok terdiri dari tiga sampai empat siswa.
2. Guru memberikan sub pokok bahasan tertentu dan tugas-tugas tertentu kepada setiap kelompok untuk dibahas bersama-sama dengan anggota kelompoknya masing-masing.
3. Siswa-siswa di dalam setiap kelompok bekerja sama untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru
4. Setelah setiap kelompok selesai mengerjakan tugas yang diberikan maka setiap kelompok menentukan dua anggota yang akan stay (tinggal) dan dua anggota yang akan stray (berpencar) ke kelompok lain, telah mereka kerjakan untuk menyelesaikan tugas dari guru (catatan: siswa pada langkah ini saling menjelaskan, presentasi, bertanya, dan melakukan konfirmasi, lalu mencatat apa-apa yang didapatnya dari kelompok lain).
5. Dua anggota kelompok yang tinggal di dalam kelompok bertugas membagi informasi dan hasil kerja mereka kepada dua orang tamu dari kelompok lain yang akan berkunjung ke kelompok mereka
6. Semua anggota kelompok kembali ke kelompok yang semula dan melaporkan apa yang mereka temukan dari kelompok lain
7. Setiap kelompok kemudian membandingkan dan membahas hasil pekerjaan mereka semua dalam sebuah diskusi kelas dengan fasilitasi oleh guru
8. Seluruh kelompok membuat kesimpulannya.
9. Memberikan kuis secara individu untuk mengetahui seberapa besar pemahaman peserta didik tentang materi yang telah diberikan.
10. Membahas soal kuis bersama–sama dengan peserta didik.
11. Bersama peserta didik mengevaluasi dan menyimpulkan materi pembelajaran.
12. Memberikan penghargaan.
2.4 Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Duti-Duta
Implementasi pembelajaran kooperatif tipe duti-duta terdiri dari langkah-langkah pokok sebagai berikut. (1) Pembagian kelompok, (2) Pemberian tugas, (3) Diskusi kelompok mengenai tugas yang diberikan guru, (4) Setiap kelompok menentukan siswa yang tinggal atau berpencar, (5) Berbagi informasi, (6) Diskusi kelompok mengenai hasil penemuan, (7) Diskusi kelas, (8) Mengadakan kuis, (9) Memberikan Penghargaan.
Aktivitas pembelajaran kooperatif tipe Duti-Duta ini diatur secara instruksional adalah sebagai berikut.
1) Membaca: siswa memperoleh sub bab materi dan persoalan yang paralel dalam tiap kelompok dan membaca materi tersebut untuk mendapatkan informasi.
2) Diskusi kelompok: siswa dengan materi dan persoalan yang diberikan berdiskusi dengan siswa dalam kelompoknya.
3) Diskusi antar kelompok: siswa dari kelompok satu bertamu ke kelompok lain untuk saling berbagi informasi
4) Diskusi kelompok asal : siswa yang bertamu kembali ke kelompok asal dan membagikan hasil temuannya dari kelompok lain.
5) Kuis: siswa memperoleh kuis individu yang mencakup semua topik.
6) Penghargaan kelompok: penghitungan skor kelompok dan menentukan penghargaan kelompok.
Berikut ini disajikan sebuah contoh implementasi model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta untuk materi Sisem Persamaan Linier Dua Variabel (SPLDV)
1. Siswa dibagi dalam kelompok yang terdiri dari 3-4 orang siswa.
2. Setiap kelompok diberikan materi dan persoalan yang paralel. Berikut merupakan persoalan yang diterima pada setiap kelompok.
1. Himpunan penyelesaian dari sistem persamaan
adalah....
2. Ibu Ani membeli 8 kilogram mangga dan 6 kilogram jeruk dipasar seharga Rp 88.000,00. Sedangkan ibu Tuti membeli 12 kilogram mangga dan 8 kilogram jeruk dipasar seharga Rp 100.000,00. Berapa harga mangga dan jeruk perkilogram?
3. Pada tahun 2005, Putu berusia 13 tahun lebih muda dari Wayan. Sembilan tahun kemudian, usia Wayan 2 kali dari usia Putu. Berapakah usia Putu sekarang?
Instruksi : Definisikan persoalan tersebut secara matematis dan tentukan solusinya.
3. Siswa berdiskusi dalam kelompok
4. Siswa berkunjung ke kelompok lain
5. Siswa kembali ke kelompok asal
6. Mengadakan diskusi kelompok asal
7. Mengadakan diskusi kelas
8. Kuis individu oleh guru
9. Pemberian penghargaan
2.5 Situasi Ideal Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Duti-Duta
Model pembelajan kooperatif duti-duta cocok diterapkan dengan menggunakan pendekatan open-ended dimana siswa secara leluasa untuk berfikir secara aktif dan kreatif dalam menyelesaikan suatu permasalahan sehingga bermanfaat untuk meningkatkan cara berfikir siswa. Jadi, siswa akan dihadapkan pada permasalahan yang penyelesaiannya tidak perlu hanya satu sehingga diharapkan kreatifitas siswa dapat berkembang. Materi dan persoalan yang diberikan kepada setiap kelompok hendaknya bersifat paralel. Sehingga setiap kelompok akan dapat mendiskusikan materi dan persoalan yang sama.
Pembagian kelompok dalam model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta dilakukan secara heterogen, baik dari segi kemampuan maupun karakteristik yang lain. Oleh karena itu, model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta sangat tepat untuk diterapkan pada siswa yang memiliki karakteristik heterogen, baik dari segi kemampuan, jenis kelamin, atau karakteristik yang lain.
Dalam pembagian kelompok, idealnya setiap kelompok terdiri dari empat orang dimana satu orang dengan kemampuan akademis tinggi, dua orang dengan akademis sedang dan satu orang dengan kemapuan akademis rendah. Siswa yang bertugas sebagai tuan rumah diharapkan siswa yang mempunyai kemampuan akademis yang tinggi dan yang rendah, sedangkan siswa yang bertugas sebagai tamu diharapkan siswa yang mempunyai kemampuan akademis sedang.
2.6 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Duti-Duta
Kelebihan dari penerapan pembelajaran kooperatif tipe duti-duta,diantaranya:
• Pertama, pembelajaran kooperatif tipe duti-duta dapat diimplementasikan untuk berbagai kelas atau tingkatan usia.
• Kedua, kecenderungan belajar siswa menjadi lebih bermakna karena guru memberikan kesempatan terhadap siswa untuk membentuk konsep secara mandiri dengan cara-cara mereka sendiri dan melalui metode-metode pemecahan masalah
• Ketiga, implementasi pembelajaran kooperatif tipe duti-duta ini tentu saja dapat membuat siswa aktif. Bila siswa belum terbiasa, memang pembelajaran serasa macet, tetapi bila telah beberapa kali dilaksanakan maka jalannya akan lebih mulus, karena setiap siswa mempunyai aktivitas dan tanggung jawab masing-masing untuk kelompoknya
• Keempat, dengan penerapan pembelajaran kooperatif tipe duti-duta ini guru dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, karena setiap siswa mempunyai tanggung jawab belajar, baik untuk dirinya sendiri maupun kelompoknya. Hal ini tampak sekali pada saat mereka saling bertukar informasi.
• Kelima, Saat siswa berpencar, maka setiap anggota kelompok akan saling bertukar informasi dengan kelompok lain. Setiap kelompok akan mendapatkan informasi sekaligus dari dua kelompok yang berbeda (karena dua orang yang berpencar pergi ke kelompok yang berbeda), begitupun bagi siswa yang tinggal, juga akan mendapatkan informasi dari dua tamu yang datang dari dua kelompok yang berbeda.
• Keenam, karena semua siswaterlibat aktif dalam pembelajaran, dan semua anggota kelompok diharuskan melaporkan hasil-hasil kunjungannya ke kelompok lain (bagi siswa yang berpencar/stray) dan hasilhasil yang diperoleh saat kunjungan tamu di kelompok mereka (bagi siswa yang tinggal/stay), maka dapat memberikan efek peningkatan prestasi belajar dan daya ingat.
• Ketujuh, siswa yang tinggal di dalam kelompok (stay) mempunyai kesempatan untuk meningkatkan kreativitas, misalnya berkaitan dengan bagaimana cara mereka menyajikan hasil kerja kelompok mereka kepada tamu (anggota kelompok lain) yang berkunjung ke kelompoknya.
• Kedelapan, dengan membandingkan hasil pekerjaan kelompoknya dengan pekerjaan kelompok lain, guru berarti telah memberikan kesempatan kepada siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis, di mana mereka akan mencoba mencermati pekerjaan orang lain dan pekerjaan kelompoknya.
• Kesembilan, pembelajaran kooperatif tipe duti-duta dapat membantu guru dalam pencapaian pembelajaran, karena langkah pembelajaran kooperatif mudah diterapkan di sekolah dan dengan bantuan siswa siswa guru mendapat tambahan tenaga berupa tutor sebaya saat seorang anggota kelompok bertukar informasi, mengkonfirmasi, presentasi, dan bertanya kepada anggota kelompok lainnya.
Kekurangan dari penerapan model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta ini di kelas adalah dalam hal Alokasi Waktu. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Duti-duta membutuhkan waktu yang relatif lama untuk persiapan dan pelaksanaannya bila dibandingkan dengan model konvensional. Hal tersebut tampak mulai tahap persiapan pembagian kelompok, diskusi dan presentasi siswa. Akan tetapi bila guru pandai mengelola dan memanajemen pembelajaran, maka alokasi waktu yang diperlukan ini akan terbayar dengan kesuksesan pencapaian tujuan pembelajaran. Guru dapat mengatur presentasi di akhir pembelajaran agar terbentuk konsep yang mantap di benak siswa, tidak harus semua kelompok tampil. Cukup beberapa, yang penting harus disertai umpan balik terlebih-lebih untuk hal-hal tertentu yang sifatnya penting.
Kekurangan lainnya adalah dalam pelaksanaan pada saat bertamu.Guru harus benar-benar menerangkan kepada siswa mengenai maksud dan tujuan dari bertamu. Siswa terkadang masih kebingungan untuk saling bertukar informasi dengan kelompok lain. Karena tujuan dari berbagi informasi disini bukan untuk mencontek hasil jawaban dari kelompok lain. Justru pada tahap ini siswa melakukan konfirmasi bila terjadi perbedaan pendapat mengenai hasil tugas yang telah dibahas di kelompok asal masing-masing. Siswa saling menjelaskan dan mengkritisi untuk memperoleh manfaat dari tahap paling penting dari model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta ini.
Bagi guru, membutuhkan banyak persiapan seperti materi, dana dan tenaga serta guru cenderung kesulitan dalam pengelolaan kelas. Selain itu, seperti kelompok biasa, siswa yang pandai menguasai jalannya diskusi, sehingga siswa yang kurang pandai memiliki kesempatan yang sedikit untuk mengeluarkan pendapatnya.
Untuk mengatasi kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta maka sebelum pembelajaran guru terlebih dahulu mempersiapkan dan membentuk kelompok-kelompok belajar yang heterogen ditinjau dari segi jenis kelamin dan kemampuan akademis.Berdasarkan sisi jenis kelamin, dalam satu kelompk harus ada siswa laki-laki dan perempuannya. Jika berdasarkan kemampuan akademis maka dalam satu kelompok terdiri dari satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang dengan kemampuan sedang dan satu lainnya dari kelompok kemampuan akademis kurang. Pembentukan kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk saling mengajar dan saling mendukung sehingga memudahkan pengelolaan kelas karena dengan adanya satu orang yang berkemampuan akademis tinggi yang diharapkan bisa membantu anggota kelompok yang lain.
2.7 Upaya Optimalisasi
Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidaklah selalu berjalan dengan mulus meskipun rencana telah dirancang sedemikian rupa. Kunci tipe duti-duta ini adalah kerjasama tim dalam menyelesaikan persoalan yang diberikan serta interaksi antar kelompok.
Hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran terutama dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta diantaranya adalah sebagai berikut. (1) Kurangnya pemahaman guru mengenai penerapan pembelajaran kooperatif tipe duti-duta; (2) Jumlah siswa yang terlalu banyak yang mengakibatkan perhatian guru terhadap proses pembelajaran relatif kecil sehingga yang hanya segelintir orang yang menguasai arena kelas, yang lain hanya sebagai penonton; (3) Kurangnya sosialisasi dari pihak terkait tentang tipe pembelajaran kooperatif tipe duti-duta; (4) Kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran.
Agar pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe duti-duta dapat berjalan dengan baik, upaya yang harus dilakukan adalah sebagai berikut. (1) Guru senantiasa mempelajari teknik-teknik penerapan model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta di kelas dan menyesuaikan dengan materi yang akan diajarkan. (2) Pembagian jumlah siswa yang merata, dalam artian tiap kelas merupakan kelas heterogen. (3) Diadakan sosialisasi dari pihak terkait tentang tipe pembelajaran kooperatif tipe duti-duta. (4) Meningkatkan sarana pendukung pembelajaran terutama buku sumber.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Model pembelajaran kooperatif merupakan kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkonstruksi konsep dan menyelesaikan persoalan. model pembelajaran kooperatif atau disebut juga pembelajaran gotong royong merupakan sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas yang terstruktur. Hal-hal yang melandasi model pembelajaran kooperatif, yaitu hidup bermasyarakat, dimana manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan selalu bergantung kepada orang lain. Model Pembelajaran Kooperatif Duti-Duta ini bukan sekadar model pembelajaran berkelompok biasa. Akan tetapi, model ini juga merupakan sistem kerja atau belajar berkelompok yang terstruktur. Hal ini didasarkan pada kenyataan hidup di mana kehidupan dan kerja manusia saling bergantung satu dengan yang lainnya. Ada beberapa teori yang melandasi model pembelajaran kooperatif tipe Duti-Duta, yaitu: Teori Belajar Konstruktivis, Teori Belajar Sosial Vygotsky, Teori Belajar Bermakna Ausubel.
Prosedur pelaksanaan dengan model pembelajaran Duti-Duta yaitu, pertama-tama siswa bekerja sama dengan kelompok berempat sebagai mana biasa kemudian guru memberikan tugas pada setiap kelompok untuk didiskusikan dan dikerjakan bersama. Setelah selesai, dua anggota dari masing-masing kelompok diminta meninggalkan kelompoknya dan masing-masing bertamu kedua anggota dari kelompok lain.Dua orang yang “tinggal” dalam kelompok bertugas membagi informasi dan hasil kerja mereka ke tamu mereka. Kemudian “Tamu” mohon diri dan kembali ke kelompok yang semula dan melaporkan apa yang mereka temukan dari kelompok lain. Setiap kelompok lalu membandingkan dan membahas hasil pekerjaan mereka semua dan membuat kesimpulannya. Model pembelajan kooperatif duti-duta cocok diterapkan dengan menggunakan pendekatan open-ended dimana siswa secara leluasa untuk berfikir secara aktif dan kreatif dalam menyelesaikan suatu permasalahan sehingga bermanfaat untuk meningkatkan cara berfikir siswa.
Pembelajaran kooperatif tipe duti-duta dapat diimplementasikan untuk berbagai kelas atau tingkatan usia. Dengan penerapan pembelajaran kooperatif tipe duti-duta ini guru dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, karena setiap siswa mempunyai tanggung jawab belajar, baik untuk dirinya sendiri maupun kelompoknya.Pembelajaran kooperatif tipe duti-duta dapat membantu guru dalam pencapaian pembelajaran. Kekurangan dari penerapan model pembelajaran kooperatif tipe duti-duta ini di kelas adalah dalam hal Alokasi Waktu. Kekurangan lainnya adalah dalam pelaksanaan pada saat bertamu.Guru harus benar-benar menerangkan kepada siswa mengenai maksud dan tujuan dari bertamu.
3.2 Rekomendasi
Hendaknya para guru dapat menggunakan model pembelajaran ini sebagai selingan karena baik digunakan untuk memotivasi peserta didik, selain itu model ini cukup menarik untuk diterapkan. Para guru dan calon guru hendaknya mengetahui dan memahami hakikat model pembelajaran, agar dapat memilah-milah mana yang cocok satu sama lainnya serta dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Dengan pemilihan yang tepat diharapkan dapat membuat nyaman guru dalam mengajar dan dapat pula membuat siswa nyaman dalam belajar sehingga meningkatkan hasil belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, Asri. 2005. Belajar Dan pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta
Dahar, Ratna Wilis. 2006. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga
Khasanah, Uswantu, Keefektifan Penggunaan Metode Two Stay Two Stray Pada Pembelajaran Matematika Di SMAN 1 Sedayu, Skripsi, Program Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta, 2011.
Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning. Terjemahan Grasindo. Jakarta: Grasindo
Satriani, dkk, Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Duti-Duta Terhadap Prestasi Belajar Matematika Dengan Kovariabel Kemampuan Numerik Pada Siswa Kelas IX, Jurnal, Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha, 2013.
Suprijono, A. 2011.Cooperative Learning.Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Syaifurahman. 2013. Manajemen Dalam Pembelajaran. Jakarta: Permata Puri Media
Trianto. 2012. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Askara
Heuristik
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 RASIONAL
Pendidikan merupakan modal bagi kemajuan suatu negara. Pendidikan yang baik akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas demi menunjang kemajuan suatu negara. Untuk mencapai itu diperlukan adanya peningkatan mutu pendidikan. Pembelajaran di sekolah menjadi kunci peningkatan mutu pendidikan. Suasana pembelajaran yang tidak kaku, salah satu alternatif dalam menciptakan pembelajaran yang lebih kondusif.
Pembelajaran matematika merupakan salah satu bagian dalam pendidikan di sekolah. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, matematika merupakan pelajaran wajib di sekolah. Matematika sangat penting dipelajari karena matematika merupakan ilmu dasar dan berkontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu tujuan pembelajaran matematika di sekolah adalah kemampuan memahami dan menjelaskan keterkaitan antar konsep matematika (Depdiknas, 2006). Kemampuan menjelaskan keterkaitan antar konsep, dalam matematika itu sendiri maupun konsep matematika dengan ilmu-ilmu lain, bisa disebut kemampuan koneksi matematis.
Menurut National Council of Teacher of Mathematics atau NCTM (2000), lima standar kompetensi yang wajib dikembangkan dalam matematika sekolah, yaitu kompetensi pemecahan masalah, penalaran, koneksi, komunikasi, dan representasi.
Kemampuan matematis siswa di Indonesia tergolong masih rendah. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan. Diantaranya, penelitian yang dilakukan oleh Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2012 bahwa Indonesia menduduki peringkat 64 dari 65 negara partisipan dalam menerapkan konsep-konsep matematika ke dalam masalah-masalah yang berkaitan. Hasil dari penelitian itu menunjukkan bahwa 75% siswa Indonesia hanya mampu mengenali tema masalah, tetapi tidak mampu menemukan keterkaitan antara tema masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki. Keterkaitan yang dimaksud di sini adalah koneksi antara tema masalah dengan segala pengetahuan yang ada. Tentu hasil tersebut sangat mengejutkan. Sebelumnya dalam PISA tahun 2009, Indonesia menempati peringkat 58 dari 65 negara partisipan.
Perubahan paradigma pembelajaran matematika ini kemudian diadaptasi dalam kurikulum di Indonesia terutama mulai dalam Kurikulum 2004 (KBK) dan Kurikulum 2006. Salah satu tujuan pembelajaran matematika sekolah adalah “memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh”. (BSNP, 2006). Oleh karena itu, pemecahan masalah menjadi fokus penting dalam kurikulum matematika sekolah mulai jenjang sekolah dasar sampai sekolah menengah. Penguasaan setiap standar kompetensi selalu dilengkapi dengan suatu kompetensi dasar pemecahan masalah yang berkaitan dengan standar kompetensi tersebut.
Kemampuan memecahkan masalah adalah kemampuan kognitif tingkat tinggi. Sukmadinata dan As’ari (2005 : 24) menambahkan tahap berpikir pemecahan masalah setelah tahap evaluasi yang menjadi bagian dari tahapan kognitif Bloom. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan memecahkan masalah adalah kemampuan kognitif tingkat tinggi.
Pemecahan masalah adalah suatu kemampuan berpikir yang menuntut suatu tahapan berpikir. Polya (Schoenfeld, 1980) dalam bukunya How to Solve It pertama kali mengenalkan 4 langkah dalam pemecahan masalah yang disebut Heuristik. Strategi berpikir pemecahan masalah menurut Polya dijadikan sebagai model umum strategi pemecahan masalah. Sementara pengembangannya memuat langkah yang lebih rinci dan spesifik.
Heuristik adalah suatu langkah-langkah umum yang memandu pemecah masalah dalam menemukan solusi masalah. Berbeda dengan algoritma yang berupa prosedur penyelesaian sesuatu dimana jika prosedur itu digunakan maka akan sampai pada solusi yang benar. Sementara Heuristik tidak menjamin solusi yang tepat, tetapi hanya memandu dalam menemukan solusi. Jika langkah-langkah algoritma harus dilakukan secara berurutan, maka heuristik tidak menuntut langkah berurutan.
Kajian tentang pemecahan masalah dan pembelajarannya tidak dapat dilepaskan dari peran heuristik sebagai strategi dalam proses pemecahan masalah. Membelajarkan pemecahan masalah dapat berarti pula mengajarkan cara berpikir secara heuristik yang memuat langkah lebih rinci. Langkahlangkah itu dapat dipelajari oleh atau diajarkan kepada siswa dalam pembelajaran matematika. Kemampuan memecahkan masalah dapat ditunjukkan melalui penguasaan terhadap heuristiknya.
Pentingnya peranan heuristik dalam pemecahan masalah matematika dan pembelajarannya inilah yang melatarbelakangi ditulisnya makalah ini. Makalah ini diharapkan dapat mengungkap sekaligus mengkaji peranan heuristik dalam pemecahan masalah dan pembelajarannya.
1.2 Rumusan Masalah
Mengacu pada rasional yang telah diuraikan, masalah yang ingin dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1) Apa landasan filosofis model pembelajaran heuristik?
2) Apa landasan teoritik model pembelajaran heuristik?
3) Bagaimana sintaks model pembelaran heuristik?
4) Bagaimana implementasi model pembelajaran heuristik dalam pembelajaran matematika?
5) Bagaimana situasi ideal yang diperlukan untuk menerapkan model pembelajaran heuristik dalam pembelajaran matematika?
6) Apa keunggulan model pembelajaran heuristik dalam pembelajaran matematika?
7) Apa kelemahan model pembelajaran heuristik dalam pembelajaran matematika?
8) Upaya apa yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil belajar pada model pembelajaran heuristik dalam pembelajaran matematika?
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1) Mengkaji landasan filosofis model pembelajaran heuristik.
2) Mengkaji landasan teoritik model pembelajaran heuristik.
3) Merumuskan sintaks model pembelajaran heuristik.
4) Menyusun rencana pembelajaran dengan mengimplementasikan model pembelajaran heuristik dalam pembelajaran matematika.
5) Mengidentifikasi situasi ideal yang diperlukan untuk menerapkan model pembelajaran heuristik dalam pembelajaran matematika.
6) Mengidentifikasi keunggulan model pembelajaran heuristik dalam pembelajaran matematika.
7) Mengidentifikasi kelemahan model pembelajaran heuristik dalam pembelajaran matematika.
8) Merumuskan upaya yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil belajar pada model pembelajaran heuristik dalam pembelajaran matematika.
1.4 Manfaat
1) Bagi penulis
Penulis yang merupakan calon tenaga pendidik, makalah ini sangat membantu penulis dalam memahami materi metode pembelajaran heuristik. Makalah ini nantinya akan dipresentasikan dalam mata kuliah Strategi Pembelajaran Matematika sehingga akan sangat membantu penulis untuk belajar serta mempersiapkan diri menjadi seorang tenaga pendidik yang handal.
2) Bagi pembaca
Makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan belajar dan referensi bagi pembaca untuk memahami metode pembelajaran heuristik. Sehingga dapat membantu pembaca untuk mengetahui metode pembelajaran heuristik
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 LANDASAN FILOSOFIS
Heuristik adalah seni dan ilmu pengetahuan dari penemuan. Kata ini berasal dari akar yang sama dalam bahasa yunani dengan kata “eureka”, berarti untuk menemukan. Heuristik banyak digunakan dalam bidang intelegensia buatan, Disana heuristik didefinisikan sebagai petunjuk praktis yang dapat memperpendek proses pencarian untuk menemukan penyelesaian masalah, identik dengan definisi itu Katretchko (dalam Candiasa, 2002 : 56) mendefinisikan proses heuristik sebagai aturan dengan tujuan utama mengurangi proses pencarian penyelesaian. Penyelesaian masalah dalam bidang intelegensia buatan didominasi oleh proses pencarian (searching) bila pencarian ini dilakukan secara linier, maka akan banyak menghabiskan waktu karena masalah-masalah dalam bidang intelegensia buatan memunculkan alternatif penyelesaian yang amat banyak.
Heuristik adalah model pembelajaran yang ideal untuk mengaktifkan siswa memperoleh pengetahuan atau informasi. Model pembelajaran heuristik adalah teknik pendagogis dimana pembelajaran ini terjadi melalui siswa yang diarahkan, konstruktivis, serta berbasis penelusuran dan penyelidikan.
Model pembelajaran heuristik berangkat dari asumsi bahwa sejak manusia lahir ke dunia, manusia memiliki dorongan untuk menemukan sendiri pengetahuannya. Rasa ingin tahu tentang keadaan alam di sekelilingnya merupakan kodrat manusia sejak lahir ke dunia. Sejak kecil manusia memiliki keinginan untuk mengenal segala sesuatu melalui indera pengecapan, penglihatan, pendengaran, dan indera-indera lainnya. Hingga dewasa keingintahuan manusia secara terus-menerus berkembang dengan menggunakan otak dan pikirannya. Pengetahuan yang dimiliki manusia akan bermakna manakala didasari oleh keingintahuan itu. Dalam rangka itulah metode pembelajaran heuristik dikembangkan.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Heuristik adalah suatu langkah-langkah umum yang memandu pemecah masalah dalam menemukan solusi masalah. Berbeda dengan algoritma yang berupa prosedur penyelesaian sesuatu dimana jika prosedur itu digunakan maka akan sampai pada solusi yang benar. Sementara Heuristik tidak menjamin solusi yang tepat, tetapi hanya memandu dalam menemukan solusi. Jika langkah-langkah algoritma harus dilakukan secara berurutan, maka heuristik tidak menuntut langkah berurutan.
Adapun beberapa hal yang menjadi ciri utama dalam model pembelajaran heuristik adalah manusia mempunyai cara sendiri untuk sukses dan memecahkan masalah dengan cara yang singkat dan mendapatkan langkahnya dari pemecahan masalah yang tak tentu sehingga tak terstruktur.
Penggunaan istilah heuristik dalam pemecahan masalah berbeda dengan algoritma yang terdapat dalam pembelajaran matematika. Penggunaan algoritma dapat menjamin diperoleh solusi yang tepat selama digunakan dengan tepat dengan algoritma yang tepat pula. Algoritma adalah suatu kemampuan khusus sementara heuristik merupakan pendekatan secara umum dalam pemecahan masalah. Heuristik menyajikan suatu ”road map” atau cetak biru agar proses pemecahan masalah dapat menghasilkan solusi yang benar. Heuristik adalah langkah-langkah dalam menyelesaikan sesuatu tanpa ada keharusan untuk dilakukan secara berurutan.
2.2 LANDASAN TEORITIS
Ada beberapa teori yang melandasi model pembelajaran heuristik yaitu : Teori Gestalt, Teori kognitif Bruner ,Teori belajar bermakna Ausubel dan Teori Belajar Konstruktivistik
1. Teori Gestalt
Teori Gestalt menyebutkan, yang dimaksud belajar adalah perubahan perilaku yang terjadi melalui pengalaman. Teori ini bukan menyuruh siswa untuk menghafal, tetapi belajar memecahkan masalah merumuskan hipotesis dan mengujinya. Pada akhirnya, dengan bimbingan guru, siswa dapat membuat kesimpulan. Pembelajaran seperti ini menuntut siswa aktif dan guru hanya membantu secara minimal. Siswa belajar mengolah bahan melalui diskusi, tanya jawab, demonstrasi, survei lapangan, karya wisata, atau di perpustakaan. Menurut pandangan penganut psikologi Gestalt, persepsi manusia tidak hanya sebagai kumpulan stimulus yang berpengaruh langsung terhadap pikiran. Pikiran manusia menginterpretasikan semua sensasi dan informasi. Sensasi dan informasi yang masuk dalam pikiran seseorang selalu dipandang memiliki prinsip pengorganisasian atau struktur tertentu. Artinya, pengenalan terhadap suatu sensasi tidak secara langsung menghasilkan suatu pengetahuan, tetapi terlebih dahulu menghasilkan pemahaman terhadap struktur sensasi tersebut. Pemahaman terhadap struktur sensasi atau masalah itu akan memunculkan pengorganisasian kembali struktur sensasi itu ke dalam konteks yang baru dan lebih sederhana sehingga lebih mudah dipahami atau dipecahkan. Kemudian, akan terbentuk suatu pengetahuan baru.
Meskipun pada awalnya psikologi Gestalt hanya dipusatkan pada fenomena yang dapat dirasa, tetapi pada akhirnya difokuskan pada fenomena yang lebih umum, yaitu hakikat belajar dan pemecahan masalah. Berpikir sebagai fenomena dalam cara manusia belajar, diakui oleh para ahli psikologi gestalt sebagai sesuatu yang penting. Berpikir bukan hanya proses pengkaitan antara stimulus dan respon, tetapi lebih dari itu yaitu sebagai pengenalan sensasi atau masalah secara keseluruhan yang terorganisir menurut prinsip tertentu. Esensi dari teori psikologi Gestalt adalah bahwa pikiran (mind) adalah usaha-usaha untuk menginterpretasikan sensasi dan pengalaman-pengalaman yang masuk sebagai keseluruhan yang terorganisir berdasarkan sifat - sifat tertentu dan bukan sebagai kumpulan unit data yang terpisah-pisah.
2. Teori Bruner
Pendekatan bruner terhadap belajar didasarkan pada dua asumsi Rosser 1984 dalam dahar (2011:75).asumsi pertama bahwa perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif, asumsi kedua ialah orang mengkontruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan yang diperoleh sebelumnya. Asumsi kedua ini yang melandasi model pembelajaran heuristik.
Seperti halnya Piaget, Bruner juga membagi perkembangan kognitif anak atas tahap-tahap tertentu. Menurut Bruner, ada tiga tahap, yaitu :
a) Enaktif. Tahap ini merupakan tahap representasi pengetahuan dalam melalukan tindakan. Pada tahap ini anak dalam belajarnya menggunakan atau memanipulasi objek-objek secara langsung. Dengan cara ini anak mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata.
b) Ikonik. Tahap ini merupakan tahap perangkulan bayangan secara visual. Pada tahap ini anak melihat dunia melalui gambar-gambar atau visualisasi. Dalam belajarnya, anak tidak memanipulasi objek-objek secara langsung tetapi sudah dapat memanipulasi dengan menggunakan gambaran dari objek. Pengetahuan yang dipelajari anak disajikan dalam gambar-gambar yang mewaliki suatu konsep tetapi tidak mendefinisikan konsep itu sepenuhnya.
c) Simbolik. Tahap ini merupakan tahap memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak lagi menggunakan objek-objek atau hambaran objek. Pada tahap ini anak memiliki gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika.
3. Teori Belajar Ausubel
Salah satu pernyataan dalam teori Ausubel adalah bahwa faktor yang paling penting yang mempengaruhi pembelajaran adalah apa yang telah diketahui siswa (pengetahuan awal). Jadi supaya belajar jadi bermakna, maka konsep baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang ada dalam struktur kognitif siswa. Ausubel belum menyediakan suatu alat atau cara yang sesuai yang digunakan guru untuk mengetahui apa yang telah diketahui oleh para siswa (Dahar, 2011: 100). Selama pembelajaran berlangsung .David Ausebel memperkenalkan konsep pengatur awal dalam teorinya.Pengatur awal mengarahkan siswa pada materi yang akan mereka pelajari dan menolong mereka untuk mengingat kembali informasi yang berhubungan dan dapat digunakan untuk menanamkan pengetahuan baru (Dahar2011:100).
Belajar dikatakan menjadi bermakna (meaningful learning) bila informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu mampu mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Belajar seharusnya merupakan apa yang disebut asimilasi bermakna, materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya.
Siswa lebih mudah memahami dan mempelajari, karena guru mampu dalam memberi kemudahan bagi siswanya sehingga mereka dengan mudah mengaitkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah ada dalam pikirannya.
4. Teori Belajar Konstruktivistik
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokan dalam teori pembelajaran konstruktivistik (constructivist theories of learning). Teori konstruktivistik ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar mamahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, dan berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.
Menurut teori konstruktivistik ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan kesempatan siswa menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut.(Nur dalam Trianto. 2009:28)
2.3 SINTAKS
Adapun langkah – langkah model pembelajaran heuristik:
1. Menganalisis dan memahami masalah (analyzing and understanding a problem)
• Membuat gambar atau ilustrasi jika memungkinkan
• Mencari kasus yang khusus
• Mencoba memahami masalah secara sederhana
2. Merancang dan merencanakan solusi (designing and planning a solution)
• Merencanakan solusi secara sistematis
• Menentukan apa yang akan dilakukan, bagaiamana melakukannya serta hasil yang diharapkan
3. Mencari solusi dari masalah (exploring solution to difficult problem)
• Menentukan berbagai masalah yang ekivalen, yaitu : penggantian kondisi dengan yang ekivalen; menyusun kembali bagian-bagian masalah dengan cara berbeda; menambah bagian yang diperlukan; serta memformulasikan kembali masalah.
• Menentukan dan melakukan memodifikasi secara lebih sederhana dari masalah sebenarnya, yaitu : memilih tujuan antara dan mencoba memecahkannya; mencoba lagi mencari solusi akhir; dan memecahkan soal secara bertahap.
• Menentukan dan melakukan memodifikasi secara umum dari masalah sebenarnya, yaitu : memecahkan masalah yang analog dengan variabel yang lebih sedikit; mencoba menyelesaikan dengan kondisi satu variabel; serta memecahkan masalah melalui masalah yang mirip.
4. Memeriksa solusi (verifying a solution)
• Menggunakan pemeriksaan secara khusus terhadap setiap informasi dan langkah penyelesaian
• Menggunakan pemeriksaan secara umum untuk mengetahui masalah secara umum dan pengembangannya
2.4 IMPLEMENTASI
Implementasi model pembelajaran Heuristik membahas mengenai bagaimana model pembelajaran Heuristik ini diterapkan dalam pembelajaran sesuai dengan sintaks dari model pembelajaran Heuristik. Adapun implementasi yang akan dibahas dibawah ini merupakan implementasi model pembelajaran Heuristik dalam pembelajaran matematika. Dalam contoh pengimplementasian model pembelajaran Heuristik ini siswa diharapkan untuk menemukan sendiri luas segitiga sehingga siswa dapat memahami konsep mencari luas daerah segitiga dan tidak hanya sekedar menghafal rumus. Oleh karena itu digunakanlah metode pembelajaran heuristik ini, dimana siswa akan lebih aktif dalam penemuan rumus dan guru hanya memberikan arahan agar siswa sampai pada hasil akhir dari pembelajaran yaitu menemukan sendiri rumus luas daerah segitiga. Langkah-langkah dalam pengimplementasian model pembelajaran Heuristik:
1. Menganalisis dan Memahami masalah (analyzing and understanding a problem)
Mengarahkan siswa mengamati soal dan mengerti apa yang diminta soal sehingga guru memberikan permasalahan kepada siswa bagaimana cara menghitung luas daerah segitiga. Jika sebelumnya sudah diketahui cara menghitung luas daerah persegi panjang dan mencari hubungan antara luas persegi panjang dengan segitiga.
2. Merancang dan merencanakan solusi (designing and planning a solution)
Siswa mengilustrasikan masalah yang ada pada soal tersebut, Jika sebelumnya sudah diketahui cara menghitung luas daerah persegi panjang dan mencari hubungan antara luas persegi panjang dengan segitiga, setelah itu arahkan siswa untuk membuat gambar segitiga dengan kertas lalu mengguntingnya agar terbentuk daerah segitiga. Lihat seperti gambar berikut.
3. Mencari solusi dari masalah (exploring solution to difficult problem)
jika siswa sudah membuat segitiga, maka arahkan siswa untuk membuat satu garis tinggi pada segitiga yang dibuat tadi dan menandai titik tengahnya.
lalu potong segitiga tersebut sejajar dengan alas segitiga melalui titik tengah garis tinggi pada segitiga,
lalu bagian atas segitiga yang telah dipotong tersebut, dipotong lagi mengikuti garis tinggi,
sekarang arahkan siswa untuk menyusun ketiga potongan segitiga tersebut sehingga membentuk sebuah persegi panjang.
½ t
setelah terbentuk persegi panjang, arahkan siswa agar dapat menyimpulkan bahwa luas daerah segitiga dapat dicari dengan menggunakan rumus luas daerah persegi panjang yaitu panjang kali lebar, karena lebar dari persegi panjang tersebut adalah setengah dari tinggi segitiga maka siswa akan menemukan kesimpulan sendiri bahwa luas daerah segitiga adalah setengah dari alas kali tinggi.
4. Memeriksa solusi (verifying a solution)
luas daerah segitiga dapat dicari dengan menggunakan rumus luas daerah persegi panjang yaitu panjang kali lebar, karena lebar dari persegi panjang tersebut adalah setengah dari tinggi segitiga maka siswa akan menemukan kesimpulan sendiri bahwa luas daerah segitiga adalah setengah dari alas kali tinggi atau persegi panjang =
= x
Maka dapat disimpulkan segitiga = persegi panjang = x
2.5 SITUASI IDEAL
Situasi yang ideal untuk model pembelajaran heuristik diterapkan dengan menggunakan pendekatan open – ended dimana siswa leluasa untuk berfikir secara aktif dan kreatif dan menyelesaikan suatu permasalahan. Jadi siswa akan dihadapkan pada permasalahan yang penyelesaiannya tidak perlu hanya satu sehingga diharapkan kreatifitas siswa dapat berkembang. Jadi model pembelajaran ini harus disesuaikan dengan materi yang akan disajikan di kelas. Tidak semua materi dalam pelajaran matematika dapat disajikan dengan metode pembelajaran heuristik. Tetapi untuk materi matematika memang banyak yang cocok jika disajikan menggunakan metode heuristik. Contohnya seperti cara pembelajaran bangun datar, bangur ruang, bilangan bulat dan berbagai materi yang biasanya dapat disajikan menggunakan media-media pembelajaran yang bisa membantu siswa untuk menemukan konsep-konsep yang berkaitan dengan materi tersebut. Pembelajaran heuristik dapat dilakukan secara kelompok maupun klasikal. Selain itu siswa harus berperan aktif dalam pembelajaran menggunakan metode ini agar siswa mendapat lebih banyak informasi dan refrensi dalam pemahaman konsep atau pemecahan masalah. Guru juga harus kreatif dalam memberikan tuntunan agar siswa terarah dalam menemukan konsep atau pemecahan masalah yang dicari. Oleh karena itu, perlu pendekatan guru yang mampu membangkitkan motivasi belajar siswa. Siswa harus merasa tertantang dan bersemangat dalam mengikuti pembelajaran terutama pada tahap pemecahan masalah.
2.6 KEUNGGULAN
Adapun keunggulan dari modelpembelajaran heuristik sebagai berikut.
1. Siswa merasakan pembelajaran itu bermakna.
2. Siswa merespon hal-hal baru
3. Siswa bersemangat untuk melakukan eksperimen dan berbagai penelitian.
4. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkontruksi pengetahuan sendiri.
5. Mementingkan proses belajar bukan hasil belajar.
6. Dapat menimbulkan keingintahuan dan adanya motivasi menimbulkan sikap kreatif.
7. Disamping memiliki pengetahuan dan keterampilan disyaratkan adanya kemampuan untuk terampil membaca dan membuat pertanyaan yang benar.
8. Menimbulkan jawaban yang asli, baru, khas, dan beraneka ragam serta dapat menambah pengetahuan baru.
9. Dapat meningkatkan aplikasi dari ilmu pengetahuan yang sudah diperolehnya.
10. Mengajak siswa memiliki prosedur pemecahan masalah, mampu membuat analisis dan sintesis, dan dituntut untuk membuat evaluasi terhadap hasil pemecahannya.
11. Merupakan kegiatan yang penting bagi siswa yang melibatkan dirinya, bukan hanya satu bidang studi tapi (bila diperlukan) banyak bidang studi.
12. Dapat melatih anak untuk belajar sendiri dengan positif sehingga dapat mengembangkan pendidikan demokrasi.
13. Metode ini memungkinkan siswanya dengan cepat paham dan sesuai dengan kecepatan sendiri.
14. Penilaian dilakukan dengan berbagai cara.
2.7 KEKURANGAN
Adapun kekurangan dari model pembelajaran heuristik sebagai berikut.
1. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba.
2. Keberhasilan strategi pembelajaran membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.
3. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.
4. Siswa yang kurang aktif akan sulit untuk mengikuti pembelajaran
5. Siswa akan merasa kebenaran tentang sesuatu yang baru ditemukannya belum pasti.
6. Siswa bersifat individual, karena siswa cenderung melakukan segala sesuatunya sendiri.
7. Membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya.
2.8 UPAYA OPTIMALISASI
Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidaklah selalu berjalan dengan lancer meskipun rencana telah dirancang sedemikian rupa. Kunci model pembelajaran heuristik ini adalah mengganti proses linier karena proses heuristik memberi peluang untuk melompati beberapa langkah atau menebak langkah penyelesaian yang lebih pendek agar pemecahan masalah lebih cepat ditemukan. Hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran terutama dalam penerapan model pembelajaran heuristik diantaranya adalah sebagai berikut. (1) Kurangnya pemahaman guru mengenai penerapan pembelajaran heuristik; (2) Siswa yang kurang aktif akan sulit untuk mengikuti pembelajaran ; (3) Kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran; (4) Terbatasnya pengetahuan siswa akan sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran. Agar pelaksanaan model pembelajaran kooperatif heuristik dapat berjalan dengan baik, upaya yang harus dilakukan adalah sebagai berikut. (1) Guru senantiasa mempelajari tahap -tahap penerapan model pembelajaran heuristik di kelas dan menyesuaikan dengan materi yang akan diajarkan.(2) guru harus bisa membuat suasana kelas yang menyenangkan sehingga semua siswa aktif dan tidak takut untuk bertanya .(3) Meningkatkan sarana pendukung pembelajaran terutama buku sumber.(4) Mensosialisasikan kepada siswa akan pentingnya sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Heuristik adalah suatu langkah-langkah umum yang memandu pemecah masalah dalam menemukan solusi masalah. Berbeda dengan algoritma yang berupa prosedur penyelesaian sesuatu dimana jika prosedur itu digunakan maka akan sampai pada solusi yang benar. Sementara Heuristik tidak menjamin solusi yang tepat, tetapi hanya memandu dalam menemukan solusi.
Model pembelajaran heuristik mengacu pada teori belajar bermakna. Struktur kognitif seseorang dapat dibangun secara hirarkis dengan konsep – konsep dan proposisi dari yang bersifat umum ke khusus dan belajar akan lebih bermakna bila menyadari adanya kaitan konsep di antara kumpulan konsep atau proposisi – proposisi yang saling berhubungan.
Langkah-langkah dalam menerapkan Model Pembelajaran Heuristik antara lain Menganalisis dan memahami masalah, merancang dan merencanakan solusi, mencari solusi dari masalah, dan memeriksa solusi. Situasi yang ideal untuk model pembelajaran heuristik diterapkan dengan menggunakan pendekatan open – ended dimana siswa leluasa untuk berfikir secara aktif dan kreatif dan menyelesaikan suatu permasalahan. Jadi siswa akan dihadapkan pada permasalahan yang penyelesaiannya tidak perlu hanya satu sehingga diharapkan kreatifitas siswa dapat berkembang.
3.2 REKOMENDASI
Sebaiknya guru dapat mengembangkan model pembelajaran heuristik dan model-model pembelajaran yang lain, sehingga siswa menjadi lebih aktif dalam mengikuti proses berani mengemukakan pendapatnya dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa, agar aktivitas siswa tetap mengalami peningkatan belajar sebaiknya guru memberi kesempatan sebesa-besarnya, pada siswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran, sehingga siswa dapat mengalami langsung pengalaman belajarnya dan membangun pengetahuan mereka tahap demi tahap agar pembelajaran dapat lebih bermakna. Dengan demikian siswa tidak hanya menghafal mengenai konsep dari suatu materi tetapi mengerti dan dapat memanfaatkanya dalam kehidupan mereka seharihari, sedangkan guru dapat menjadi fasilitator yang baik tanpa mengurangi peranya sebagai guru. Guru sebaiknya menggunakan model pembelajaran heuristik dan model pembelajaran yang lain dalam pembelajaran agar hasil belajar yang diperoleh siswa lebih meningkat sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik. Agar kendala-kendala dapat di atasi sebaiknya guru lebih memotivasi siswa dan memberikan bimbingan sehingga membuat tingkat percaya diri dan keberanian siswa semakin bertambah.
INKUIRI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Rasional
Tujuan pembangunan nasional sebagaimana tercantum dalam GBHN adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Hal ini berarti bahwa pembangunan tidak hanya mengejar kepuasan lahiriah saja seperti sandang, pangan, papan, dan kesehatan saja ataupun mengejar kepuasan batiniah seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab dan rasa keadilan saja, melainkan antara pembangunan lahiriah dan batiniah tersebut haruslah berjalan seiring secara serasi.
Tujuan Pendidikan Nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dengan adanya pendidikan, maka akan timbul dalam diri seseorang untuk berlomba-lomba dan memotivasi diri kita untuk lebih baik dalam segala aspek kehidupan. Pendidikan merupakan sesuatu yang berlangsung sepanjang hayat sehingga pendidikan haruslah mampu membelajarkan peserta didik dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang merupakan bidang ilmu yang menjadi tumpuan dari kehidupan.
Sistem pendidikan Indonesia salah satunya tentang pembelajaran matematika menempati peringkat yang rendah di dunia. Pada tahun 2012 lalu PISA telah melakukan survei terhadap 65 negara didunia mewakili 80 % ekonomi global dunia termasuk Indonesia. Lebih dari 510 ribu pelajar yang berusia 15 tahun dan 16 tahun telah menjalani tes yang diadakan selama dua jam. Ujian yang dilakukan meliputi, Matematika, Membaca, Ilmu pengetahuan ilmiah (Sains).Jumlah siswa yang ikut tes ini mewakili 28 juta dari total populasi 80 % penduduk dunia.Tes dilakukan selama dua jam dengan kombinasi soal ujian pilihan ganda dan terbuka.Kepala sekolah juga ikut berpartisipasi pada tes ini dengan menjawab beberapa pertanyaan tentang latar belakang siswanya, tentang sekolahnya ,serta wawasan tentang lingkungan sekitarnya.dan sistim yang dipakai dalam proses pengajaran. Hasil survei PISA ini baru diumumkan awal Desember 2013. Peringkat siswa Indonesia berada posisi 64 dari 65 negara.Indonesia hanya lebih baik dari negara Peru yang menempati posisi paling buncit dalam survei ini. Indonesia mendapatkan nilai 375 untuk matematika,untuk membaca Indonesia mendapatkan nilai 396 dan ilmiah siswa Indonesia dapat nilai 382. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa pengajaran matematika belum mencapai tujuan pendidikan matematika secara umum yaitu :mepersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan dunia yang selalu berkembang melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, kritis, rasional, cermat, efektif, dan efesien. (Kompasiana, 3 Desember 2013).
Dari permasalahan-permasalahan yang telah dihadapi dalam pembelajaran matematika di Indonesia maka perlu adanya model pembelajaran yang memberikan solusi untuk meningkatkan minat siswa dalam belajar serta keterampilan berpikir kritis sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan penguasaan materi siswa. Model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan meningkatkan minat anak adalah model pembelajaran inquiri. Dengan inkuiri siswa dilatih untuk selalu bertanya, bermula dari pertanyaan siswa menentukan strategi atau cara menjawab sehingga siswa menemukan hal yang menarik selama pembelajaran.
1.2 Rumusan Masalah
Dari rasional diatas, rumusan masalah yang ingin dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apa landasan filosofis model pembelajaran inkuiri?
2. Apa landasan teoritis model pembelajaran inkuiri?
3. Bagaimana sintaks model pembelajaran inkuiri?
4. Bagaimana implementasi model pembelajaran inkuiri dalam pembelajaran matematika?
5. Bagaimana situasi ideal yang diperlukan untuk menerapkan model pembelajaran inkuiri dalam pembelajaran matematika?
6. Apa keunggulan model pembelajaran inkuiri dalam pembelajaran matematika?
7. Apa kelemahan model pembelajaran inkuiri dalam pembelajaran matematika?
8. Upaya apa yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil belajar pada model pembelajaran inkuiri dalam pembelajaran matematika?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengkaji landasan filosofis model pembelajaran inkuiri
2. Mengkaji landasan teoritik model pembelajaran inkuiri
3. Merumuskan sintaks model pembelajaran inkuiri
4. Menyusun rencana pembelajaran dengan mengimplemetasikan model pembelajaran inkuiri dalam pembelajaran matematika
5. Mengidentifikasikan situasi ideal yang diperlukan untuk menerapkan model pembelajaran inkuiri dalam pembelajaran matematika
6. Mengidentifikasikan keunggulan model pembelajaran inkuiri dalam pembelajaran matematika
7. Mengidentifikasikan kelemahan model pembelajaran inkuiri dalam pembelajaran matematika
8. Merumuskan upaya yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil belajar pada model pembelajaran inkuiri dalam pembelajaran matematika
1.4 Manfaat
Dari tujuan diatas dapat ditentukan manfaat sebagai berikut :
1. Pembaca dapat mengetahui dan memahami model pembelajaran inkuiri, langkah-langkah dalam model pembelajaran inkuiri, mengetahui contoh implementasi model pembelajaran inkuiri dalam pembelajaran matematika, dan mengetahui kelebihan serta kekurangan model pembelajaran inkuiri.
2. Penulis bisa menambah wawasannya, dapat memberikan pengalaman dalam membuat sebuah makalah, serta lebih memahami model pembelajaran inkuiri beserta implementasinya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Filosofis
Model pembelajaran inkuiri berangkat dari asumsi bahwa sejak manusia lahir kedunia, manusi memiliki dorongan untuk menemukan sendiri pengetahuannya. Rasa ingin tahu tentang keadaaan alam disekelilingnya merupakan kodrat manusia sejak lahir ke dunia. Sejak kecil manusia memiliki keinginan untuk mengenal segala sesuatu melalui indra pengecap, pendengaran, penglihatan, dan indra – indra lainnya. Hingga dewasa keingintahuan manusia secara terus-menerus berkembang dengan menggunakan otak dan pikirannya. Pengetahuan yang dimiliki manusia akan bermakna (meaningfull) manakala didasari oleh keingintahuan itu. Dalam rangka itulah model pembelajaran inkuiri dikembangkan.
Ilmu Pengetahuan pada dasarnya bersifat tentatif yang artinya bahwa suatu pengetahuan akan gugur jika ditemukan pengetahuan yang baru didukung oleh fakta dan data yang lebih akurat.Kebenaran dari suatu pengetahuan belum tentu mutlak tapi kebenarannya relatif, sehingga setiap orang harus diberikan kesempatan untuk menemukan suatu pengetahuan yang dianggap paling benar dengan berdasarkan fakta-fakta dan data yang akurat. Dengan demikian model pembelajaran inkuiri sangat mendorong siswa untuk memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Siswa benar-benar ditempatkan sebagai subjek yang belajar. Pada metode inkuiri dapat ditumbuhkan sikap obyektif, jujur, hasrat ingin tahu, terbuka, dan sebagainya yang pada akhirnya dapat mencapai kesimpulan yang disetujui bersama. Bila siswa melakukan semua kegiatan di atas berarti siswa sedang melakukan pembelajaran inkuiri.
Inkuiri berasal dari kata to inquire yang berarti ikut serta, atau terlibat, dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan, mencari informasi, dan melakukan penyelidikan.
Gulo (2008 : 84) menyatakan bahwa inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelildiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuan dengan penuh percaya diri.
Bayer (dalam Ato Illah. 2012 : 97) menyatakan bahwa “inkuiri is one way of knowing” yang berarti suatu cara untuk mengetahui. Apabila orang terkait dalam proses investigasi, berusaha menjawab pertanyaan, dan berusaha memecahkan masalah secara berkelanjutan, maka orang ini telah melakukan proses inkuiri.
Metode inkuiri menurut Suryosubroto (2002 : 192) adalah perluasan proses discovery yang digunakan lebih mendalam. Artinya proses inqury mengandung proses-proses mental yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya merumuskan problema, merancang eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisa data, menarik kesimpulan, dan sebagainya.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa metode inkuiri merupakan metode pembelajaran yang memberikan kesempatan siswa untuk mencari dan menemukan sendiri pengetahuannya. Selanjutnya Wina Sanjaya (2009 : 196) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi ciri utama model pembelajaran inkuiri.
1. Pertama, model inkuiri menekankan kepada aktifitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan, artinya pendekatan inkuiri menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa tidak hanya berperan sebagai penerima pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi mereka berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri.
2. Kedua, seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri (self belief). Artinya dalam model pembelajaran inkuiri menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar, akan tetapi sebagai fasilitator dan motivator belajar siswa. Aktvitas pembelajaran biasanya dilakukan melalui proses tanya jawab antara guru dan siswa, sehingga kemampuan guru dalam menggunakan teknik bertanya merupakan syarat utama dalam melakukan inkuiri.
3. Ketiga, tujuan dari penggunaan model pembelajaran inkuiri adalah mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental, akibatnya dalam pembelajaran inkuiri siswa tidak hanya dituntut agar menguasai pelajaran, akan tetapi bagaimana mereka dapat menggunakan potensi yang dimilikinya.
Prinsip-prinsip dalam model pembelajaran inkuiri antara lain sebagai berikut.
1) Berorientasi pada Pengembangan Intelektual
Tujuan utama dari model pembelajaran inkuiri adalah pengembangan kemampuan berpikir. Dengan demikian, model pembelajaran ini selain berorientasi kepada hasil belajar juga berorientasi pada proses belajar. Oleh karena itu, kriteria keberhasilan dari proses pembelajaran dengan model ini ditentukan oleh sejauh mana siswa dapat menguasai materi pelajaran, akan tetapi sejauh mana siswa beraktivitas mencari dan menemukan sesuatu. Makna dari “sesuatu” yang harus ditemukan oleh siswa melalui proses berpikir adalah sesuatu yang dapat ditemukan, bukan sesuatu yang tidak pasti, oleh sebab itu setiap gagasan yang harus dikembangkan adalah gagasan yang dapat ditemukan.
2) Prinsip Interaksi
Proses pembelajaran pada dasarnya adalah proses interaksi, baik interaksi antara siswa maupun interaksi siswa dengan gurum bahkan interaksi antara siswa dengan lingkungan. Pembelajaran sebagai proses interaksi berarti menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar tetapi sebagai pengatur lingkungan atau pengatur interaksi itu sendiri. Guru perlu mengarahkan (directing) agar siswa bisa mengembangkan kemampuan berpikirnya melalui interaksi mereka.
3) Prinsip Bertanya
Peran guru yang harus dilakukan dalam menggunakan model pembelajaran inkuiri adalah guru sebagai penanya. Sebab, kemampuan siswa untuk menjawab setiap pertanyaan pada dasarnya sudah merupakan sebagian dari proses berpikir. Oleh sebab itu, kemampuan guru untuk bertanya dalam setiap langkah inkuiri sangat diperlukan. Berbagai jenis dan teknik bertanya perlu dikuasai oleh setiap guru, apakah itu bertanya hanya sekedar untuk meminta perhatian siswa, bertanya untuk melacak, bertanya untuk mengembangkan kemampuan, atau bertanya untuk menguji.
4) Prinsip Belajar untuk Berpikir
Belajar bukan hanya mengingat sejumlah fakta, akan tetapi belajar adalah proses berpikir, yakni proses mengembangkan potensi seluruh otak, baik otak kiri maupun otak kanan. Pembelajaran berpikir adalah pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal. Belajar yang hanya cenderung memanfaatkan otak kiri, misalnya dengan memaksa anak untuk berpikir logis dan rasional akan membuat anak dalam posisi kering dan hampa. Oleh karena itu, belajar berpikir logis dan rasional perlu didukung oleh pergerakan otak kanan, misalnya dengan memasukkan unsur-unsur yang dapat memengaruhi emosi, yaitu unsur estetika melalui proses belajar yang menyenangkan dan menggairahkan.
5) Prinsip Keterbukaan
Belajar adalah suatu proses mencoba berbagai kemungkinan. Segala sesuatu mungkin saja terjadi. Oleh sebab itu, anak perlu diberikan kebebasan untuk mencoba sesuai dengan perkembangan kemampuan logika dan nalarnya. Pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang menyediakan berbagai kemungkinan sebagai hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya. Tugas guru adalah menyediakan ruang untuk memberikan kesempatan kepada siswa mengembangkan hipotesis dan secara terbuka membuktikan kebenaran hipotesis yang diajukannya. (Wina Sanjaya. 2009:199)
2.2 Landasan Teoritik
Ada beberapa teori yang melandasi model pembelajaran inkuiri, yaitu teori penemuan Jerome Bruner, teori belajar bermakna Ausubel, teori John Dewey dan Herbert Thelan, teori perkembangan kognitif Piaget, dan teori konstruktivistik Piaget
1). Teori Penemuan Jerome Bruner
Jerome Bruner (dalam Asri Budiningsih, 2005 : 40) adalah seorang pengikut teori kognitif, khususnya dalam studi perkembangan fungsi kognitif. Bruner memperkenalkan model yang dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery learning). Dalam teorinya, ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreayif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Dalam belajar penemuan ini siswa akan berperan lebih aktif. Bruner mengganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Siswa berusaha sendiri memecahkan masalah dan memperoleh pengetahuan tertentu. Cara ini menurut Bruner akan menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna.
Menurut Jerome Bruner, belajar melibatkan tiga proses yaitu memperoleh informasi baru, transformasi informasi, dan evaluasi. Adapun langkah-langkah penerapan belajar penemuan Bruner adalah stimulus (pemberi rangsangan), problem statement (mengidentifikasi masalah), data colection (pengumpulan data), data processing (pengolahan data), verification (verifikasi), dan generalization (generalisasi).
2). Teori Belajar Bermakna dari Ausubel
Belajar menurut Ausubel (dalam Dahar,1996:111) ada dua jenis, yaitu 1) belajar bermakna (meaningful learning), dan 2) belajar menghafal (rate learning). Belajar bermakna merupakan suatu proses dimana setiap informasi atau pengetahuan baru dihubungkan dengan struktur pengertian atau pemahaman yang sudah dimilikinya oleh siswa sebelumnya. Belajar bermakna terjadi bila siswa mampu menghubungkan setiap informasi baru kedalam struktur pengetahuan mereka. Hal ini terjadi melalui pemahaman siswa terhadap sebuah konsep, mampu mengubah konsep melalui proses asimilasi dan akomodasi konsep. Sehingga menyebabkan peningkatan kemampuan untuk memecahkan masalah. Untuk itu dapat dikatakan teori belajar bermakna dari Ausubel sesuai dengan model pembelajaran inkuiri. Karena siswa mengidentifikasi masalah dan menyelesaikan materi secara mandiri tanpa dibimbing oleh guru.
3). Teori John Dewey dan Herbert Thelan
Menurut Dewey (Arends, 1997), kelas seharusnya merupakan cermin dari masyarakat luas dan berfungsi sebagai laboratorium belajar dalam kehidupan nyata. Dewey menegaskan bahwa guru perlu menciptakan sistem sosial yang bercirikan demokrasi dan proses ilmiah dalam lingkungan belajar peserta didik dalarn kelas. Tanggung jawab utama guru adalah memotivasi peserta didik untuk belajar secara kooperatif dan memikirkan masalah-masalah sosial yang penting setiap hari. Bersamaan dalam aktivitasnya rnemecahkan masalah di kelompoknya, peserta didik belajar prinsip-prinsip demokrasi melalui interaksi dengan peserta didik lain.
Beberapa tahun setelah Dewey, Thelan (dalam Arends, 1997) berpendapat bahwa kelas haruslah merupakan laboratorium atau miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial dan masalah antar pribadi. Thelan tertarik dengan dinamika kelompok dan rnengernbangkan bentuk yang lebih rinci dan terstruktur dari penyelidikan kelompok, dan mempersiapkan dasar konseptualuntuk pengembangan pembelajaran kooperatif (Arends, 1997).
4).Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan. Piaget yakin bahwa pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Sementara itu bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran yang pada ahkirnya memuat pemikiran itu menjadi lebih logis. (Nur dalam Trianto. 2009:29).
Menurut Piaget, perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Implikasinya dalam model pembelajaran adalah sebagai berikut:
a). Memusatkan perhatian pada berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar pada hasilnya. Disamping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut.
b). Di dalam kelas Piaget, penyajian pengetahuan jadi (ready-make) tidak mendapat penekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri penygetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungannya. Sebab itu guru dituntut mempersiapkan berbagai kegiatan yang memungkinkan anak melakukan kegiatan secara langsung, dengan dunia fisik. Dengan kata lain, anak aktif dalam kegiatan penyelidikan.
c). Memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Sebab itu guru harus mampu melakukan upaya untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk kelompok kecil daripada bentuk kelas yang utuh.
Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah saat guru memperkenalkan informasi yang melibatkan siswa menggunakan konsep-konsep, memberikan waktu yang cukup untuk menemukan ide-ide dengan menggunakan pola-pola berpikir formal. (Trianto. 2009:31)
5). Teori Belajar Konstruktivistik Piaget
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokan dalam teori pembelajaran konstruktivistik (constructivist theories of learning). Teori konstruktivistik ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar mamahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, dan berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.
Menurut teori konstruktivistik ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa haru smembangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan kesempatan siswa menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut.(Nur dalam Trianto. 2009 : 28)
2.3 Sintaks
(Wina Sanjaya. 2009:202) Secara umum langkah-langkah dalam model pembelajaran inkuiri adalah sebagai berikut.
1. Orientasi
Pada tahap ini guru melakukan langkah untuk membina suasana atau iklim pembelajaran yang kondusif. Guru merangsang dan mengajak siswa untuk berpikir memecahkan masalah. Langkah orientasi merupakan langkah yang sangat penting. Keberhasilannya sangat tergantung pada kemauan siswa untuk beraktivitas menggunakan kemampuannya untuk memecahkan masalah, tanpa kemauan dan kemampuan itu tak mungkin proses pembelajaran akan berjalan dengan lancar. Beberapa hal yang dilakukan dalam tahap orientasi ini adalah sebagai beikut.
a. Menjelaskan topik, tujuan, dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa
b. Menjelaskan pokok-pokok kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan. Pada tahap ini dijelaskan langkah-langkah inkuiri serta tujuan setiap langkah, mulai dari langkah merumuskan masalah sampai dengan merumuskan kesimpulan
c. Menjelaskan pentingnya topik dan kegiatan belajar. Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan motivasi belajar siswa.
2. Merumuskan masalah
Merumuskan masalah merupakan langkah membawa siswa pada suatu persoalan yang mengandung teka-teki. Persoalan yang disajikan adalah persoalan yang menantang siswa untuk memecahkan teka-teki itu. Teka-teki dalam rumusan masalah tentu ada jawabannya, dan siswa didorong untuk mencari jawaban yang tepat. Proses mencari jawaban itulah yang sangat penting dalam pembelajaran inkuiri, oleh karena itu melalui proses tersebut siswa akan memperoleh pengalaman yang sangat berharga sebagai upaya mengembangkan mental melalui proses berpikir. Dengan demikian, teka-teki yang menjadi masalah dalam berinkuiri adalah teka-teki yang mengandung konsep yang jelas yang harus dicari dan ditemukan. Ini penting dalam pembelajaran inkuiri. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merumuskan masalah, diantaranya sebagai berikut.
a. Masalah hendaknya dirumuskan sendiri oleh siswa. Siswa akan memiliki motivasi belajar yang tinggi manakala dilibatkan dalam merumuskan masalah yang hendak dikaji. Dengan demikian, guru sebaiknya tidak merumuskan sendiri masalah pembelajaran, guru hanya memberikan topik yang akan dipelajari, sedangkan bagaimana rumusan masalah yang sesuai dengan topik yang telah ditentukan sebaiknya diserahkan kepada siswa.
b. Konsep-konsep dalam masalah adalah konsep-konsep yang sudah diketahui terlebih dahulu oleh siswa. Artinya, sebelum masalah itu dikaji lebih jauh melalui proses inkuiri, guru perlu yakin terlebih dahulu bahwa siswa sudah memiliki pemahaman tentang konsep-konsep yang ada dalam rumusan masalah. Jangan harapkan siswa dapat melakukan tahapan inkuiri selanjutnya, manakala ia belum paham konsep-konsep yang terkandung dalam rumusan masalah.
3. Merumuskan Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu permasalahan yang sedang dikaji. Sebagai jawaban sementara, hipotesis perlu diuji kebenarannya. Kemampuan atau potensi individu untuk berpikir pada dasarnya sudah dimiliki sejak individu itu lahir. Potensi berpikir itu dimulai dari kemampuan setiap individu untuk menebak atau mengira-ngira (berhipotesis) dari suatu permasalahan. Manakala individu dapat membuktikan tebakannya, maka ia akan sampai pada posisi yang bisa mendorong untuk berpikir lebih lanjut. Oleh sebab itu, potensi untuk mengembangkan kemampuan menebak pada setiap individu harus dibina. Salah satu cara yang dapat dilakukan guru untuk mengembangkan kemampuan menebak (berhipotesis) pada setiap anak adalah dengan mengajukan berbagai pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk dapat merumuskan jawaban sementara atau dapat merumuskan berbagai perkiraan kemungkinan jawaban dari suatu permasalahan yang dikaji. Perkiraan sebagai hipotesis bukan sembarang perkiraan, tetapi harus memiliki landasan berpikir yang kokoh, sehingga hipotesis yang dimunculkan itu bersifat rasional dan logis. Kemampuan berpikir logis itu sendiri akan sangat dipengaruhi oleh kedalaman wawasan yang dimiliki serta mempunyai wawasan akan sulit mengembangkan hipotesis yang rasional dan logis.
4. Mengumpulkan data
Mengumpulkan data adalah aktifitas menjaring informasi yang dibutuhkan untuk menguji hipotesis yang diajukan. Dalam pembelajaran inkuiri, mengumpulkan data merupakan proses mental yang sangat penting dalam pengembangan intelektual. Proses pemgumpulan data bukan hanya memerlukan motivasi yang kuat dalam belajar, akan tetapi juga membutuhkan ketekunan dan kemampuan menggunakan potensi berpikirnya. Oleh sebab itu, tugas dan peran guru dalam tahapan ini adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk berpikir mencari informasi yang dibutuhkan. Sering terjadi kemacetan berinkuiri adalah manakala siswa tidak apresiatif terhadap pokok permasalahan. Tidak apresiatif itu biasanya ditunjukkan oleh gejala-gejala ketidakbergairahan dalam belajar. Manakala guru menemukan gejala-gejala semacam ini, maka guru hendaknya secara terus-menerus memberikan dorongan kepada siswa untuk belajar melalui penyuguhan berbagai jenis pertanyaan secara merata kepada seluruh siswa sehingga mereka terangsang untuk berpikir
5. Menguji hipotesis
Menguji hipotesis adalah proses menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai dengan data atau informasi yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data. Yang terpenting dalam menguji hipotesis adalah mencari tingkat keyakinan siswa atas jawaban yang diberikan. Menguji hipotesis juga berarti mengembangkan kemampuan berpikir rasional. Artinya, kebenaran jawaban yang diberikan bukan hanya berdasarkan argumentasi, akan tetapi harus didukung oleh data yang ditemukan dan dapat dipertanggungjawabkan.
6. Merumuskan kesimpulan
Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Untuk mencapai kesimpulan yang akurat sebaiknya guru mampu menunjukkan pada siswa data mana yang relevan.
Proses inkuiri menuntut guru bertindak sebagai fasilitator, narasumber, dan penyuluh kelompok dalam model pembelajaran ini. Para siswa didorong untuk mencari pengetahuan sendiri, bukan dijejali dengan pengetahuan. (Oemar Hamalik. 2004:221)
2.4 Implementasi
Berikut adalah tahapan-tahapan implementasi dari pembelajaran dengan menggunakan model inkuiri dalam menemukan rumus pythagoras
Tahap 1: Orientasi
a. Guru mengajak siswa membuat sebuah lingkaran besar dan seluruh siswa duduk di lantai, sedangkan guru di tengah-tengah lingkaran.
b. Guru menjelaskan bahwa topik yang akan dibahas adalah tentang Teorema Pythagoras
c. Guru menyampaikan tujuan dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa misalkan untuk topik teorema pythagoras yaitu
1) Siswa dapat menemukan sendiri konsep dari Teorema
Pythagoras
2) Siswa dapat menggunakan Teorema Pythagoras untuk menyelesaikan soal-soal matematika dan persoalan di kehidupan nyata
Tahap 2: Merumuskan Masalah
a. Guru menggambar persegi-persegi di ubin dan menanyakan luas dari masing-masing persegi untuk mengetahui kemampuan siswa mengenai luas persegi.
b. Guru memotivasi siswa untuk menemukan luas persegi dengan cara menggambar sebuah segitiga siku-siku dengan 3 buah persegi yang terbentuk dari 3 sisi segitiga tersebut pada ubin (yang berpetak-petak) di lantai.
c. Guru menanyakan berapa luas persegi-persegi tersebut.
d. Lakukan langkah (b) dua kali untuk memicu keingintahuan dan penalaran siswa.
e. Guru memberikan siswa kesempatan untuk mengkonstruksi permasalahan-permasalahan dari kegiatan membuat persegi dari segitiga siku-siku.
f. Guru memotiasi siswa agar siswa mampu memunculkan pertanyaan seperti,
1) Bagaimana hubungan antara luas 3 buah persegi yang terbentuk dari 3 sisi segitiga siku-siku tersebut?
2) Bagaimana cara mencari panjang sebuah sisi segitiga siku-siku jika dua sisi lainnya diketahui?
Tahap 3: Merumuskankan Hipotesis
a. Guru membagi siswa menjadi kelompok kecil yang terdiri dari 4 orang.
b. Siswa melakukan kegiatan diskusi dalam kelompok untuk menjawab pertanyaan atau permasalahan yang ditemukan siswa.
c. Guru mempersilahkan siswa menggambar beberapa buah segitiga siku-siku pada kertas berpetak dan menghitung luas 3 buah persegi yang terbentuk dari 3 sisi segitiga siku-siku
d. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengajukan hipotesisnya.
Tahap 4: Mengumpulkan Data
Guru membagikan Lembar Kerja Kelompok yang berisi tentang pedoman apa yang harus dilakukan siswa sehingga siswa mampu mengumpulkan informasi-informasi yang diperlukan untuk nantinya digunakan sebagai bahan menguji hipotesis
Tahap 5: Menguji hipotesis
a. Siswa mengerjakan Lembar Kerja Siswa secara berkelompok dan melakukan eksperimen-eksperimen untuk menguji kebenaran dari hipotesis yang telah mereka buat.
b. Guru mengawasi setiap kelompok untuk memberikan arahan jika siswa mengalami kesulitan.
Tahap 6: Penarikan Kesimpulan dan Penemuan
a. Siswa membuat kesimpulan masing-masing mengenai materi yang telah dipelajari.
b. Beberapa siswa melaporkan hasil pembelajaran yang didapatnya di hadapan seluruh siswa.
LEMBAR KERJA SISWA (LKS)
Teorema Pythagoras
Anggota Kelompok:
1. ____________________________
2. ____________________________
3. ____________________________
4. ____________________________
I. Menemukan Teorema Pythagoras
Coba kalian selidiki perubahan luas persegi L1, L2, dan L3 berturut-turut seperti tampak dalam gambar di bawah ini.
1. Pola apa yang dapat kalian temukan?
2. Bagaimana kalian mengaitkan antara L1, L2, dan L3 dengan persegi-persegi lainnya pada sisi-sisi segitiga siku-siku?
3. Apa kesimpulan yang kalian peroleh mengenai luas-luas persegi pada sebuah segitiga siku-siku?
Jadi, Teorema Pythagoras adalah
2.5 Situasi Ideal
Model pembelajaran inquiry merupakan bentuk dari pendekatan-pendekatan yang berorientasi kepada siswa (Student Centered Approach). Dikatakan demikian karena dalam model ini siswa memegang peranan yang sangat dominan dalam proses pembelajaran. Wina Sanjaya (2012 : 199) menyebutkan bahwa model pembelajaran inquiry akan efektif apabila:
1) Guru mengharapkan siswa dapat menemukan sendiri jawaban dari suatu permasalahan yang ingin dipecahkan. Dengan demikian dalam model inquiry,penguasaan materi pelajaran bukan sebagai tujuan utama pembelajaran, akan tetapi yang lebih di pentingkan adalah proses.
2) Bahan pelajaran yang akan diajarkan tidak berbentuk fakta atau konsep yang sudah jadi, akan tetapi sebuah kesimpulan yang perlu pembuktian.
3) Proses pembelajaran berangkat dari rasa ingin tahu siswa terhadap sesuatu.
4) Guru akan mengajar pada sekelompok siswa yang rata-rata memiliki kemauan dan kemampuan berpikir. Model inkuiri akan kurang berhasil diterapkan kepada siswa yang kurang memiliki kemampuan berpikir.
5) Jumlah siswa yang belajar tak terlalu banyak sehingga bisa dikendalikan oleh guru.
6) Guru memiliki waktu yang cukup untuk menggunakan pendekatan yang berpusat pada siswa.
2.6 Kelebihan
(Roestiyah N.K. 2001:76) Adapun keunggulan model pembelajaran inkuiri adalah sebagai berikut.
1. Dapat membentuk dan mengembangkan self-concept pada diri siswa, sehingga siswa dapat mengerti tentang konsep dasar dan ide-ide lebih baik
2. Membantu dalam menggunakan ingatan dan transfer pada situasi proses belajar yang baru
3. Mendorong siswa untuk berpikir dan bekerja atas insiatifnya sendiri, bersikap objektif, jujur, dan terbuka
4. Mendorong siswa untuk berpikir intuitif dan merumuskan hipotesanya sendiri
5. Memberi kepuasaan yang bersifat intrinsik
6. Situasi proses belajar menjadi lebih merangsang
7. Dapat mengembangkan bakat atau kecakapan individu
8. Memberi kebebasan siswa untuk belajar sendiri
9. Siswa dapat menghindari siswa dari cara-cara belajar yang tradisional
10. Dapat memberikan waktu pada siswa secukupnya sehingga mereka dapat mengasimilasi dan mengakomodasi informasi
Menurut Wina Sanjaya (2012: 208) adapun kelebihan metode inkuiri yaitu:
1. Inquiri menekankan kepada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang, sehingga pembelajaran melalui metode ini dianggap lebih bermakna.
2. Memberikan ruang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka.
3. Merupakan metode yang dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi belajar modern yang menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman.
4. Dapat melayani kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan diatas rata-rata. Artinya siswa yang memiliki kemampuan belajar tidak akan terhambat oleh siswa yang lemah dalam belajar.
2.7 Kelemahan
Disamping memiliki keunggulan, model pembelajaran inkuiri juga tidak luput dari beberapa kelemahan diantaranya sebagai berikut.
1. Kurang berhasil bila jumlah siswa dalam jumlah yang banyak dalam satu kelas
2. Sulit menerapkan model ini karena guru dan siswa sudah terbiasa dengan metode ceramah
3. Kebebasan yang diberikan kepada siswa tidak selamanya dapat dimanfaatkan secara optimal dan sering terjadi kebingungan dalam diri siswa
4. Memerlukan sarana dan fasilitas yang baik guna menunjang pembelajaran
5. Kadang-kadang dalam pengimplementasiannya, memerlukan waktu yang panjang sehingga sering guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan
6. Kesulitan mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa.
7. Sulit dalam merencanakan pembelajaran oleh karena terbentur dengan kebiasaan siswa dalam belajar.
8. Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa menguasai materi pelajaran, maka metode inquiry akan sangat sulit diimplementasikan oleh setiap guru.
Berdasarkan hal-hal diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap model pembelajaran mempunyai kelebihan dan kekurangan tetapi semua itu dapat diatasi dengan baik jika seorang guru kreatif dalam menggunakannya dan siswa akan terlihat aktif dalam proses belajar mengajar.
2.8 Upaya Optimalisasi
Bedasarkan kelemahan yang dimiliki model pembelajaran inkuiri, dilakukan berbagai upaya untuk mengoptimalkan pelaksanaan model pembelajaran inkuiri, antara lain sebagai berikut:
1. Guru perlu memahami dengan baik dan benarmengenai pengertian model pembelajaran inkuiri dan bagaimana model tersebut berlangsung di kelas, agar dalam pengimplementasiannya dapat berjalan baik.
2. Guru perlu memilih materi yang cocok dengan model pembelajaran inkuiri, agar dapat memaksimalkan waktu pembelajaran yang diperlukan dalam menggunakan model ini.
3. Guru wajib mengasah kemampuannya sebagai fasilitator, mediator, motivator dan evaluator untuk bisa menerapkan model ini dengan baik.
4. Guru wajib mengetahui kesiapan siswa dan pemahaman siswa yang berbeda-beda dalam kegiatan pembelajaran.
5. Dalam pembahasan hasil diskusi guru harus memberikan perhatian ke semua siswa, tidak terfokus pada individu tertentu.
6. Siswa hendaknya berperan aktif dalam menyampaikan ide atau pendapatnya pada proses diskusi, agar suasana pembelajaran kondusif.
7. Pelaksanaan pembelajaran harus dilakukan dengan suasana yang menyenangkan dan memberikan tantangan kepada siswa sehingga siswa akan lebih bersemangat dalam melakukan diskusi.
8. Komunikasi yang baik antara pendukung proses belajar mengajar juga sangat diperlukan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Inkuiri berasal dari kata to inquire yang berarti ikut serta, atau terlibat, dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan, mencari informasi, dan melakukan penyelidikan. Model pembelajaran inkuiri adalah model pembelajaran atau pelaksanaan belajar mengajar dengan cara siswa mencari dan menemukan pengetahuan sendiri
Ada beberapa teori yang melandasi model pembelajaran inkuiri, yaitu teori penemuan Jerome Bruner, teori belajar bermakna Ausubel, teori John Dewey dan Herbert Thelan, teori perkembangan kognitif Piaget, dan teori konstruktivistik Piaget
Langkah-langkah dalam menerapkan Model Pembelajaran Inkuiri antara lain orientasi, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis, dan merumuskan kesimpulan.
Situasi ideal model pembelajaran inkuiri adalah jumlah siswa yang belajar tak terlalu banyak sehingga bisa dikendalikan oleh guru dan proses pembelajaran berangkat dari rasa ingin tahu siswa terhadap sesuatu.
Kelebihan model pembelajaran inkuiri adalah dapat membentuk dan mengembangkan self-concept pada diri siswa, sehingga siswa dapat mengerti tentang konsep dasar dan ide-ide lebih baik
Kelemahan model pembelajaran inkuiri adalah kadang-kadang dalam pengimplementasiannya, memerlukan waktu yang panjang sehingga sering guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan
Model Pembelajaran Inkuiri juga tak luput dari kelebihan dan kelemahan tetapi hal tersebut dapat diatasi dengan baik jika guru yang menerapkan model pembelajaran inkuiri dapat membuat proses pembelajaran yang kreatif, menarik, dan optimal
3.2 Rekomendasi
Model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan meningkatkan minat siswa adalah model pembelajaran inkuiri. Dengan inkuiri siswa dilatih untuk selalu bertanya, bermula dari pertanyaan siswa menentukan strategi atau cara menjawab sehingga siswa menemukan hal yang menarik selama pembelajaran. Sehingga diharapkan bagi seluruh pendidik bisa memahami dan mampu menerapkan model pembelajaran inkuiri di dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan kekurangan yang telah dipaparkan diatas, guru-guru yang menerapkan model ini diharapkan lebih memerhatikan kekurangan-kekurangan dari model pembelajaran inkuiri. Kekurangan-kekurangan yang ada dapat menjadi pedoman agar dalam penerapan model pembelajaran inkuiri mampu diterapkan secara maksimal oleh guru maupun mahasiswa. Sehingga dengan demikian tujuan yang diharapkan dari model pembelajaran inkuiri dapat dicapai.
JIGSAW 2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Rasional
Pendidikan dapat dimaknai sebagai proses mengubah tingkah laku anak didik agar menjadi manusia dewasa yang mampu hidup mandiri dan sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan alam sekitar dimana individu itu berada (Syaiful, 2009). Melalui pendidikan kita dapat menanamkan sikap yang sesuai dan memberikan bekal kompetensi yang diperlukan kepada manusia-manusia yang menjalankan fungsi institusi-institusi yang menentukan kemajuan bangsa (Kompas, 27 Agustus 2012).
Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik, diwujudkan dengan adanya interaksi dalam proses pembelajaran. Dalam konteks penyelenggaraan ini, guru dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dan berpedoman pada seperangkat aturan dan rencana tentang pendidikan yang dikemas dalam bentuk kurikulum.
Dalam kebijakan pendidikan nasional yang dapat dilihat dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 1, dinyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum secara berkelanjutan disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan berorientasi pada kemajuan sistem pendidikan nasional, tampaknya belum dapat direalisasikan secara maksimal. Salah satu masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah kurang efektif dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan pengamatan riil di lapangan, proses pembelajaran di sekolah dewasa ini kurang meningkatkan kreativitas siswa, terutama dalam pembelajaran matematika. Pada kenyataannya prestasi belajar matematika Indonesia masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari hasil Ujian Nasional Tahun 2012, siswa yang tidak lulus terbanyak pada mata pelajaran matematika sejumlah 229 siswa (Kompas, 2012 dalam Dhelvita Sari). Di kancah dunia, prestasi anak bangsa dalam mata pelajaran matematika juga masih tergolong rendah. Menurut data TIMSS yaitu studi internasional untuk melihat prestasi matematika dan sains siswa sekolah lanjut tingkat pertama yang diadakan empat tahun sekali (Kompas, 30 September 2014), rata-rata skor prestasi matematika dan sains berturut-turut adalah 386 dan 406, dimana skor tersebut masih berada dalam signifikan di bawah skor rata-rata internasional.
Bercermin dari hal yang di atas, rendahnya kemampuan siswa dalam bidang matematika bisa jadi disebabkan oleh kurangnya minat siswa terhadap matematika. Matematika masih dipandang sebagai suatu hal yang menakutkan oleh sebagian besar orang, khususnya siswa. Pandangan negatif tersebut dipicu karena alasan-alasan tertentu, seperti materi matematika yang sulit dipahami, cara pengajar yang kurang inovatif dan terkesan killer serta media pembelajaran yang kurang kreatif. Akibatnya banyak siswa yang membenci pelajaran matematika, padahal matematika merupakan pelajaran dasar yang harus dipahami siswa.
Untuk itu, guna menarik perhatian siswa setiap guru harus mengembangkan model pembelajaran yang akan digunakannya dalam pembelajaran tersebut. Model pembelajaran haruslah memperhatikan tingkat kemampuan siswa dan tujuan pembelajaran yang diinginkan. Salah satu model pembelajaran yang sering digunakan ialah model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.
Adapun unsur-unsur dasar pembelajaran kooperatif tersebut, yaitu : Siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka sehidup sepenanggungan bersama. Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya , seperti milik mereka sendiri. Siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama. Siswa haruslah membagi tugas dan tanggungjawab yang sama (Rusman, 2011 : 208). Menurut Lei (1994, dalam Rusman) disebutkan bahwa model pembelajaran kooperatif Jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang fleksibel. Dimana banyak riset secara konsisten menunjukkan bahwa siswa yang terlibat dalam model pembelajaran kooperatif Jigsaw memperoleh prestasi yang lebih baik, mempunyai sikap yang lebih baik dan lebih positif terhadap pembelajaran.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membuat sebuah makalah yang dalam pembahasannya akan membahas tentang model pembelajaran kooperatif Jigsaw II yang merupakan pengembangan dari model pembelajaran kooperatif Jigsaw. Dalam makalah ini, akan dibahas pula mengenai implementasi dari model pembelajaran kooperatif Jigsaw II. Adapun judul dari makalah ini adalah “Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw II”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang penting untuk dikaji, yaitu:
1. Apa landasan filosofis model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II?
2. Apa landasan teoritis model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II?
3. Bagaimana sintaks model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II?
4. Bagaimana implementasi model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II dalam pembelajaran matematika?
5. Bagaimana situasi ideal yang diperlukan untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II dalam pembelajaran matematika?
6. Bagaimana kelebihan dan kekurangan dari model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II dalam pembelajaran matematika?
7. Upaya apa yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil belajar pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II dalam pembelajaran matematika?
1.3 Tujuan
Berdasarkan uraian dari rumusan masalah di atas, terdapat beberapa tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1. Mengetahui landasan filosofis model pembelajaran kooperatif tipe Jigsas II.
2. Mengetahui landasan teoritik model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II.
3. Merumuskan sintaks model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II.
4. Menyusun rencana pembelajaran dengan mengimplementasikan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II dalam pembelajaran matematika..
5. Mengidentifikasi situasi ideal yang diperlukan untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II dalam pembelajaran matematika.
6. Mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II dalam pembelajaran matematika.
7. Merumuskan upaya yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil belajar pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II dalam pembelajaran matematika.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kajian Filosofis Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw II
Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan manusia yang lainnya. Ia ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ia juga ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu ini memaksa manusia perlu bekomunikasi. Dalam hidup bermasyarakat, manusia yang tidak pernah berkomunikasi dengan orang lain niscaya terhindar dari masyarakat sekitarnya (Siti, 2013).
Pada dasarnya manusia adalah bagian dari masyarakat, oleh karena itu, kita harus bisa bersahabat dengan sesama warga masyarakat dan juga kita harus menanamkan sikap peduli sosial yang kuat. Kepedulian sosial dapat menumbuhkan sikap tanggung jawab dalam diri seseorang. Dengan memiliki rasa tanggung jawab diharapkan dapat menjadi bekal dalam hidup bermasyarakat. Sehebat apapun pribadi seseorang, dia tidak akan mampu untuk hidup sendiri. Artiya, manusia harus menyadari dirinya akan lemah bila berada dalam posisi sendiri, sehingga memerlukan teman lain untuk saling membantu agar dapat mengerjakan pekerjaan yang lebih besar. Selama hidup di masyarakat, mereka harus menyadari bahwa pemikiran banyak orang akan jauh lebih baik daripada pemikiran sendiri. Karena banyak ide yang dapat dihasilkan oleh banyak pikiran serta dapat tercapainya musyawarah yang mufakat dalam memutuskan sesuatu. Selain itu, manusia harus menyadari bahwa dirinya akan lemah bila berada dalam posisi sendiri, sehingga memerlukan teman lain untuk dapat mengerjakan pekerjaan yang lebih besar
Saling membantu terhadap sesama dan mengembangkan sikap toleran dapat menjadikan kerukunan di masyarakat. Salah satu sikap saling bantu ini tercermin dalam kegiatan gotong royong. Dengan gotong-royong suatu kegiatan atau pekerjaan akan terasa lebih ringan daripada dikerjakan secara individu.
Selain itu, individu dalam pergaulan teman sebayanya akan lebih mudah dalam berkomunikasi dan mengungkapkan pendapat dengan bahas mereka masing – masing. Mereka akan lebih mudah berkomunikasi dibandingkan jika berkomunikasi dengan yang bukan teman sebaya.
Pembelajaran kooperatif merupakan sebuah pengembangan teknik belajar bersama. Dalam hal ini belajar bersama berarti melakukan sesuatu secara bersama, saling membantu dan bekerja sebagai sebuah tim (kelompok). Jadi pembelajaran kooperatif berarti belajar bersama, saling membantu dalam pembelajaran agar setiap anggota kelompok dapat mencapai tujuan atau menyelesaikan tugas yang diberikan dengan baik.
Slavin (dalam Solihatin & Raharjo, 2011) menyatakan bahwa cooperative learning adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk belajar dan bekerja dalam kelempok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4 sampai 6 orang, dengan struktur kelompoknya yang bersifat heterogen. Keberhasilan belajar dari kelompok tergantung pada kemampuan dan aktivitas anggota kelompok, baik secara individu maupun secara kelompok.
Cooperative learning lebih dari sekadar belajar berkelompok atau kelompok kerja, karena belajar dalam model cooperative learning ada “struktur dorongan dan tugas yang bersifat kooperatif” sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka dan hubungan-hubungan yang bersifat iterdependensi yang efektif atar anggota kelompok (Slavin dalam Solihatin & Raharjo, 2011).
Beberapa prinsip tentang pembelajaran kooperatif adalah: (1). Kelompok terdiri atas anggota yang heterogen (kemampuan, jenis kelamin dan sebagainya); (2). Adanya penghargaan kelompok; (3). Adanya ketergantungan yang positif di antara anggota kelompok, karena setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas keberhasilan melaksanakan tugas kelompok atau diberi tugas individual (tugas tidak selalu berupa tugas mengerjakan soal, dapat juga memahami materi pelajaran, sedemikian hingga dapat menjelaskan materi tersebut); (4). Guru mengamati kerja kelompok dan melakukan intervensi bila diperlukan; (5). Adanya tanggung jawab pribadi; (6). Setiap anggota kelompok harus siap menyajikan hasil kerja kelompok.
Pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw adalah satu jenis pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya. Jigsaw menggabungkan konsep pengajaran pada teman sekelompok atau teman sebaya dalam usaha membantu belajar. Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab untuk pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain.
Model pembelajaran Jigsaw ini sendiri terbagi menjadi dua tipe yaitu Jigsaw tipe I (sering disebut Jigsaw) dan Jigsaw tipe II. Model pembelajaran Jigsaw II merupakan sebuah adaptasi dari teknik Jigsaw Elliot Aronson (1978). Ada perbedaan yang mendasar antara pembelajaran Jigsaw dan Jigsaw II, pada tipe I awalnya siswa hanya belajar konsep tertentu yang menjadi spesialisasinya sementara konsep-konsep yang lain siswa dapatkan melalui diskusi teman segrupnya. Sedangkan pada tipe II ini setiap siswa memperoleh kesempatan belajar secara keseluruhan konsep (scan read) sebelum siswa belajar spesialisasinya untuk menjadi exspert (Kompasiana, 25 Maret 2013).
Model pembelajaran tipe Jigsaw II merupakan model pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 siswa secara heterogen. Pada pembelajaran Jigsaw II ini terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, dan latar belakang yang beragam. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda dan ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dimana mereka terlebih dahulu telah membaca materi pelajaran secara keseluruhan. Dalam kelompok ahli ini mereka menyampaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada kelompok asal.
Teknik pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II adalah sebuah model pembelajaran yang akan memberikan beberapa keuntungan yaitu dapat mencegah dan mengurangi masalah konflik yang diakibatkan oleh adanya perbedaan-perbedaan (suku/ras/agama) diantara para siswa, pembelajaran menjadi lebih baik, meningkatkan motivasi siswa, dan meningkatkan kenyamanan dalam proses pembelajaran (Anonim, 2009).
2.2 Kajian Teoritis Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw-II
Fokus pembelajaran kooperatif ini tidak saja tertumpu pada apa yang dilakukan peserta didik tetapi juga pada apa yang dipikirkan peserta didik selama aktivitas belajar berlangsung. Guru berperan sebagai fasilitator, penyedia sumber belajar bagi peserta didik, pembimbing peserta didik dalam belajar kelompok, pemberi motivasi peserta didik dalam memecahkan masalah, dan sebagai pelatih peserta didik agar memiliki ketrampilan kooperatif.
Ada beberapa teori yang melandasi model pembelajaran kooperatif, yaitu:
a. Teori Belajar Konstruktivisme Piaget
Piaget memandang bahwa setiap anak memiliki rasa ingin tahu bawaan yang mendorongnya untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Baik lingkungan fisik maupun sosialnya. Piaget meyakini bahwa pengalaman secara fisik dan pemanipulasian lingkungan akan mengembangkan kemampuannya.
Jean Piaget berpendapat ada dua proses yang terjadi dalam perkembangan dan pertumbuhan kognitif anak yaitu: (1) proses “assimilation”, dalam proses ini mnyesuaikan atau mencocokan informasi yang baru itu dengan apa yang telah ia ketahui dengan menghubungkannya bila perlu; dan (2) proses “accomodation”, anak menyusun dan membangun kembali atau mengubah apa yang telah diketahui sebelumnya sehingga informai yang baru itudapat disesuaikan dengan lebih baik (Syaiful, 2009 : 24).
b. Teori Belajar Konstruktivisme Sosial Vygotsky
Menurut Vygotssky, perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang seturut dengan teori sociogenesis. Artinya, pengetahuan dan perkembangan kognitif individu berasal dari sumber-sumber sosial di luar dirinya (Budiningsih, 2009). Peserta didik belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta didik.
Vygotsky yakin bahwa tujuan belajar akan tercapai jika anak belajar menyelesaikan tugas-tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah perkembangan terdekat mereka. Daerah perkembangan terdekat adalah tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan orang saat ini. Zone of Proximal Development (ZPD) adalah jarak antara tingkat perkembangan aktual, yang ditentukan melalui penyelesaian masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial anak, yang ditentukan melalui pemecahan masalah dengan bimbingan (scaffolding) orang dewasa atau teman sebaya. Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik bekerja didalam daerah perkembangan terdekat mereka, tugas-tugas yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri akan dapat mereka selesaikan dengan bimbingan (scaffolding) orang dewasa atau teman sebaya.
c. Teori Belajar Kontruktivisme John Dewey
Sebagai filosof dan banyak menulis mengenai pendidikan, John Dewey dikenal sebagai bapak Konstruktivisme dan Discovery Learning. Ia mengemukakan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintergrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Belajar harus bersifat aktif, langsung terlibat, berpusat pada siswa dalam konteks pengalaman sosial.
Kesadaran sosial menjadi tujuan dari semua pendidikan. Belajar membutuhkan keterlibatan siswa dan kerjasama tim dalam mengerjakan tugas. Guru bertindak sebagai fasilitator, mengambil bagian sebagai anggota kelompok dan diadakan kegiatan diskusi dan reviu teman. John Dewey juga menyarankan penggunaan media teknologi sebagai sarana belajar. Konsep John Dewey ini sudah banyak dipakai Indonesia untuk pembelajaran di perguruan tinggi.John Dewey menguatkan lagi teori konstruktivisme ini mengatakan bahawa pendidik yang cakap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara berterusan. Beliau juga menekankan kepentingan penyertaan murid di dalam setiap aktivitas pengajaran dan pembelajaran.
d. Teori Belajar Sosial Gordon Allport
Aliport berpandangan bahwa hukum saja tidaklah cukup untuk mengurangi kecurigaan dan meningkatkan penerimaan secara baik antar kelompok. Pandangan Allport dikenal dengan "The Nature of Prejudice". Untuk mengurangi kecurigaan dan meningkatkan penerimaan satu sama lain adalah dengan jalan mengumpulkan mereka (antar suku atau ras) dalam satu lokasi, kontak langsung dan bekerjasama antar mereka. Shlomo Sharan dan koleganya menyimpulkan adanya tiga kondisi dasar untuk memformulasikan pandangan Allport untuk mengurangi kecurigaan antar kelompok dan meningkatkan penerimaan antar mereka. Tiga kondisi tersebut adalah: 1) kontak langsung antar suku atau ras; 2) dalam seting tertentu, mereka bekerjasama dan berperan aktif dalam kelompok; 3) dalam seting tersebut, mereka secara resmi menyetujui adanya kerjasama.
e. Teori Belajar Sosial Albert Bandura
Albert Bandura adalah seorang ahli psikologi klinis yang memperoleh gelar Ph.D dari Iowa University tahun 1952, yang mana konsep dari teori ini menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi. Menurut teori beliau yang dikenal sebagai “teori kognitif sosial”.Bandura berpendapat bahwa teori belajar sosial sebagai tingkahlaku manusia dari segi interaksi timbal-balik yang berkesinambungan antara faktor kognitif, tingkahlaku, dan faktor lingkungan. Orang-orang belajar tentang sebagian besar apa yang ia ketahui melalui observasi. Belajar melalui pengamatan berbeda dari classsical dan operant conditioning karena tidak membutuhkan pengalaman personal langsung dengan stimulus, penguatan kembali, maupun hukuman. Belajar melalui pengamatan secara sederhana melibatkan pengamatan prilaku orang lain, yang disebut model. Teori belajar sosial menekankan pengamatan sebagai proses pembelajaran, yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari perilaku dengan mengamati secara sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang lain.Proses belajar semacam ini disebut "observational learning" atau pembelajaran melalui pengamatan (modeling).
2.3 Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw-II
Prosedur pelaksanaan model pembelajaran Jigsaw II ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan prosedur pelaksanaan model pembelajaran Jigsaw yang pertama. Siswa dalam suatu kelas dibagi ke dalam beberapa kelompok yang terdiri dari 4 sampai 6 orang dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini kemudian dinamakan kelompok asal. Setiap orang dalam setiap kelompok diberikan materi yang berbeda. Masing – masing anggota diberi kesempatan untuk membaca dan mempelajri materi yang mereka dapatkan dan juga materi yang didapatkan oleh anggota lainnya untuk mendapatkan gambaran secara lebih jelas. Langkah inilah yang membedakan antara Jigsaw I dan Jigsaw II. Setap anggota dari semua kelompok yang mendapatkan materi sama lalu berkumpul membentuk suatu kelompok baru dan kemudian mendiskusikan materi yang mereka dapatkan. Kelompok ini disebut dengan kelompok ahli. Setelah selesai berdiskusi pada kelompok ahli, setiap anggota dalam kelompok ahli kemudian kembali ke kelompok asal mereka masing-masing untuk memberikan penjelasan kepada anggotanya mengenai materi yang mereka dapatkan. Setelah itu diadakan presentasi dari kelompok asal. Kemudian diadakan tes secara individual. Skor yang diperoleh akan dihitung berdasarkan kemajuannya dari skor kuis sebelumnya dan digunakan untuk menyumbangkan nilai kepada kelompoknya. Setelah itu dilakukan penghargaan kelompok.
Tabel 2.1: Sintaks pelaksanaan model pembelajaran tipe Jigsaw II.
FASE KEGIATAN
Fase 1
Orientasi - Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dilakukan.
- Guru memberikan pengenalan dan penjelasan mengenai metode Jigsaw II kepada peserta didik
- Guru menentukan topik pembelajaran.
Fase 2
Pembentukan Kelompok Asal - Guru mmbentuk kelompok yang terdiri dari 4-6 orang sesuai dengan banyaknya sub materi yang akan dipelajari.
- Guru membagikan LKS kepada masing – masing kelompok.
- Guru meminta peserta didik untuk membaca dan mempelajari konsep materi pada LKS yang diberikan secara keseluruhan sebagai gambaran.
- Setiap kelompok membagi tugas submateri kepada masing – masing anggota kelompoknya.
Fase 3
Pembentukan dan Pembinaan Kelompok Ahli - Setiap anggota kelompok pada semua kelompok asal yang mendapatkan materi yang sama berkumpul menjadi satu membentuk kelompok ahli.
- Pada kelompok ahli, setiap siswa mempelajari materi mereka masing – masing dan mendiskusikannya dalam kelompoknya hingga menjadi ahli.
Fase 4
Diskusi atau Pemaparan dalam Kelompok Asal - Setelah itu setiap anggota kelompok ahli kembali lagi pada kelompok asal mereka.
- Masing – masing anggota kelompok mendiskusikan dan memaparkan materi mereka masing – masing yang telah mereka pelajari pada kelompok ahli.
Fase 5
Tes (Penilaian) - Masing – masing kelompok asal memberikan seorang anggotanya untuk memaparkan materi yang telah dipelajari untuk menyamakan persepsi secara kseluruhan.
- Guru kemudian memberikan tes tertulis yang memuat keseluruhan materi secara individual.
- Hasil tes berupa nilai individu.
Fase 6
Penghargaan Kelompok - Nilai yang diperoleh berdasarkan peningkatannya, yakni perubahan nilai awal siswa dan nilai tes.
- Berdasarkan perubahan nilai tersebut siswa menyumbangkan poin untuk kelompoknya yang akan menentukan predikat kelompok mereka.
Berikut merupakan rincian tahap – tahap pelaksanaan model Jigsaw II:
1. Fase 1 : Orientasi
Pada fase ini guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pembelajaran yang akan dilakukan. Kemudian guru memberikan gambaran dan penjelasan mengenai metode Jigsaw kepada peserta didik, manfaat penggunaannya serta langkah – langkah pelaksanaannya. Pada fase ini guru juga menentukan topik yang akan dipelajari oleh siswa.
2. Fase 2 : Pembentukan Kelompok Asal
Pada fase ini guru kemudian membentuk beberapa kelompok yang terdiri dari 4 sampai 6 orang sesuai dengan sub materi yang akan dibahas. Misalnya kelas terdiri dari 20 orang siswa, materi yang akan dibahas terdiri dari 4 sub, sehingga dibentuk 5 buah kelompok asal yang terdiri dari 4 orang anggota dengan kemampuan yang berbeda. Penentuan siswa dengan dengan kemampuan tersebut dapat dilihat berdasarkan nilai rapot, tes, ataupun pretest yang sebelumnya telah dilakukan. Selanjutnya guru membagikan LKS yang berisi materi yang akan dibahas kepada setiap kelompok. Materi – materi di dalam LKS memuat keseluruhan sub maeri yang akan dibahas. Kemudian guru meminta siswa untuk membaca dan mempelajari keseluruhan materi pada LKS. Setelah itu setiap kelompok berunding untuk menentukan setiap anggota yang akan mewakili masing – masing sub materi. Tentu saja siswa dengan kemampuan lebih dipertimbangkan untuk mendapatkan materi yang lebih rumit.
3. Fase 3 : Pembentukan dan Pembinaan Kelompok Ahli.
Pada fase ini, setiap siswa pada semua kelompok asal yang mendapat sub materi yang sama akan berkumpul membentuk kelompok baru yang disebut kelompok ahli. Dalam kelompok ahli ini, siswa akan saling berdiskusi dan mempelajari materi mereka masing – masing sampai mereka menjadi “ahli”. Guru memberikan bimbingan kepada siswa yang mengalami kesulitan. Fase ini merupakan fase yang sangat penting, karena pada fase ini setiap anggota kelompok ahli harus benar – benar memahami materi yang mereka pelajari agar nantinya mampu memberikan penjelasan kepada anggota lainnya dalam kelompok asal.
4. Fase 4 : Diskusi atau Pemaparan dalam Kelompok Ahli.
Kemudian setiap siswa pada kelompok ahli kembali lagi pada kelompok asal mereka masing – masing. Dalam kelompok asal, setiap siswa dengan sub materi mereka masing – masing menjelaskan dan memaparkan kepada setiap anggota kelompoknya mengenai apa yang telah dipelajari dan dipahami pada kelompok ahli sebelumnya, sehingga akan terjadi proses diskusi. Adapun hal yang harus diperhatikan pada fase ini menurut Triyanto (2009) adalah:
a. Setiap siswa memiliki tanggung jawab untuk memastikan setiap anggota kelompoknya mempelajari materi yang diberikan.
b. Memperoleh pengetahuan baru adalah tanggung jawab bersama dan setiap anggota kelompok, jadi tidak ada anggota yang tidak serius dan tidak belajar, semua anggota harus belajar hingga setiap anggota kelompok mengerti.
c. Sebelum menanyakan materi yang tidak diketahui, siswa sebaiknya bertanya kepada anggota kelompok terlebih dahulu.
d. Pembicaraan, diskusi, atau sharing dilakukan secara tertib dan pelan –pelan agar tidak mengganggu diskusi kelompok lainnya.
e. Setelah diskusi atau sharing berakhir, setiap anggota dapat merayakannya agar memperoleh suatu kepuasan (relaxation).
5. Fase 5 : Tes Penilaian.
Pada fase ini, sebelum dilaksanakan tes individual, guru dapat meminta siswa untuk mempresentasikan hasil pemahaman materi mereka dengan menunjuk salah satu perwakilan siswa dari kelompok asal. Setelah itu guru mengadakan tes tertulis yang dilakukan secara individual. Kemudian hasil tes tersebut merupakan nilai individual anggota kelompok.
6. Fase 6 : Penghargaan Kelompok.
Setelah dilakukan penilaian tersebut, selain setiap siswa memiliki nilai individual, mereka juga mempunyai poin yang disumbangkan kepada kelompoknya masing – masing. Poin tersebut diperoleh dengan mengukur perubahan nilai siswa saat ini dengan nilai hasil tes sebelumnya (bisa jadi hasil penilaian materi sebelumnya, nilai rapot, atau pre tes). Berdasarkan nilai perubahan tersebut akan dikonversi dan menyumbangkan nilai untuk kelompoknya masing – masing. Penentuan poin tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.2: Nilai Penghargaan Kelompok (Penghitungan skor Perkembangan)
NO SKOR TES NILAI KELOMPOK
1. Nilai sempurna (tanpa memperhatikan nilai awal) 30
2. Lebih dari 10 poin di atas nilai awal 30
3. Sama atau hingga 10 poin di atas nilai awal 20
4. Sepuluh hingga satu poin di bawah nilai awal 10
5. Lebih dari 10 poin di bawah nilai awal 0
Setiap poin yang disumbangkan oleh masing – masing anggota kelompok dijumlahkan dan dirata – ratakan hingga memperoleh nilai rata – rata yang akan menentukan predikat kelompoknya. Tabel dibawah ini menunjukkan predikat kelompok berdasarkan poin rata – ratanya.
Tabel 2.3: Perolehan Skor dan Predikat Tim
NO PREDIKAT TIM RATA-RATA SKOR
1 Super Team 26 – 30
2 Great Team 16 – 25
3 Good team 6 – 15
4 - 0 – 5
Selain itu, adapun hal yang harus dipersiapkan oleh guru antara lain:
1. Bahan atau materi.
2. Bahan untuk tes.
3. LKS dan RPP.
4. Menyiapkan alat dan bahan (jika kegiatan memerlukan praktik atau demonstrasi).
5. Menyiapkan tabel nilai pengamatan psikomotor dan sikap (berkaitan dengan kurikulum 2013).
6. Menyiapkan tabel rekapitulasi nilai individu yang dikonversi ke nilai penghargaan kelompok dan tabel predikat kelompok.
7. Menyediakan tanda penghargaan/ sertifikat untuk kelompok sebagai motivasi dan penguatan agar siswa lebih semangat belajar.
2.4 Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw-II pada Pembelajaran Matematika.
Contoh dari implementasi model pembelajaran tipe Jigsaw II dalam pembelajaran Matematika misalnya dalam pembelajaran untuk memahami konsep mencari luas dan keliling jajargenjang, belah ketupat, layang – layang, dan trapesium sama kaki pada Kelas 7 SMP Semester 2. Sebelumnya siswa tentu harus sudah mengetahui dan memahami bagaimana mencari luas persegi dan persegi panjang. Dalam hal ini, keempat materi tersebut bukan merupakan prasyarat sub materi yang lainnya. Adapun langkah – langkah yang harus dilakukan terkait dengan sintaks pelaksanaan model pembelajaran tipe Jigsaw II antara lain:
1. Fase 1 : Orientasi
a. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
b. Guru memberikan gambaran dan penjelasan mengenai metode Jigsaw kepada peserta didik, manfaat penggunaannya serta langkah – langkah pelaksanaannya.
c. Guru menentukan topik yang akan dipelajari oleh siswa yakni memahami bagaimana mencari luas dan keliling jajargenjang, belah ketupat, layang – layang, dan trapesium sama kaki. Sebelumnya guru juga mengingatkan materi prasyarat yaitu mengenai luas dan keliling segi empat.
2. Fase 2 : Pembentukan Kelompok Asal
a. Guru membentuk kelompok asal. Karena terdapat 4 buah materi, maka dibentuk kelompok asal yang terdiri dari 4 orang siswa dengan tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan latar belakang yang berbeda.
b. Guru kemudian membagikan LKS kepada setiap kelompok. Pada LKS siswa diberikan beberapa bangun datar yaitu jajargenjang, belah ketupat, layang – layang, dan trapesium sama kaki.
Perhatikan keempat bangun datar di bawah, pelajarilah bagaimana sifat – sifat setiap bangun dan carilah bagaimana rumus luas dan kelilingnya!
1. Jajargenjang
2. Belah Ketupat
3. Layang – Layang
4. Trapesium Sama Kaki
c. Guru meminta siswa untuk membaca dan mempelajari materi yang diminta pada LKS tersebut secara keseluruhan untuk mendapatkan gambaran.
d. Kemudian kelompok akan berunding dan memutuskan spesifikasi materi untuk setiap anggota kelompoknya, atau guru dapat menentukan langsung siapa saja yang mendapat spesifikasi materinya.
3. Fase 3 : Pembentukan dan Pembinaan Kelompok Ahli.
a. Siswa yang mendapatkan materi yang sama dari semua kelompok asal berkumpul menjadi satu kelompok ahli. Setiap kelompok ahli kemudian berdiskusi dan mendalami materi mereka masing masing. Misalkan kelompok ahli 1 terdiri dari siswa yang membahas jajargenjang, kelompok ahli 2 terdiri dari siswa yang membahas belah ketupat, kelompok ahli 3 terdiri dari siswa yang membahas layang - layang, dan kelompok ahli 4 terdiri dari siswa yang membahas trapesium sama kaki. Selama diskusi berlangsung guru dapat mengawasi dan membimbing siswa yang mengalami kesulitan.
4. Fase 4 : Diskusi atau Pemaparan dalam Kelompok Ahli.
a. Setelah setiap anggota memahami materi kelompoknya dan menjadi “ahli”, mereka kemudian kembali pada kelompok asal mereka masing – masing.
b. Pada kelomok asal setiap anggota saling berdiskusi satu sama lain, yang mendapatkan materi jajargenjang menjelaskan kepada ketiga anggota lainnya mengenai materi tersebut, dan begitu untuk anggota yang mendapatkan materi lainnya.
c. Dalam fase ini semua anggota kelompok mempunyai tanggung jawab untuk memahami semua materi.
5. Fase 5 : Tes Penilaian.
a. Setelah diskusi berakhir, guru kemudian meminta perwakilan dari beberapa kelompok asal untuk mempresentasikan hasil diskusi mereka untuk melakukan penyamaan persepsi.
b. Guru mengadakan tes secara individual kepada semua siswa. Tempat duduk diatur sedemikian rupa hingga tidak memungkinkan siswa untuk bekerja sama. Tes tersebut mencakup keseluruhan materi yang telah dibahas pada pembelajarn Jigsaw II tersebut.
c. Kemudian tes tersebut dinilai secara individual.
6. Fase 6 : Penghargaan Kelompok.
Guru bersama siswa mengecek perubahan nilai awal siswa dengan nilai tes akhir siswa. Misalnya saja pada kelompok asal 1, siswa A memperoleh peningkatan nilai sebesar 5 poin sehingga berdasarkan tabel nilai perkembangan siswa A menyumbangkan poin 20 untuk kelompoknya. Siswa B memperoleh peningkatan sebesar 11 poin dari nilai awal sehingga berdasarkan tabel nilai perkembangan siswa B menyumbangkan 30 poin untuk kelompoknya. Siswa C memperoleh peningkatan nilai sebesar nol sehingga dia menyumbangkan nilai sebesar 20 poin untuk kelompoknya. Siswa D memperoleh penurunan nilai sebesar 1 poin sehingga dia menyumbangkan nilai sebesar 10 poin untuk kelompoknya. Total nilai yang disumbangkan oleh setiap anggota pada kelompok 1 adalah 20 + 30 + 20 + 10 = 80, sehingga diperoleh rata – rata nilai kelompok sebesar 80 : 4 = 20 poin. Berdasarkan tabel predikat tim, kelompok satu memperoleh predikat sebagai “The Great Team”. Begitu juga pada kelompok 2, 3, 4, dan 5 hingga diperoleh kelompok mana yang mendapatkan nilai dan predikat tertinggi. Kelompok dengan predikat tertinggi kemudian diberikan penghargaan.
2.5 Kondisi Ideal, Kelebihan, dan Kelemahan.
2.5.1 Kondisi Ideal.
Agar penerapan model pembelajaran Jigsaw II ini dapat berjalan dengan baik, ada beberapa kondisi yang harus diperhatikan, antara lain:
1. Kelas terdiri dari siswa dengan kemampuan yang heterogen.
2. Sebelum diterapkan metode Jigsaw II pada awal tahun ajaran akan sangat berguna jika diadakan tes sebelumnya untuk melihat peningkatan nilai siswa setelah metode ini diterapkan atau dapat juga melihat nilai rapot.
3. Materi yang akan dibelajarkan melalui model Jigsaw II sebaiknya dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran atau sub materi yang satu bukan prasyarat untuk sub materi lainnya, sehingga dalam pelaksanaannya dapat berjalan mudah dan materi dapat dibagikan kepada setiap kelompok ahli.
4. Harus mempertimbangkan jumlah siswa dengan banyaknya sub materi yang akan dibelajarkan agar tidak terjadi ketimpangan, yakni kelebihan anggota dan kekurangan anggota yang nantinya akan menimbulkan kesulitan.
5. Waktu pembelajaran diusahakan dipilih pada saat jam pelajaran yang tersedia pada jadwal mencukupi untuk menerapkan metode ini, karena akan sangat dibutuhkan waktu terutama pada fase 3, 4, dan 5.
6. Pelaksanaan model pembelajaran ini lebih cocok diterapkan pada kelas dengan kondisi belajar yang sudah kondusif, teratur, dan tertib.
2.5.2 Kelebihan
1. Sebelum memahami materi yang didapat, semua siswa membaca semua materi yang akan membuat konsep-konsep menjadi lebih mudah dipahami dan mendapatkan gambaran lebih jelas.
2. Meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Karena siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan menerima materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain.
3. Menerima keragaman dan menjalin hubungan sosial yang baik dalam belajar.
4. Meningkatkan kemampuan berkerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan.
5. Memacu siswa untuk lebih aktif, kreatif, dan berpikir kritis serta bertanggungjawab terhadap proses belajarnya.
6. Diskusi tidak didominasi oleh siswa tertentu saja tetapi semua siswa dituntut untuk menjadi aktif dalam diskusi tersebut karena melibatkan semua anggota kelompok dalam diskusi.
7. Melatih siswa mengemukakan pendapat, gagasan, dan ide mereka secara terbuka tanpa tekanan.
8. Melatih siswa untuk mampu menjelaskan sesuatu secara jelas.
9. Dengan adanya tes individual serta predikat kelompok siswa menjadi termotivasi untuk lebih giat belajar dan bersungguh – sungguh dalam melaksanakan tugasnya pada kegiatan tersebut serta meningkatkan semangat siswa.
2.5.3 Kekurangan
1. Pelaksanaan diskusi secara kooperatif terkadang dilupakan oleh siswa saat berdiskusi, terutama ketika berdiskusi dalam kelompok ahli kadang ada siswa yang hanya belajar sendiri – sendiri tanpa melakukan diskusi dengan anggotanya. Jika hal tersebut terjadi, proses diskusi tidak akan berjalan baik dan bahkan macet. Sehingga guru harus mengingatkan.
2. Kekurangan dan atau kelebihan anggota kelompok, terutama pada kelompok asal dapat menimbulkan masalah, khususnya dalam pembagian sub materinya.
3. Pelaksanaan model Jigsaw II ini membutuhkan waktu yang cukup lama, terutama pada fase 3, 4, dan 5. Selain itu akan membutuhkan waktu yang cukup lama juga dalam membagi kelompok dan menentukan atau mengatur posisi duduk kelompok.
4. Terkadang ada siswa yang masih malu dalam berpendapat atau bertanya.
5. Penerapan pada kondisi kelas yang kurang kondusif dengan siswa yang kurang tertib dan teratur dapat mempersulit pelaksanaannya. Kelas dengan siswa yang relatif banyak juga dapat mempersulit pelaksanaannya dan mebuat proses berlangsung kurang efektif.
2.6 Upaya untuk Mengoptimalkan Pembelajaran Model Jigsaw II.
Adapun upaya yang dapat dilakukan guna mengoptimalkan pelaksanaan pembelajaran Jigsaw II antara lain:
1. Diusahakan agar materi yang akan dibelajarkan dengan metode Jigsaw II mempunyai sub – sub materi yang seimbang dengan jumlah siswa yang ada di kelas tersebut. Sub materi satu bukan merupakan prasyarat sub lainnya. Jika tidak terjadi kondisi yang demikian, maka dapat dibagi kelompok dengan jumlah siswa pada kelompok asal lebih dari jumlah materi, sehingga terdapat lebih dari satu siswa yang akan menjadi ahli dalam materi tertentu.
2. Sebelumnya telah dilakukan persiapan oleh guru mengenai pembagian kelompok, bahan ajar, serta penentuan tempat duduk untuk kelompok asal dan kelompok ahli sehingga dalam pelaksanaannya tidak terlalu lama menentukan tempat duduk, pembagian kelompok, dan mengurangi kegaduhan. Selain itu juga perlu dilakukan pemilihan jadwal yang pas untuk menerapkan model pembelajaran ini dan pengaturan waktu pada setiap tahapan agar tidak terjadi kekurangan waktu. Jika waktu memang tidak mencukupi saat itu, maka dapat dilakukan pada pertemuan berikutnya dengan pemotongan kegiatan yang sesuai.
3. Guru juga perlu memantau jalannya diskusi baik pada saat diskusi kelompok ahli maupun kelompok asal untuk mengetahui partisipasi setiap anggota baik dalam menerima maupun memberi penjelasan dan juga untuk mengetahui apakah diskusi sudah berjalan baik dan teratur apa tidak. Sehingga guru dapat memberikan dorongan dan mengingatkan siswa yang kurang aktif untuk dapat berpartisipasi dan guru juga dapat menjaga kondisi kelas agar tetap kondusif.
4. Pelaksanaan pembelajaran harus dilakukan dengan suasana yang menyenangkan dan memberikan tantangan kepada siswa sehingga siswa akan lebih bersemangat dalam melakukan diskusi.
5. Guru perlu mmahami dengan baik dan benar mengenai model pembelajaran kooperatif, terutama Jigsaw II agar mampu menangani kesulitan yang mungkin dihadapi nantinya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Pembelajaran kooperatif model Jigsaw ini juga mengambil pola cara bekerja sebuah gergaji (Jigsaw), yaitu siswa melakukan sesuatu kegiatan belajar dengan cara bekerja sama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan bersama. Model pembelajaran Jigsaw ini sendiri terbagi menjadi dua tipe yaitu Jigsaw tipe I atau sering disebut Jigsaw dan Jigsaw tipe II.
Ada perbedaan yang mendasar antara pembelajaran Jigsaw I dan Jigsaw II. Jigsaw I awalnya siswa hanya belajar konsep tertentu yang menjadi spesialisasinya sementara konsep-konsep yang lain didapatkan melalui diskusi teman satu kelompoknya. Sedangkan pada tipe II setiap siswa memperoleh kesempatan belajar secara keseluruhan konsep (scan read) sebelum ia belajar spesialisasinya untuk menjadi exspert.
Landasan filosofis dari pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw II ini adalah hakikat dari manusia sebagai makhluk sosial dimana dia tidak dapat hidup tanpa bantuan dari manusia yang lain. Teori yang menjadi pendukung model pembelajaran kooperatif ini adalah: (a) Teori Psikologi Kognitif-Konstruktivistik (Piaget dan Vygotsky), (b) Teori Psikologi Sosial (Dewey, Thelan, Allport, dan Lewin).
Langkah – langkah pelaksanaan model pembelajaran metode Jigsaw II yakni penyampaian tujuan dan penentuan topik, penjelasan mengenai metode Jigsaw II, pembentukan kelompok asal yang terdiri dari 4 sampai 6 orang yang heterogen, pembagian LKS, pemahaman materi pada LKS, pembentukan kelompok ahli, diskusi kelompok ahli, diskusi dan sharing dalam kelompok asal, presentasi, tes individual, penilaian, dan penghargaan kelompok. Adapun persiapan yang perlu dilakukan guru adalah mempersiapkan materi, bahan LKS, bahan tes, alat dan bahan, RPP, tabel penilaian, serta tanda penghargaan kelompok.
Implementasi model pembelajaran Jigsaw II dalam pembelajaran Matematika yakni pada materi transformasi dilakukan sesuai dengan tahapan – tahapan pelaksanaan model pembelajaran Jigsaw II. Agar pelaksanaan pembelajaran Jigsaw II dapat berjalan dengan baik maka harus memenuhi beberapa kondisi ideal. Selain itu terdapat beberapa kelebihan dan kelemahan model pembelajaran tipe Jigsaw II. Untuk mengoptimalkan pembelajaran Jigsaw II, dapat diupayakan beberapa cara salah satunya adalah pemahaman yang lebih mendalam mengenai pembelajaran kooperatif, terutama Jigsaw II.
3.2 Rekomendasi
Dalam melaksanakan kegiatan belajar dan pembelajaran, guru sebagai pendidik hendaknya memilih dan merencanakan model pembelajaran yang tepat. Untuk menerapkan model Jigsaw II, guru perlu memahami prosedur kerja, persiapan yang diperlukan, apa kelebihan dan kelemahannya, serta beberapa faktor penting yang mendukung suksesnya penerapan model Jigsaw II dalam kegiatan belajar dan pembelajaran.
NHT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Rasional
Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Terkait dengan visi tersebut telah ditetapkan beberapa prinsip penyelenggaraan pendidikan, dimana salah satu prinsipnya adalah ”pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat”. Masih dalam konteks mikro, UNESCO mengingatkan tentang Empat Pilar Pendidikan, yakni (1) learning to know, (2) lerning to do, (3) learning to be, dan (4) learning to live together. Empat pilar pendidikan tersebut memberikan indikasi bahwa hasil pendidikan dewasa ini diarahkan untuk dapat menghasilkan manusia yang memiliki ciri – ciri manusia sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan. Sebagai implikasi dari prinsip ini adalah terjadinya pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Hal tersebut kemudian diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 19 yang berbunyi “Proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik”.
Pendidikan merupakan sarana terpenting untuk membantu manusia dalam mengembangkan dirinya, sehingga mampu menjadi manusia yang berkualitas dan berpotensi. Pembangunan di bidang pendidikan merupakan suatu upaya untuk mewujudkan sumber daya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sekarang ini mengalami perkembangan yang sangat cepat dan pesat, sehingga menuntut adanya peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan bernalar tinggi. Peningkatan Sumber Daya Manusia yang berkualitas merupakan salah satu tugas utama dalam bidang pendidikan.
Namun saat ini sistem pendidikan Indonesia menempati peringkat terendah di dunia (Kompas, 27 November 2012). Peringkat itu memadukan hasil tes internasional dan data, seperti tingkat kelulusan antara tahun 2006 dan 2010. Dengan rendahnya sistem pendidikan Indonesia tentunya akan berimbas pada kualitas pendidikan matematika khususnya di negara kita yang dirasakan masih rendah dibandingkan dengan negara lain. Keterlibatan Indonesia dalam Program International for Student Asessment (PISA) adalah salah satu bentuk upaya untuk melihat sejauh mana keberhasilan program pendidikan Indonesia dibandingkan dengan negara- negara lain di dunia sekaligus sebagai umpan balik untuk berbenah untuk menjadi bangsa yang lebih baik dalam usaha mengejar ketinggalan dari negara-negara maju tersebut. Namun hasil pemeringkatan Programme for International Student Assessment (PISA) 2012 yang dirilis Organisation for Economic Co-operation & Development (OECD) dan Unesco Institute for Statistics menunjukkan penurunan peringkat Indonesia dalam indeks literasi matematika. Pada tahun 2009, Indonesia berada di peringkat ke-61, kini Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 65 negara peserta survey. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa pengajaran matematika belum mencapai tujuan pendidikan matematika secara umum yaitu: mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan dunia yang selalu berkembang melalui latihan betindak atas dasar pemikiran secara logis, kritis, rasional, cermat, efektif, dan efisien.
Matematika dalam pandangan siswa, identik dengan kata sulit. Selain merupakan mata pelajaran yang memiliki sifat abstrak juga membutuhkan penalaran dalam hubungannya dengan persoalan-persoalan matematika. Di sisi lain, masih banyak yang memandang bahwa matematika sebagai mata pelajaran yang menakutkan dan membosankan dikalangan siswa, sehingga suasana yang demikian ini mengakibatkan hasil atau prestasi belajar pada mata pelajaran matematika belum sesuai yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari persentase penguasaan materi matematika UN SMA/MA Tahun Pelajaran 2010/2011 Provinsi Nusa Tenggara Barat, pada materi menyelesaikan masalah persamaan dan fungsi kuadrat mencapai 68,78% di tingkat Kabupaten/Kota. Melihat kondisi seperti ini, maka perlu adanya upaya untuk meningkatkan dan memperbaiki prestasi belajar siswa, khususnya prestasi belajar matematika. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya prestasi belajar matematika siswa diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, dalam proses pembelajaran guru jarang mengkaitkan konsep-konsep atau materi yang diajarkan dengan kehidupan dunia nyata dan jarang mengarahkan siswa untuk menghubungkan pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan konsep yang diajarkan. Kedua, pembelajaran di kelas hanya berorientasi pada target menuntaskan materi dalam kurikulum. Dalam pembelajaran yang berorientasi untuk menuntaskan materi kurikulum, guru mengusahakan agar materi yang ada pada kurikulum habis disampaikan atau disajikan di kelas tanpa memperhatikan apakah siswa sudah dapat menguasai materi tersebut atau belum. Ketiga, pendidikan matematika di sekolah pada umumnya masih berada pada pendidikan matematika konvensional yang banyak ditandai proses yang strukturalistik dan mekanistik. Dari masalah-masalah yang dialami siswa seperti yang dikemukakan diatas maka terdapat faktor yang diidentifikasi sebagai penyebab rendahnya prestasi belajar matematika siswa, yaitu pembelajaran yang dilaksanakan selama ini belum mampu meningkatkan motivasi belajar matematika siswa, mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan ide-ide matematika siswa dengan tepat, mengembangkan kemampuan pemahaman konsep matematika siswa, dan mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Upaya yang dapat dilakukan untuk menuju perbaikan mutu pendidikan dan mengatasi permasalahan-permasalahan yang sudah dikemukakan di atas adalah menerapkan model pembelajaran yang sesuai sehingga hasil proses pembelajarannya dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Menurut Soekamto, dkk (dalam Trianto, 2009:22) mengemukakan maksud model pembelajaran adalah “kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajara mengajar”. Salah satu model pembelajaran yang menghasilkan interaksi yang baik antara siswa dan guru, dan siswapun lebih dominan dalam proses pembelajaran yang bisa digunakan adalah model kooperatif. Pembelajaran kooperatif menurut Rusman (2012:202) merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Pembelajaran kooperatif menitikberatkan pada proses belajar dalam kelompok dan bukan mengerjakan sesuatu bersama kelompok. Proses belajar dalam kelompok akan membantu siswa menemukan dan membangun sendiri pemahaman mereka tentang materi pelajaran yang tidak dapat ditemui pada metode konvensional. Sehingga dalam makalah ini akan membahas salah satu model pembelajaran kooperatif yaitu model pembelajaran tipe Numbered Heads Together (NHT).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan rasional di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
1) Apa landasan filosofis model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT)?
2) Apa landasan teoretik model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT)?
3) Bagaimana sintaks model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT)?
4) Bagaimana implementasi model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) dalam pembelajaran matematika?
5) Bagaimana situasi ideal yang diperlukan untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT)?
6) Apa keunggulan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT)?
7) Apa kelemahan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT)?
8) Upaya apa yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil belajar pada model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) dalam pembelajaran matematika?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:
1) Mengkaji landasan filosofis model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT).
2) Mengkaji landasan teoretik model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT).
3) Merumuskan sintaks model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT).
4) Menyusun rencana pembelajaran dengan mengimplementasikan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) dalam pembelajaran matematika.
5) Mengidentifikasi situasi ideal yang diperlukan untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT).
6) Mengidentifikasi kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT)
7) Mengidentifikasi kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT)
8) Merumuskan upaya yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil belajar pada model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) dalam pembelajaran matematika?
1.4 Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoretis
a. Melalui makalah ini, diharapkan sebagai seorang pendidik dan calon pendidik dapat memiliki pengetahuan tentang teori model pembelajaran kooperatif tipe Number Heads Together (NHT) yang merupakan bentuk inovasi pembelajaran.
b. Diharapkan sebagai pendidik dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif khususnya tipe Number Heads Together (NHT) untuk dapat memaksimalkan pengetahuan dan pemahamannya dalam pembelajaran khususnya mata pelajaran Matematika.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Siswa
1) Adanya kebebasan bagi siswa untuk menemukan hal-hal baru bagi dirinya di dalam pembelajaran
2) Dapat menghilangkan rasa jenuh pada saat pembelajaran berlangsung.
3) Dapat mempermudah penguasaan konsep, memberikan pengalaman nyata, memberikan dasar-dasar berpikir konkret sehingga mengurangi verbalisme, meningkatkan minat belajar dan meningkatkan hasil belajar.
b. Bagi guru
1) Untuk meningkatkan profesionalisme guru.
2) Untuk meningkatkan tingkat kepercayaan diri bagi seorang guru.
3) Memberikan pengalaman, menambah wawasan, pengetahuan dan keterampilan dalam merancang metode yang tepat dan menarik serta mempermudah proses pembelajaran melalui metode inkuiri.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 LANDASAN FILOSOFIS
Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang R.I. No. 20 Tahun 2003 dinyatakan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Sedangkan dalam pasal 3 UU RI No. 20 Tahun 2003, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Hakikat manusia dari sisi penciptaannya adalah makhluk yang sempurna karena dibekali dengan akal. Maka dengan akal itulah manusia itu akan selalu berpikir tentang kelangsungan hidupnya. Manusia akan selalu berupaya untuk menemukan berbagai cara untuk survive baik bagi dirinya, sekaligus meningkatkan kualitas kehidupannya baik fisik maupun non fisik yang berlangsung secara alami. Hal tersebut merupakan hakikat pendidikan secara umum.
Sehingga penyelenggaraan pendidikan di Indonesia berlandaskan atas tujuan pendidikan dan hakikat manusia itu sendiri. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Selain, sebagai individu yang berusaha mengembangkan diri di berbagai bidang, dalam pengembangannya manusia harus menyadari dirinya sebagai makhluk sosial. Manusia harus menyadari bahwa pemikiran banyak orang akan jauh lebih baik daripada pemikiran sendiri. Selain itu, manusia harus menyadari dirinya akan lemah bila berada dalam posisi sendiri, sehingga memerlukan teman lain untuk dapat mengerjakan pekerjaan yang lebih besar.
Menurut Hamid Hasan (dalam Etin Solihatin, 2005:4), kooperatif mengadung pengertian bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama. Sehingga pembelajaran saat ini diharapkan berlangsung dengan model pembelajaran kooperatif. Dalam pembelajaran kooperatif, siswa secara individual mencari hasil yang menguntungkan bagi seluruh anggota kelompoknya. Jadi pembelajaran kooperatif merupakan aktivitas pembelajaran kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan informasi secara sosial di antara kelompok-kelompok pembelajar yang di dalamnya setiap pembelajar/siswa bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan didorong untuk meningkatkan pembelajaran anggota-anggota yang lain.
Muslimin Ibrahim, dkk (dalam Vidya Mulyawati, 2006:6) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif memiliki unsur-unsur antara lain: (1) siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka hidup sepenanggungan bersama; (2) siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu didalam kelompoknya, seperti milik mereka sendiri; (3) siswa haruslah melihat bahwa semua anggota dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama; (4) siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya; (5) siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/ penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok; (6) Siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan ketrampilan untuk belajar bersama selama proses belajar; dan (7) Siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Adapun prinsip-prinsip dasar dalam model pembelajaran kooperatif menurut Stahl (dalam Etin Solihatin, 2005:4), meliputi sebagai berikut.
a. Perumusan tujuan belajar siswa harus jelas
Sebelum menggunakan strategi pembelajaran, guru hendak memulai dengan merumuskan tujuan pembelajaran dengan jelas dan spesifik. Perumusan tujuan tersebuat harus sesusi dengan tujuan kurikulum dan tujuan pembelajaran.
b. Penerimaan yang menyeluruh oleh siswa tentang tujuan belajar
Guru hendak mengkondisikan kelas agar siswa menerima tujuan pembelajaran dari sudut kepentingan diri dan kepentingan kelas. Sehingga siswa mampu bekerja sama dalam mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang telah ditetapkan untuk dipelajari.
c. Ketergantungan yang bersifat positif
Guru harus merancang struktur kelompok dan tugas kelompok yang memungkinkan siswa untuk belajar dan mengevaluasi dirinya dan teman kelompoknya dalam penguasaaan dan kemampuan dalam memahami materi pelajaran. Kondisi ini memungkinkan siswa untuk merasa tergantung secara positif pada anggota kelompok yang lain.
d. Interaksi yang bersifat terbuka
Dalam belajar kelompok, interaksi yang terjadi bersifat langsung dan terbuka dalam mendiskusikan materi atau tugas yang diberika oleh guru. Sehingga menimbulkan keterbukaan di kalangan siswa untuk memperoleh keberhasilan dalam belajarnya.
e. Tanggung jawab individu
Keberhasilan dalam belajar dipengaruhi oleh individu siswa dalam menerima dan memberi apa yang telah dipelajari. Sehingga secara individual siswa mempunyai dua tanggung jawab yaitu mengerjakan dan memahami materi bagi keberhasilan dirinya dan juga keberhasilan kelompok.
f. Kelompok bersifat heterogen
Keanggotaan kelompok harus bersifat heterogen sehingga interaksi kerja sama yang terjadi merupakan akumulasi dari berbagai karakteristik siswa yang berbeda. Kondisi ini sangat baik untuk mengembangkan kemampuan dan melatih keterampilan dirinya dalam suasana yang terbuka dan demokratis.
Ciri-ciri pembelajaran kooperatif antara lain: (1) siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya; (2) kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah; (3) bilamana mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, serta jenis kelamin yang berbeda; dan (4) penghargaan lebih berorientasi kelompok dari pada individu.
Manfaat pembelajaran kooperatif bagi siswa antara lain: (1) meningkatkan kemampuan bekerjasama dan bersosialisasi; (2) melatih kepekaan diri, empati melalui variasi perbedaan sikap dan prilaku; (3) mengurang rasa kecemasan dan menumbuhkan rasa percaya diri; (4) meningkatkan motivasi belajar, harga diri dan sikap prilaku yang positif, sehingga siswa akan tahu kedudukannya dan belajar untuk saling menghargai satu sama lain; (5) meningkatkan prestasi belajar dengan menyelesaikan tugas akademik, sehingga dapat membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit.
Numbered Heads Together (NHT) merupakan suatu model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Russ Frank yang merupakan seorang guru pada Chaparral Middle School di Diamond Bar, California. Metode Russ Frank (Slavin, 2010:256) adalah cara yang sangat baik untuk menambah tanggung jawab individual kepada diskusi kelompok.
Menomori orang bersama pada dasarnya adalah sebuah variasi dari Group Discussion (Slavin, 2010:256) pembelokannya yaitu pada hanya ada satu siswa yang mewakili kelompoknya tetapi tudak sebelumnya diberi tahu siapa yang akan menjadi wakil kelompok tersebut. Pembelokan tersebut memastikan keterlibatan total dari semua siswa.
Model pembelajaran tipe Numbered Heads Together (NHT) menurut Trianto (2007:62) merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional. Struktur tersebut dikembangkan sebagian bahan alternatif dari struktur kelas tradisional seperti mengacungkan tangan terlebih dahulu untuk kemudian ditunjuk oleh guru untuk menjawab pertanyaan yang telah dilontarkan. Suasana seperti ini menimbulkan kegaduhan dalam kelas, karena para siswa saling berebut dalam mendapatkan kesempatan untuk menjawab pertanyaan dari guru.
Numbered Heads Together (NHT) disebut pula dengan penomoran, berpikir bersama, kepala bernomor merupakan salah satu inovasi dalam pembelajaran kooperatif. Numbered Heads Together (NHT) pertama kali dikembangkan oleh Spenser Kagan pada tahun 1993 (Trianto, 2009:82) untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut.
2.2 LANDASAR TEORITIS
Adapun beberapa teori yang melandasi model pembelajaran kooperatif tipe NHT yaitu: (1) teori konstruktivisme individu menurut Piaget; (2) teori konstruktivisme social menurut Vygotsky; dan (3) teori kondisioning operant (operant conditioning).
1. Teori Konstruktivisme Menurut Piaget
Menurut Piaget (dalam Asri, 2012:97) pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Sementara itu bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran itu menjadi logis. Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran sebagai berikut.
a. Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak.
b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
Berdasarkan pembahasan mengenai teori kognitif Piaget di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa teori ini mendukung pembelajaran kooperatif tipe NHT. Karena dalam pembelajaran kooperatif tipe NHT siswa berdiskusi kelompok dengan temannya searah dengan teori kognitif. Piaget yang menyatakan interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran menjadi logis.
2. Teori Konstruktivisme Sosial Menurut Vigotsky
Vygotsky berpendapat (Winataputra, 2008:6.9) bahwa pengetahuan dibangun secara sosial, dalam pengertian bahwa peserta didik yang terlibat dalam suatu interaksi sosial akan memberikan kontribusi dan membangun bersama makna suatu pengetahuan. Dengan demikian proses yang terjadi akan beragam sesuai dengan konteks kultural.
Menurut Slavin (Ratumanan, 2002:46) ada dua implikasi utama teori Vygotsky yaitu:
(1) menghendaki tatanan kelas dan bentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam masing-masing ZPD (zone of proximal development) mereka;
(2) pendekatan Vygotsky dalam pengajaran menekankan scaffolding, konsep scaffolding berarti memberikan kepada siswa sejumlah besar bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya sendiri.
3. Teori Operant Conditioning
B.F. Skinner (dalam Sigit, 2012:2) pada tahun 1953 menulis buku Science and Human Behavior, menjelaskan tentang peranan dari teori operant conditioning di dalam perilaku manusia. Pendekatan behavior merupakan pendekatan yang berkembang secara logis dari keseluruhan sejarah psikologi eksperimental. Operant conditioning merupakan tipe perilaku belajar yang dipengaruhi oleh adanya penguatan-penguatan (reinforcer) positif dan atau negative untuk mengontrol tingkah laku organisme. Model dari Skinner merupakan prinsip penguatan terhadap identifikasi tujuan dengan mengontrol faktor lingkungan yang berperan penting dalam perubahan perilaku.
2.3 SINTAKS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NHT
Model pembelajaran kooperatif bertujuan untuk interaksi siswa tetapi siswa juga diharapkan dapat terlibat secara aktif dalam proses berpikir dan dalam kegiatan-kegiatan belajar. Sehingga sebagai seorang tenaga pendidik maupun calon tenaga pendidik perlu mengetahui sintaks model pembelajaraan kooperatif.
Tabel 2.3.1 Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif
Langkah Aktivitas Guru
Langkah 1
Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
Langkah 2
Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
Langkah 3
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok kooperatif Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.
Langkah 4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka.
Langkah 5
Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-
Model pembelajaran tipe Numbered Heads Together (NHT) lebih mengedepankan kepada aktivitas siswa dalam mencari, mengolah, dan melaporkan informasi dari berbagai sumber yang akhirnya untuk dipresentasikan di depan kelas. Model pembelajaran tipe Numbered Heads Together (NHT) selalu diawali dengan membagi kelas menjadi beberapa kelompok. Masing-masing siswa dalam kelompok sengaja diberi nomor untuk memudahkan kinerja kelompok, mengubah posisi kelompok, menyusun materi, mempresentasikan dan mendapat tanggapan dari kelompok lain.
Menurut pendapat Spencer Kagan (dalam Rusman, 2012:225) model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together merupakan model pembelajaran kooperatif dengan menggunakan pendekatan struktural. Menurut Johnson & Johnson; Holubec; dan Roy (dalam Slavin, 2010:250) terdapat empat prinsip dasar yang penting untuk pendekatan struktural pembelajaran kooperatif yaitu sebagai berikut.
1. Interaksi tatap muka: Para siswa bekerja dalam kelompok yang beranggotakan empat sampai lima orang.
2. Interdependensi positif: Para siswa bekerja bersama untuk mencapai tujuan kelompok.
3. Tanggung jawab individual: Para siswa harus memperlihatkan bahwa mereka secara individual telah menguasai materinya.
4. Kemampuan-kemampuan interpersonal dan kelompok kecil: Para siswa diajari mengenai sarana-sarana yang efektif untuk bekerja sama dan mendiskusikan seberapa kelompok mereka bekerja dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
Tabel 2.3.2 Sintak Model Pembelajaran Kooperatif tipe NHT
Tahapan Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
Penomoran Guru membagi siswa ke dalam kelompok yang terdiri dari 3-5 orang dan kepada setiap anggota kelompok diberi nomor 1-5 (nomor disesuaikan dengan jumlah anggota kelompok). Siswa berkelompok sesuai instruksi guru.
Mengajukan pertanyaan Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa (perta¬nyaan dapat bervariasi, pertanyaan dapat amat spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya). Menyimak pertanyaan guru dan mengerjakan LKS yang diberikan.
Berpikir bersama Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir bersama untuk menyatukan pendapatnya. Siswa berdiskusi tentang permasalahan yang ada di LKS.
Menjawab Guru memanggil satu nomor untuk mempresentasikan jawaban kelompoknya di depan kelas. Siswa mempresentasikan hasil kerja kelompoknya.
2.4 IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NHT
Berdasarkan sintaks diatas, dapat dibuat langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) pada pembelajaran matematika untuk materi operasi himpunan sebagai berikut.
1. Pendahuluan
a. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan indikator yang harus dicapai yang disajikan dalam bentuk RPP.
b. Guru menyampaikan materi yang akan dibahas atau mengaitkan materi yang dibahas dengan materi yang telah dibahas sebelumnya dalam hal ini guru melakukan apersepsi.
c. Guru memberikan motivasi kepada siswa, agar timbul rasa ingin tahu siswa tentang konsep-konsep yang akan dipelajari.
2. Kegiatan Inti
Pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) sebagai berikut,
a. Tahap Pertama : Penomoran (Numbering)
Guru membagi siswa dalam kelompok yang beranggotakan 3-5 orang dan kepada setiap anggota diberi nomor 1-5. Kelompok yang dibentuk merupakan percampuran yang ditinjau dari latar belakang sosial, ras, suku, jenis kelamin dan kemampuan belajar. Pembentukan kelompok digunakan nilai tes awal (pre-test) sebagai dasar dalam menentukan masing-masing kelompok.
b. Tahap kedua : Mengajukan pertanyaan (Questioning)
Guru membagikan LKS kepada setiap siswa sebagai bahan diskusi yang didalamnya terdapat beberapa pertanyaan. Sehingga guru secara langsung mengajukan pertanyaan kepada siswa melalui LKS yang telah diberikan (LKS terlampir).
c. Tahap ketiga : Berpikir bersama (Head Together)
Siswa berpikir bersama dan menyatukan pendapatnya terhadap jawaban dari pertanyaan dan meyakinkan tiap anggota dalam kelompoknya mengetahui jawaban tersebut.
d. Tahap keempat : Pemberian jawaban (Answering)
1) Guru memanggil satu nomor dari salah satu kelompok secara acak, kemudian siswa yang nomornya dipanggil mengacungkan tangannya dan menjawab pertanyaan atau mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. Kelompok lain diberi kesempatan untuk berpendapat dan bertanya terhadap hasil diskusi kelompok tersebut.
2) Guru mengamati hasil yang yang diperoleh masing-masing kelompok dan memberikan semangat bagi kelompok yang belum berhasil dengan baik.
3. Penutup
a. Siswa bersama guru menyimpulkan materi yang telah dibahas.
b. Guru memberikan soal latihan secara individu (post test) untuk mengukur pemahaman siswa.
c. Guru mengingatkan siswa untuk mempelajari kembali materi yang telah diajarkan dan materi selanjutnya.
2.5 SITUASI IDEAL MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NHT
Model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik. Model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat diterapkan untuk semua materi pelajaran yang tidak terlalu padat, karena setelah mengadakan diskusi, setiap kelompok harus mempresentasikan hasil dari diskusi mereka.
Pembagian kelompok dalam model pembelajaran kooperatif tipe NHT dilakukan secara heterogen, baik dari segi kemampuan maupun karakteristik yang lain. Oleh karena itu, model pembelajaran kooperatif tipe NHT sangat tepat untuk diterapkan pada siswa yang memiliki karakteristik heterogen, baik dari segi kemampuan, jenis kelamin, atau karakteristik yang lain.
Untuk model pembelajaran kooperatif tipe NHT idealnya dapat diterapkan untuk kelas dengan jumlah siswa yang kurang dari atau sama dengan 32 orang karena setiap kelompok harus mempresentasikan hasil diskusinya.
2.6 KELEBIHAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NHT
Model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads To¬gether (NHT) mempunyai beberapa kelebihan yaitu:
1. setiap siswa menjadi siap karena selain tanggung jawab dari kelompok, tanggung jawab individu untuk memahami, menerima, dan menyampaikan materi sangat diperlukan;
2. mempermudah guru dalam memanggil siswa;
3. dapat bertukar pikiran dengan siswa yang lain, sehingga siswa yang mempunyai kemampuan yang lebih mampu membantu siswa yang kurang mampu dalam proses belajar;
4. siswa pandai atau siswa kurang sama-sama memperoleh manfaat melalui aktifitas belajar kooperatif sehingga dapat mengeliminir siswa yang mendominasi;
5. dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan keterampilan bertanya, berdiskusi, dan mengembangkan bakat kepemimpinan;
6. munculnya jiwa kompetensi yang sehat;
7. kelas menjadi hidup dan dinamis;
8. waktu untuk mengoreksi hasil kerja siswa menjadi lebih efektif dan efisien.
2.7 KEKURANGAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NHT
Kekurangan dari model pem¬belajaran kooperatif tipe NHT yaitu:
(1) ke¬mungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil kembali oleh guru;
(2) tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru;
(3) tidak cocok untuk kelas yang besar (> 60 siswa) karena seorang guru akan memerlukan keterampilan yang ekstra lebih dalam pengelolaan kelas. Jika seorang guru tidak dapat mengelola kelas dengan baik, maka kelas akan menjadi ramai dan sulit dikendalikan;
(4) tidak dapat mengukur hasil belajar kognitif dan psikomotorik secara individual karena dalam penilaiannya berdasarkan kelompok;
(5) adanya alokasi waktu yang panjang;
(6) ketidakbiasaan siswa melakukan pembelajaran kooperatif, sehingga siswa terkadang merasa kaget dan merasa bosan.
2.8 UPAYA YANG DIPERLUKAN UNTUK MENGOPTIMALKAN HASIL BELAJAR PADA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NHT DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Upaya yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan hasil belajar pada model pembelajaran kooperatif NHT yaitu:
1. guru harus mengelola kelas dengan baik, agar kondisi kelas dapat terkendali dan tidak menjadi ramai
2. guru harus memilih materi yang cocok dengan model pembelajaran kooperatif NHT agar alokasi waktu yang direncanakan guru tidak melebihi batas.
3. guru meningkatkan pemantauan terhadap siswa selama pembelajaran kelompok untuk menghindari adanya sikap ketergantungan siswa satu dengan yang lain dalam satu kelompok.
4. siswa hendaknya berperan aktif dalam menyampaikan materi yang telah dipelajari pada teman kelompoknya secara bergantian, serta menyampaikan ide atau pikiran pada saat proses diskusi, agar kelompok memperoleh jawaban yang disetujui oleh seluruh anggota kelompok.
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial karena dalam hidupnya manusia selalu bergantung atau memerlukan bantuan orang lain untuk dapat bermasyarakat. Dalam hidup bermasyarakat tentunya akan terdapat banyak pemikiran yang berbeda dalam tujuan yang sama namun akan membara sesuatu kearah yang lebih baik dibandingkan dengan satu pemikiran saja.Dalam proses pembelajaran, pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajan yang mudah untuk memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Pembelajaran kooperatif bernaung dalam teori konstruktivis. Pembelajaran ini muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Jadi, hakikat sosial dan penggunaan kelompok berjawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif.
Model pembelajaran tipe Number Head Together (NHT) menurut merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional. Struktur tersebut dikembangkan sebagian bahan alternatif dari struktur kelas tradisional seperti mengacungkan tangan terlebih dahulu untuk kemudian ditunjuk oleh guru untuk menjawab pertanyaan yang telah dilontarkan. Suasana seperti ini menimbulkan kegaduhan dalam kelas, karena para siswa saling berebut dalam mendapatkan kesempatan untuk menjawab pertanyaan dari guru.Numbered Head Together pertamakali dikembangkan oleh Spenser Kagan (1993) untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. Adapun teori-teori yang melandasi model pembelajaran kooperatif tipe Number Head Together (NHT) yaitu teori piaget, teori vigotsky, dan teori humanistik. Dalam mengajukan kepada seluruh kelas, guru menggunakan struktur empat fase sintaks NHT yaitu penomoran, mengajukan pertanyaan, berpikir bersama, dan pemberian jawaban. Dalam implementasi model pembelajaran kooperatif ini permbagian kelompok dalam setiap kelompok harus terdiri dari siswa dengan kemampuan yang bervariasi sehingga siswa yang memiliki kemampuan tinggi bersedia membantu meskipun mereka tidak dipanggil untuk menjawab. Sehingga setiap siswa harus memperlihatkan bahwa mereka secara individual telah menguasai materinya yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. Model pembelajaran kooperatif tipe NumberedHead Together (NHT) ini secara tidak langsung melatih siswa untuk saling berbagi informasi, mendengarkan dengan cermat serta berbicara dengan penuh perhitungan, sehingga siswa lebih produktif dalam pembelajaran. Model ini dapat digunakan untuk semua mata pelajaran dan semua tingkatan peserta didik.
Adapun kelebihan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT)adalah (1)terjadinya interaksi antar siswa melalui diskusi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi; (2) siswa pandai atau siswa kurang sama-sama memperoleh manfaat melalui aktifitas belajar kooperatif sehingga dapat mengeliminir siswa yang mendominasi; (3) jika disikapi secara positif oleh siswa, siswa akan termotivasi untuk berpartisipasi dalam diskusi kelompok agar dapat menjawab dengan baik ketika nomornya dipanggil; (4)mempermudah guru dalam memanggil siswa; (5) mendorong siswa yang memiliki sikap pemalu untukdiberikan kesempatan secara luas untuk menggunakan ketrampilan bertanya, berdiskusi dan mengembangkan bakat kepemimpinan. Adapun kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT)adalah (1)siswa yang pandai akan cenderung mendominasi sehingga dapat menimbulkan sikap minder siswa yang lemah; (2) jika disikapi negatif oleh siswa, maka ada siswa yang sekedar menyalin pekerjaan siswa yang lain tanpa memiliki pemahaman yang memadai pada saat diskusi menyelesaikan masalah; (3)pengelompokan siswa memerlukan waktu khusus dan pengaturan tempat duduk yang berbeda. Agar pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe NumberedHead Together (NHT) berjalan dengan baik, adapun upaya yang dapat dilakukan yaitu (1) guru senantiasa mempelajari teknik-teknik pembelajaran kooperatif tipe NumberedHead Together (NHT); (2) guru meminta siswa utuk tidak berebut nomor dan memberikan penekanan bahwa setiap nomor memiliki bobot pertanyaan yang sama; (3) memotivasi siswa untuk menemukan jawaban sendiri terlebih dahulu; (4) pembagian kelompok hendaknya heterogen; (5) meningkatkan sarana pendukung pembelajaran.
1.2 Rekomendasi
Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidaklah selalu berjalan sesuai dengan rencana telah dirancang sedemikian rupa. Guru hendaknya lebih memilih berbagai variasi model pembelajaran yang sesuai dengan situasi sehingga tujuan pembelajaran yang direncanakan akan tercapai. Salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan yaitu model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) berpotensi membuat peserta didik sebagai pusat pembelajaran. Metode ini mengedepankan kepada aktivitas peserta didik dalam mencari, mengolah dari beberapa temanya yang akhirnya dipresentasikan di depan kelas. Dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NumberedHead Together (NHT) dapat melatih peseta didik bekerja sama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi norma-norma kelompok, peserta didik aktif membantu dan memotivasi semangat untuk berhasil bersama, aktif berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan kelompok, interaksi antar peserta didik seiring dengan peningkatan kemampuan mereka dalam berpendapat. Hal ini akan dapat berpengaruh terhadap pencapaian hasil belajar matematika peserta didik yang lebih baik.
PROBLEM SOLVING
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Rasional
Bangsa yang besar dan maju tidak hanya dapat dilihat dari pendapatan perkapita negaranya saja, namun pendidikan tiap warga negaranya juga merupakan suatu prioritas utama bagi suatu bangsa guna menghadapi arus globalisasi. Hal yang sama juga dilakukan oleh Indonesia. Sebagai bangsa yang tengah berkembang, Indonesia terus berupaya dalam meningkatkan pendidikan tiap warga negaranya. Seperti yang tertera pada Undang-Undang No. 20 tahun 2003 menyatakan “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak”. Berlandaskan pada hal tersebut, sudah barang tentu pendidikan merupakan suatu hal yang menjadi prioritas utama bangsa Indonesia terlebih guna menyiapkan 100 tahun generasi emas bangsa.
Pendidikan memang sangat penting bagi seluruh warga masyarakat agar mereka dapat membekali diri mereka dengan ilmu pengetahuan. Dalam tingkat satuan pendidikan, ilmu pengetahuan dibagi menjadi beberapa bidang ilmu seperti IPA, IPS, Bahasa, dan Matematika. Matematika sebagai salah satu ilmu dasar memegang peranan penting dalam berbagai disiplin ilmu. Di samping itu pembelajaran matematika dapat memberikan tekanan pada penataan nalar, pembentukan sikap siswa serta ketrampilan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
Salah satu ciri penting matematika adalah memiliki objek abstrak, sehingga kebanyakan siswa menganggap bahwa matematika itu sulit. Menurut Soedjadi (dalam Cicik, 2010), sifat abstrak tersebut merupakan salah satu penyebab sulitnya seorang guru mengajarkan matematika di sekolah. Namun sebagai seorang guru, harus berusaha mengurangi sifat abstrak tersebut dengan selalu berinovasi sehingga memudahkan siswa menangkap materi yang diberikan. Guru perlu memahami cara-cara penyampaian materi pelajaran. Jadi disamping penguasaan materi, cara menyajikan atau menyampaikan materi matematika merupakan syarat yang perlu dikuasai seorang guru matematika.
Guru dituntut mampu untuk mendidik dan membelajarkan siswanya. Beban yang sangat sulit bagi guru agar peserta didiknya mampu menerima materi pelajaran dengan baik. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen pada pasal 10, seorang guru dituntut memiliki kompetensi yang mencakup kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional, di mana keempat kompetensi tersebut saling terkait sehingga membentuk guru yang professional. Nana Sudjana (dalam Pait, 2012) membagi kompetensi guru menjadi 3 sebagai berikut: (a). Kompetensi bidang kognitif, artinya kemampuan intelektual seperti penguasaan mata pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan tentang bimbingan penyuluhan, pengetahuan tentang administrasi kelas, pengetahuan mengenai cara menilai hasil belajar siswa, pengetahuan tentang kemasyarakatan, serta pengetahuan umum lainnya, (b). Kompetensi bidang sikap, artinya kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai hal berkenaan dengan tugas dan profesinya. Misalnya sikap menghargai pekerjaan, mencintai dan memiliki rasa senang, terhadap mata pelajaran yang dibinanya, sikap toleransi terhadap sesama profesinya, memiliki kemauan yang keras untuk meningkatkan hasil pekerjaan, (c). Kompetensi perilaku/performance, artinya kemampuan guru dari berbagai keterampilan/berperilaku, seperti keterampilan mengajar, membimbing, menilai, menggunakan alat bantu pengajaran, bergaul atau berkomunikasi dengan siswa, menumbuhkan semangat belajar para siswa, keterampilan menyusun persiapan/perencanaan mengajar, keterampilan melaksanakan administrasi kelas.
Namun, dalam pembelajaran sering kali terjadi kekurang-efektifan dalam pelaksanaannya. Hal ini sering diakibatkan kekurang-seriusan peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Terlebih jika mata pelajaran tersebut tidak disenangi oleh siswa. Khususnya untuk mata pelajaran matematika. Matematika telah menjadi salah satu mata pelajaran yang paling tidak disenangi oleh siswa. Padahal matematika sangat penting perannya dalam kehidupan. Hal ini sesuai dengan pendapat Cornelius (dalam Hariyanti, dkk, 2008:2) yang menyatakan bahwa alasan perlunya belajar matematika karena : (1) sarana berpikir yang jelas dan logis; (2) sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari; (3) sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman; (4) sarana untuk mengembangkan kreativitas; dan (5) sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya.
Pendapat Cornelius di atas menunjukkan bahwa matematika sangat penting dan dibutuhkan oleh semua manusia karena memiliki manfaat yang sangat besar dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada kenyataannya matematika sering kali dianggap pelajaran yang menakutkan dan kurang disenangi siswa. Rasa takut terhadap pelajaran matematika (fobia matematika) sering kali menghinggapi perasaan para siswa dari tingkat SD sampai dengan SMA bahkan hingga perguruan tinggi (Admin, 2007; Hariyanti, dkk, 2008:2).
Melihat hal tersebut, maka sangat perlu adanya penanaman pengetahuan yang benar mengenai pentingnya pelajaran matematika dalam kehidupan sehari-hari. Serta membuat agar peserta didik mampu memiliki rasa senang dengan pelajaran matematika. Berkaitan dengan masalah tersebut diatas, pada kesempatan ini penulis mencoba memberikan solusi, yaitu dengan menerapkan suatu strategi tertentu dalam pembelajaran matematika. Menurut Kozna (dalam Hamzah, 2008:1) strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai setiap kegiatan yang dipilih, yaitu yang dapat memberikan fasilitas atau bantuan kepada peserta didik menuju tercapainya tujuan pembelajaran tertentu. Dick dan Carey (1978) menyebutkan bahwa terdapat lima komponen strategi pembelajaran, yaitu: (1) kegiatan pembelajaran pendahuluan, (2) penyampaian informaasi, (3) partisipasi peserta didik, (4) tes, dan (5) kegiatan lanjutan (Hamzah, 2008:3). Dalam hal ini, strategi pembelajaran yang penulis anjurkan yaitu Strategi Pembelajaran Pemecahan Masalah atau Problem Solving.
1.2 Masalah
1. Apakah Landasan Filosofis Model Pembelajaran Pemecahan Masalah?
2. Apakah Landasan Teoritis Model Pembelajaran Pemecahan Masalah?
3. Bagaimana Sintaks Model Pembelajaran Pemecahan Masalah?
4. Bagaimana Implementasi Model Pembelajaran Pemecahan Masalah pada Pelajaran Matematika?
5. Bagaimana Situasi Ideal, Kekurangan, serta Kelebihan Model Pembelajaran Pemecahan Masalah?
6. Bagaimana upaya optimalisasinya?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang Landasan Filosofis Model Pembelajaran Pemecahan Masalah.
2. Untuk mengetahui tentang Landasan Teoritis Model Pembelajaran Pemecahan Masalah.
3. Untuk mengetahui tentang Sintaks Model Pembelajaran Pemecahan Masalah.
4. Untuk mengetahui tentang Implementasi Model Pembelajaran Pemecahan Masalah pada Pelajaran Matematika.
5. Untuk mengetahui tentang Situasi Ideal, Kekurangan, serta Kelebihan Model Pembelajaran Pemecahan Masalah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Filosofi
Pendidikan nasional pada hakekatnya diarahkan pada pembangunan Indonesia seutuhnya yang menyeluruh baik lahir maupun batin. Salah satu usaha untuk menciptakan manusia yang berkualitas, yaitu menjadikan manusia memiliki kecakapan hidup dan bisa hidup bermasyarakat adalah melalui pendidikan.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa banyak siswa mengalami kesulitan dalam memahami permasalahan yang ada. Hudoyo (dalam Komariah) menyatakan bahwa soal-soal yang berkaitan dengan bilangan tidaklah begitu menyulitkan siswa, namun soal-soal yang menggunakan kalimat sangat menyulitkan bagi siswa yang memiliki kemampuan kurang. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa bukan disebabkan tidak mampu melakukan perhitungan saja melainkan siswa tidak memahami permasalahan.
Ahmad dan Zanzali (dalam Nurmaningsih, dkk) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa seharusnya di dalam proses belajar mengajar matematika di kelas digunakan pendekatan alternatif yang membuat siswa berkesempatan untuk mengajukan masalah. Selain itu, Cote (dalam Nurmaningsih, dkk) menyatakan bahwa penting untuk guru mengajarkan kemampuan memecahkan masalah sehingga dapat mengantarkan siswa mengalami kesuksesan di masa depan dengan menjadi pemecah masalah yang efektif. Dalam proses pembelajaran di kelas, diharapkan guru dapat menerapkan model pembelajaran yang sesuai dengan materi dan dapat membuat siswa berperan aktif dalam kegiatan belajar mengajar di kelas.
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru juga seharusnya lebih banyak melibatkan kreativitas belajar siswa karena kreativitas belajar juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Menurut Utami Munandar (dalam Nurmaningsih, dkk), kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru berdasarkan data atau informasi yang tersedia, menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah dimana penekanannya adalah pada kuantitas, ketepatan dan keragaman jawaban.
Model pembelajaran Problem Solving merupakan salah satu model pembelajaran yang melibatkan aktifitas siswa dan juga kreativitas mereka dalam proses pembelajarannya. Model pembelajaran Problem Solving mempunyai pengertian sebagai proses pembelajaran yang menuntut siswa untuk menyelesaikan masalah, yang bisa dibuat-buat sendiri oleh pendidik ataupun fakta nyata yang ada di lingkungan kemudian dipecahkan dalam pembelajaran di kelas, dengan berbagai cara dan teknik. Jadi problem solving ini memberikan tekanan pada terselesaikannya suatu masalah secara menalar.
Model pembelajaran ini mendorong siswa untuk berpikir secara sistematis dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan yang ada dimasyarakat. Jika siswa terlatih dengan model pembelajaran ini, diharapkan siswa dapat menggunakannya dalam menyelesaikan permasalahan yang ada dimasyarakat, selain itu pemecahan masalah sangat penting bagi siswa dan masa depannya.
Malik & Iqbal (dalam Pait, 2010) menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah suatu proses dimana siswa dapat menemukan hubungan antara pengalaman sebelumnya dari masalah-masalah yang dihadapi dan kemudian menemukan sebuah solusi. Pada model pembelajaran problem solving ini siswa diajak untuk aktif sehingga informasi tidak hanya dari guru, tetapi siswa juga dituntut untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan baru mereka dengan informasi atau pengetahuan mereka sebelumnya.
Menurut Gagne (dalam Pait, 2010), problem solving learning merupakan belajar melalui pemecahan masalah di mana tipe belajar seperti ini dapat membentuk prilaku melalui kegiatan pemecahan masalah. Tipe belajar ini merupakan tipe belajar yang dapat membentuk siswa berpikir ilmiah dan kritis yang termasuk pada belajar yang menggunakan pemikiran atau intelektual tinggi. Tipe belajar ini memberikan pemahaman yang lama jika dibandingkan dengan tipe belajar yang lainnya.
Jonassen (dalam Pait, 2010) mengatakan bahwa pemecahan masalah adalah hasil pembelajaran yang paling penting dalam kebanyakan konteks. Teori pemecahan masalah merupakan perbedaan mendasar di antara berbagai jenis masalah, sehingga menghasilkan tipologi atau masalah, termasuk masalah cerita, dengan aturan masalah induksi, pengambilan keputusan, pemecahan masalah, diagnosis-solusi, kinerja strategis, masalah kebijakan, masalah desain, dan dilema-dilema.
Terdapat 3 ciri utama dari metode problem solving, yaitu:
a) Metode problem solving merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran. Artinya dalam implementasi problem solving ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa.
b) Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Metode ini menempatkan masalah sebagai kunci dari proses pembelajaran.
c) Pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah
Tujuan diterapkannya model pembelajaran problem solving (dalam Haryanti) antara lain:
1) Menghasilkan siswa yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam memecahkan masalah yang akan dihadapi kelak di masyarakat.
2) Menggunakan pengetahuan yang didapat untuk memecahkan permasalahan yang berhubungan dengan materi
3) Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan kemudian menganalisisnya dan akhirnya meneliti kembali hasilnya
4) Potensi intelektual meningkat
5) Siswa belajar bagaimana menemukan penemuan dengan melalui proses melakukan penemuan
2.2 Landasan Teoritik
Ada beberapa teori yang melandasi model pembelajaran problem solving, yaitu:
1. Teori Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri. Menurut teori konstruktivisme, pengetahuan itu akan bermakna apabila proses dicari ditemukan oleh peserta didik sendiri bukan hasil pemberian orang lain termasuk guru. Komponen penentu dari teori konstruksivisme adalah bahwa setiap individu belajar secara aktif mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri, membandingkan informasi baru dengan pemahaman sebelumnya dan menggunakannya untuk menghasilkan pemahaman baru.
Secara spesifik Hudoyo (dalam Komariah) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari pada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Siswa dapat belajar dari pengalamannya atau dari pengalaman orang lain. Pengalaman tersebut akan terserap dalam benak siswa dalam bentuk gagasan-gagasan dan tanggapan-tanggapan. Gagasan-gagasan dan tanggapan-tanggapan tersebut akan tertuang dalam kata-kata yang disampaikan kepada orang lain. Dengan demikian pengalaman dapat dipresentasikan kepada orang lain dalam bentuk kata-kata dan bisa dimengerti.
Von Galserfeld (dalam Baharuddin), mengemukakan bahwa ada beberapa cara/kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu:
a) Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman
b) Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan
c) Kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada yang lainnya.
Terdapat tiga ciri dari belajar konstuktivis. Pertama, siswa yang aktif dalam membangun pengetahuannya; kedua, siswa mencari sendiri arti dari apa yang mereka pelajari; ketiga, siswa sendiri yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya.
2. Teori Kognitivisme
Teori kongnitivisme merupakan suatu bentuk teori yang sering disebut sebagai model kongnitif atau perceptual. Asumsi dasar teori ini adalah setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam dirinya. Pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif. Teori kongnitivisme dibentuk dengan tujuan membangun prinsip-prinsip belajar secara ilmiah yang dapat diterapkan ke situasi kelas dengan menghasilkan prosedur-prosedur di kelas untuk mendapatkan hasil yang paling optimal.
Adapun ciri-ciri dari teori kognitivisme antara lain: Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia. Mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian. Mementingkan peranan kognitif. Mementingkan kondisi waktu sekarang. Mementingkan pembentukan struktur kognitif. Lebih mementingkan proses daripada hasil yang diperoleh.
3. Teori Belajar Bermakna
Kebermaknaan diartikan sebagai kombinasi dari informasi verbal, konsep, kaidah dan prinsip, bila ditinjau bersama-sama. Oleh karena itu belajar dengan prestasi hafalan saja tidak dianggap sebagai belajar bermakna. Belajar dikatakan menjadi bermakna (meaningful learning) yang dikemukakan oleh Ausubel adalah proses belajar terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan pengetahuan baru.
4. Teori Penemuan Bruner
Karakteristik dari teori ini, yaitu membebaskan peserta didik untuk belajar sendiri dan mengarahkan peserta didik untuk belajar secara discovery learning. Dasar pemikiran J. Bruner dengan apa yang disebutnya Discovery Learning adalah pemikiran Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara kreatif dalam proses pembelajaran di kelas. Bruner menyatakan siswalah yang mengorganisasi materi pembelajaran yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir. Penerapan teori Bruner yang terkenal, yaitu kurikulum spiral yang artinya konsep sebelumnya merupakan fondasi bagi keberhasilan penguasaan materi selanjutnya.
Bruner berpikir bagaimana program pembelajaran dapat dikembangkan secara lebih efektif bagi anak sesuai dengan tingkat kemajuan anak. Tingkat-tingkat kemajuan anak dari enactive (tingkat representasi sensori) ke tingkat iconic (representasi kongkrit) dan akhirnya ke tingkat symbolik (representasi abstrak).
2.3 Sintaks
Menurut beberapa ahli yaitu Krulik dan Rudnick, Polya, dan John Dewey bahwa dalam memecahkan masalah dalam matematika terdapat beberapa fase yaitu :
Fase-Fase dalam Pemecahan Masalah
Krulik dan Rudnick (1995) Polya (1973) John Dewey (dalam Swander,1985)
1. Membaca dan Memikirkan (Read and Think) 1. Memahami Masalah (Understanding the Problem) 1. Pengenalan (Recognition)
2. Mengeksplorasi dan Merencanakan (Explore and Plan) 2. Membuat rencana penyelesaian (Devising a Plan) 2. Pendefinisian (Definition)
3. Memilih suatu strategi (Select a strategy) 3. Melaksanakan rencana penyelesaian (Carrying Out the Plan) 3. Perumusan (Formulation)
4. Menemukan suatu jawaban (Find an answer) 4. Menafsirkan kembali hasilnya (Looking Back) 4. Mencobakan (Test)
5. Meninjau kembali dan mendiskusikan (Reflect and extend) 5. Evaluasi (Evaluation)
Dari ketiga fase yang dikemukakan oleh ketiga ahli tersebut fase yang dikemukakan Polya yang paling populer digunakan dalam memecahkan masalah matematika.
Sintak model pembelajaran pemecahan masalah matematika yang didasari dari fase-fase Polya untuk meningkatkan penalaran siswa dalam pemecahan masalah matematika terdiri dari empat tahap sebagai berikut :
• Tahap I : Pengantar
Aktivitas guru pada tahap ini berupa penyampaian indikator pencapaian kompetensi dasar, memotivasi siswa agar lebih aktif dalam pembelajaran dan menyampaikan hal-hal yang terkait dengan perangkat pembelajaran yang akan mendukung proses pembelajaran seperti buku siswa dan LKS.
• Tahap II : Memberikan Contoh Memecahkan Masalah Matematika
Aktivitas guru pada tahap ini adalah memberikan contoh pada siswa bagaimana cara dalam memecahkan masalah matematika berdasarkan fase-fase Polya.
• Tahap III : Latihan Memecahkan Masalah Matematika
Aktivitas guru pada tahap ini adalah meminta siswa untuk aktif dalam memecahkan masalah-masalah matematika yang telah diberikan berdasarkan fase-fase Polya. Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil dan aktivitas pembelajaran didominasi oleh aktivitas siswa. Langkah-langkah pendekatan problem solving dalam pembelajaran matematika, yaitu :
1. Memahami masalah
Dalam hal ini, siswa harus dapat menentukan dengan jeli apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan untuk memecahkan suatu masalah. Jika ada hal-hal yang penting hendaknya dicatat di dalam buku untuk mengantisipasi jikalau suatu saat lupa.
2. Merencanakan masalah
Dalam pembelajaran pemecahan masalah, siswa di kondisikan untuk memiliki pengalaman menerapkan berbagai macam strategi atau metode pemecahan masalah. Diawali dari menentukan strategi pemecahan masalah. Strategi yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah matematika cukup banyak dan bervariasi seperti diantaranya: membuat gambar atau diagram, menentukan pola, melakukan eksperimen, coba-coba, menyederhanakan masalah, dll.
3. Menyelesaikan masalah sesuai rencana langkah kedua
Proses inti dari pemecahan masalah adalah melaksanakan rencana pemecahan masalah yang telah dibuat. Pada tahap ini siswa perlu mengecek langkah proses pemecahan masalah, apakah masing-masing langkah sudah benar.
4. Memeriksa kembali hasil yang diperoleh
Setelah mendapatkan jawaban dari suatu masalah, pengecekan atau melihat kembali jawaban adalah sesuatu yang sangat penting. Apakah penyelesaian sudah benar? Apakah sudah lengkap? Apakah sudah sesuai dengan langkah-langkah yang seharusnya? Kadang-kadang masih diperlukan tafsiran lebih lanjut dari jawaban yang telah di peroleh.
• Tahap IV : Penutup
Aktivitas guru pada tahap ini merangkum bersama siswa bahan ajar yang telah diajarkan dan memberikan tugas kepada siswa.
2.4 Implementasi
Contoh implementasi model pembelajaran pemecahan masalah terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut :
Tahap I : Pengantar
a. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran.
b. Siswa diberi motivasi agar aktif dalam pembelajaran
Tahap II : Memberikan Contoh Memecahkan Masalah Matematika
a. Guru memberikan gambaran dan penjelasan mengenai metode pemecahan masalah dan langkah-langkah dalam memecahkan masalah.
Tahap III : Latihan Memecahkan Masalah Matematika
a. Guru mengkoordinir siswa dalam pembentukan kelompok-kelompok kecil.
b. Guru membagikan LKS (terlampir) kepada siswa
c. Siswa mengerjakan LKS secara berkelompok dengan mengamati dan memahami masalah terlebih dahulu.
d. Siswa berdiskusi dengan kelompoknya dan siswa mencoba memahami permasalahan secara umum dan mengidentifikasi masalah.
e. Siswa mencari dan merencanakan strategi penyelesaian masalah yang mungkin.
f. Setelah siswa berdiskusi dalam menentukan strategi yang dipilih, siswa melaksanakan rencana penyelesaian.
g. Siswa mencocokkan kembali hasil yang telah didapat.
h. Guru memantau dan membimbng siswa dalam mengerjakan tugas.
i. Guru meminta salah satu kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok mereka di depan kelas
Tahap IV : Penutup
a. Merangkum dan menyimpulkan materi pembelajaran yang telah dilaksanakan.
b. Memberikan tugas untuk siswa.
2.5 Situasi Ideal, Kelebihan dan Kekurangan
2.5.1. Situasi Ideal
Model pembelajaran problem solving menuntut siswa untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan baru mereka dengan informasi atau pengetahuan mereka sebelumnya. Oleh karena itu, model pembelajaran problem solving sangat tepat untuk materi yang bersifat familiar dengan siswa atau akrab dengan kehidupan siswa. Pembelajaran problem solving siswa harus ditantang dengan permasalahan yang dalam penyelesaiannya mengaitkan beberapa konsep terdahulu yang sudah dipelajari sehingga penguatan konsep yang telah dikuasai siswa dapat dipertahankan.
Soal yang diberikan haruslah berupa soal yang memerlukan penalaran, karena soal-soal yang memiliki jawaban secara gamblang tidak dapat dikatakan sebagai suatu masalah.
2.5.2. Kelebihan
Kelebihan dari metode problem solving sebagai berikut:
a. Metode ini membuat pendidikan disekolah menjadi lebih relevan dengan kehidupan.
b. Dapat membiasakan para siswa menghadapi permasalahan di dalam kehidupan.
c. Merangsang pengembangan berfikir siswa secara kreatif dan menyeluruh
d. Melatih siswa untuk mengidentifikasikan dan melakukan penyelidikan
e. Memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalm dunia nyata.
2.5.3. Kekurangan
Kelemahan Metode Problem Solving
a. Manakala siswa tidak memiliki minat dan tidak memiliki keercayaan bahwa masalah yang di pelajari sulit dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba
b. Mengubah kebiasaan siswa belajar dari mendengarkan dan menerima informasi dari guru menjadi belajar dengan banyak berfikir memecahkan permasalahan sendiri atau kelompok kadang memerlukan berbagai sumber belajar merupakan kesulitan tersendiri bagi siswa
c. Proses belajar mengajar dengan menggunakan metode ini sering memerlukan waktu yang cukup banyak.
2.6 Upaya Optimalisasi
Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang paling penting dalam pendidikan. Banyak hal yang harus diperhatikan dalam proses pembelajaran agar proses pembelajaran ini berjalan secara optimal. Dengan mempertimbangkan dan menekan beberapa hal yang dapat menghambat proses pembelajaran itu sendiri. Ada beberapa hal yang dapat menghambat terjadinya proses pembelajaran di kelas yang antara lain sebagai berikut: (1) Kurangnya pemahaman guru mengenai penerapan model pembelajaran heuristik; (2) Jumlah siswa dalam kelas terlalu banyak; (3) Kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran; (4) Terbatasnya pengetahuan siswa akan sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran.
Agar pelaksanaan pembelajaran ini berjalan baik, khususnya dalam stategi pembelajaran Problem solving dapat berjalan dengan baik, upaya yang harus dilakukan adalah sebagai berikut. (1) Guru senantiasa mempelajari teknik-teknik penerapan model pembelajaran problem solving di kelas dan menyesuaikan dengan materi yang akan diajarkan, selain itu guru juga harus menyesuaikan dengan kondisi dalam kelas. Artinya, guru harus mampu menganalisis model pembelajaran problem solving dengan model pembelajaran lain agar model pembelajaran tersebut dapat menyesuaikan dengan keadaan siswa di kelas . (2) Pembagian jumlah siswa yang merata, dalam artian tiap kelas merupakan kelas heterogen. (3) Meningkatkan sarana pendukung pembelajaran terutama buku sumber. (4) Mensosialisasikan kepada siswa akan pentingnya sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Model pembelajaran Problem Solving merupakan salah satu model pembelajaran yang melibatkan aktifitas dan kreativitas siswa dalam proses pembelajarannya. Model pembelajaran Problem Solving merupakan proses pembelajaran yang menuntut siswa untuk menyelesaikan masalah, yang bisa dibuat sendiri oleh pendidik ataupun fakta nyata yang ada di lingkungan kemudian dipecahkan dalam pembelajaran di kelas, dengan berbagai cara dan teknik. Problem solving ini memberikan tekanan pada terselesaikannya suatu masalah secara menalar.
Landasan teori dari model pembelajaran problem solving, yaitu (1) konstruktivisme, dimana siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang dimilikinya. (2) kognitivisme yang lebih mengutamakan proses pembelajaran daripada hasil belajar. (3) Belajar bermakna Ausubel dimana proses belajar terjadi dengan mengasimilasikan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan pengetahuan baru. (4) penemuan (discovery learning) Bruner dengan penerapan kurikulum spiral yang artinya konsep sebelumnya merupakan fondasi bagi keberhasilan penguasaan materi selanjutnya.
Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran problem solving, yaitu Memahami masalah, merencanakan masalah, menyelesaikan masalah, dan memeriksa kembali hasil yang diperoleh.
Salah satu kelebihan dari problem solving, yaitu pembelajaran lebih relevan dengan kehidupan. Sedangkan kelemahan dari problem solving, yaitu memerlukan waktu yang banyak.
3.2 Rekomendasi
Diharapkan guru benar-benar memahami model pembelajaran problem solving dengan baik. Hal ini bertujuan agar guru dapat menerapkannya secara efektif dan efisien, serta pelaksanaannya dapat berjalan lebih maksimal. Sebelum pembelajaran sebaiknya siswa diberi tugas untuk membaca materi dan membuat alat peraga yang dibutuhkan di rumah, supaya efisien waktu pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Hal ini juga bertujuan agar siswa telah memiliki konsep sebelum pembelajaran problem solving ini dibelajarkan.
DAFTAR RUJUKAN
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Ar-Ruzz Media
Eny Susiana. -. Jurnal: IDEAL Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika.
Hamzah, B. Uno. 2008. Model Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
Haryanti. 2010. Skripsi: Penerapan Model Pembelajaran Problem Solving Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Keaktifan Dan Prestasi Belajar Siswa Kelas Vii Mata Pelajaran Ips Terpadu Smp Negeri 2 Jatiyoso Tahun Ajaran 2009/2010. Surakarta.
Kokom Komariah. 2011. Penerapan Metode Pembelajaran Problem Solving Model Polya Untuk Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah Bagi Siswa Kelas Ix J Di Smpn 3 Cimahi. Yogyakarta.
Komariah. 2007. Jurnal: Model Pemecahan Masalah Melalui Pendekatan Realistik Pada Pembelajaran Matematika SD.
Nurmaningsih, dkk. -. Jurnal: Eksperimentasi Model Pembelajaran Problem Solving Dan Problem Posing Berbantuan Alat Peraga Ditinjau Dari Kreativitas Belajar Siswa. Pontianak.
Pait, I Made. 2012. Artikel: Pengaruh Model Pembelajaran Problem Solving Dan Penalaran Formal Terhadap Prestasi Belajar Matematika Bagi Siswa Sekolah Menengah Pertama. Singaraja.
Sukayasa. 2012. Jurnal: Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Fase-Fase Polya untuk Meningkatkan Kompetensi Penalaran Siswa SMP dalam Memecahkan Masalah Matematika.
Tim MKPBM Jurusan Pendidikan Matematika UPI, (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung : JICA UPI Bandung.
LEMBAR KERJA SISWA
1. Sebuah kebun akan dibangun dan diperkirakan selesai dalam 14 hari dengan 10 orang pekerja. Setelah dikerjakan selama 5 hari, pekerjaan dihentikan selama 3 hari karena suatu hal. Jika kemampuan setiap pekerja sama dan agar kebun tersebut terselesaikan dengan tepat waktu, berapakah banyak pekerja tambahan yang diperlukan?
Langkah-langkah penyelesaian :
1. Memahami Masalah
Dari cerita tersebut permasalahan termasuk perbandingan berbalik nilai
Hal yang diketahui adalah jumlah pekerja adalah 10 orang dengan kesanggupan waktu 14 hari. Pekerjaan telah dilaksanakan 5 hari dan waktu yang tersisa 14-5=9 hari. Karena pekerjaan terhenti selama 3 hari waktu yang tersisa adalah 9-3=6 hari. Karena seharusnya diselesaikan dalam 9 hari lagi oleh 10 pekerja dan sekarang tersisa 6 hari saja. Jadi diperlukan pekerja tambahan agar pekerjaan terselesaikan tepat waktu
2. Rencana Penyelesaian Masalah
Dalam hal ini menerapkan pola penyelesaian perbandingan berbalik nilai
3. Melaksanakan Rencana Penyelesaian
Misalkan banyak pekerja yang diharapkan adalah x
Penyelesaian lebih lanjut dikaitkan dengan sistem persamaan linear satu variabel dalam bentuk pecahan dengan fokus menemukan nilai x
Total pekerjaaan yang diperlukan dalam menyelesaikan pekerjaan tepat waktu adalah 42 orang
Jadi, pekerja tambahan yang dibutuhkan adalah 42-28=14 orang
4. Meninjau Kembali
Proses konfirmasi dengan mensubstitusikan x dengan 42 pada persamaan
12 x 28 = 42 x 8 menghasilkan pernyataan benar.
STAD
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Rasional
Kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, membuat bangsa Indonesia terlena. Sudah terlalu lama kita dininabobokan oleh anugerah alam, dan baru tersadar ketika SDA yang dimiliki sudah semakin menipis. Pembangunan ekonomi Indonesia ke depan tentu tidak akan sukses jika hanya bergantung pada kekayaan alam semata. Perlu peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan mengembangkan teknologi.
Dalam konteks seperti itu, revolusi mental merupakan kebutuhan penting dan mendesak bagi manusia Indonesia. "Mengingat, generasi penerus bangsa perlu disiapkan dalam menghadapi tantangan zaman," ujar dosen Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Iman Sugema di Hopetown Resto, Permata Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (5/6/2014). Ada kebutuhan mendasar bagi Indonesia untuk segera mempercepat pembangunan manusia (SDM), agar tidak semakin tertinggal dengan negara lain. Saat ini Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada peringkat ke-121 dari 187 negara. Kita berada jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura (peringkat 18), Malaysia (peringkat 64), Thailand (peringkat 103), dan Filipina (peringkat 114). Demikian pula jika kita melihat struktur angkatan kerja Indonesia. Sebanyak 55,3 juta (46,8 persen) lulusan Sekolah Dasar (SD). "Tidak lama lagi kita akan menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Persaingan dalam pasar tenaga kerja menjadi lebih luas dan menuntut kualitas SDM yang prima dan siap bersaing," ujar Iman (Sindonews.com, 5 Juni 2014)
Berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF, 2014), peringkat daya saing Indonesia berada pada peringkat 38 dan masih lebih rendah bila dibandingkan dengan beberpa negara tetangga seperti Singapura (peringkat 2), Malaysia (peringkat 24), dan Thailand (peringkat 37). Jika kondisi tersebut tidak segera diperbaiki, tentu potensi yang dimiliki bangsa ini justru akan dimanfaatkan oleh negara lain. Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi surplus produksi negara-negara lain dan akan memicu neraca perdagangan Indonesia menjadi semakin terpuruk (Sindonews.com, 5 Juni 2014).
Sebagai ratu dari ilmu pengetahuan, matematika memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas SDM. tanpa kita sadari setiap hal yang kita lakukan seperti berbelanja, membangun gedung, berjalan, dan lain sebagainya, tidak akan pernah lepas dari ilmu matematika. Jadi pada dasarnya matematika merupakan pelengkap dari semua ilmu pengetahuan yang ada, dan kualitas SDM di suatu negara sangat dipengaruhi oleh kualitas guruan matematikanya.
Di Indonesia kualitas guruan matematika masih sangat rendah. Berdasarkan data dari Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada 1999, 2003, 2007, dan 2011, Indonesia masih tertinggal jauh dari negara tetangga Singapura, Malaysia, dan Thailand. Pada 2011, Singapura menempati ranking 2, Malaysia 26, Thailand 28, sedangkan Indonesia berada di 42 (Okezone.com, 12 Nopember 2013).
Beberapa hal yang dapat menyebabkan rendahnya kualitas guruan matematika di Indonesia adalah pertama, minimnya strategi pembelajaran matematika yang dimiliki oleh guru sehingga pembelajaran terkesan monoton, hal ini akan mengakibatkan siswa merasa bosan dan sulit untuk menerima pembelajaran. kedua karena matematika merupakan ilmu yang bersifat abstrak sehingga tidak semua siswa mampu memahami materi pembelajaran dengan baik sehingga memerlukan bantuan dari orang lain untuk memahami materi tersebut.
Berdasarkan dua permasalahan di atas, terdapat dua hal yang bisa menjadi pemecahan masalah dari masalah tersebut. Adapun hal yang bisa dilakukan untuk menanggulangi permasalahan tersebut adalah pertama kesadaran guru, guru harus menyadari bahwa kemonotonan dalam pembelajaran mengakibatkan siswa merasa bosan dan sebagai seorang guru sudah sepantasnya guru menjalankan perannya sebagai fasilitator dan mediator dalam pembelajaran khususnya dalam memvariasikan strategi pembelajaran. Kedua, karena tidak semua siswa dapat memahami suatu materi pembelajaran secara individu, maka guru dapat menggunakan model pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan keberhasilan suatu pembelajaran.
Salah satu model pembelajaran kooperatif yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika adalah model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams-Achievement Divisions (STAD). Menurut Slavin, Student Teams Achievement Divisions (STAD) merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang paling sederhana dan merupakan model pembelajaran yang paling baik untuk permulaan bagi guru yang baru menggunakan model pembelajaran kooperatif (Endah Bekti Wahyuli, 2011:5). Dalam STAD, siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan empat atau lima siswa secara heterogen. Guru menjelaskan materi secara singkat dan kemudian siswa di dalam kelompok itu memastikan bahwa anggota kelompoknya telah memahami materi tersebut. Setelah itu, semua siswa menjalani kuis secara individu tentang materi yang sudah dipelajari. Skor hasil kuis siswa dibandingkan dengan skor awal siswa yang kemudian akan diberikan skor sesuai dengan skor peningkatan yang telah diperoleh siswa. Skor tersebut kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan nilai kelompok, dan kelompok yang bisa mencapai kriteria tertentu akan mendapatkan penghargaan.
Berdasarkan kajian di atas maka berikut ini akan dibahas lebih mendalam mengenai Model Pembelajaran Kooperatiff Tipe STAD.
1.2 Rumusan Masalah
Mengacu pada rasional yang telah diuraikan, masalah yang akan dicoba dikaji dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1) Apa landasan filosofis model pembelajaran kooperatif tipe STAD?
2) Apa landasan teoretik model pembelajaran kooperatif tipe STAD?
3) Bagaimana sintaks model pembelajaran kooperatif tipe STAD?
4) Bagaimana implementasi model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran matematika?
5) Bagaimana situasi ideal yang diperlukan untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran matematika?
6) Apa keunggulan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran matematika?
7) Apa kelemahan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran matematika?
8) Upaya apa yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil belajar pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran matematika?
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1) Mengkaji landasan filosofis model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
2) Mengkaji landasan teoretik model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
3) Merumuskan sintaks model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
4) Menyusun rencana pembelajaran dengan mengimplementasikan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran matematika.
5) Mengidentifikasi situasi ideal yang diperlukan untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran matematika.
6) Mengidentifikasi keunggulan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran matematika.
7) Mengidentifikasi kelemahan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran matematika.
8) Merumuskan upaya yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil belajar pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran matematika.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Filosofis
Menurut Ina (dalam Widya Wati, 2010:15): “Model cooperative learning beranjak dari dasar pemikiran getting better together yang menekankan pada pemberian kesempatan belajar yang lebih luas dan suasana yang kondusif kepada siswa untuk memperoleh, dan mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai, serta keterampilan-keterampilan sosial yang bermanfaat bagi kehidupannya di masyarakat”.
Melalui model cooperative learning, siswa bukan hanya belajar dan menerima apa yang disajikan oleh guru dalam proses belajar mengajar, melainkan bisa juga belajar dari siswa lainnya, dan sekaligus mempunyai kesempatan untuk membelajarkan siswa yang lain. Proses pembelajaran dengan model cooperative learning ini mampu merangsang dan menggugah potensi siswa secara optimal dalam suasana belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 2 sampai 6 orang siswa.
Pada saat siswa belajar dalam kelompok akan berkembang suasana belajar yang terbuka dalam dimensi kesejawatan, karena pada saat itu akan terjadi proses belajar kolaboratif dalam hubungan pribadi yang saling membutuhkan. Pada saat itu juga siswa yang belajar dalam kelompok kecil akan tumbuh dan berkembang pola belajar tutor sebaya (pear group) dan belajar secara bekerjasama (cooperative).
Sebagai dampak isntruksional dalam model cooperative learning adalah pemahaman, keterampilan berpikir kritis dan kreatif, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi, keterampilan mengunakan pengetahuan secara bermakna, proses pembelajaran yang efektif. Sedangkan dampak pengiringnya adalah menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam mengatasi keragaman siswa, otonomi dan kebebasan siswa, kebebasan sebagai siswa, penumbuhan aspek sosial, interpersonal, dan intrapersonal.
Landasan filosofis untuk Model Pembelajaran Kooperatif adalah sebagai berikut :
1. Saling ketergantungan positif.
Keberhasilan kelompok sangat tergantung pada usaha setiap anggotanya.
2. Tanggung jawab perseorangan.
Unsur ini merupakan akibat langsung dari unsur yang pertama. Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran cooperative learning, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik.
3. Tatap muka.
Dalam pembelajaran cooperative learning setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.
4. Komunikasi antar anggota.
Unsur ini juga menghendaki agar para pembejar dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi
5. Evaluasi proses kelompok.
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif. Waktu evaluasi ini tidak perlu diadakan setiap kali ada kerja kelompok, melainkan bisa diadakan selang beberapa waktu.
Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok belajar yang di dalamnya menekankan kerjasama (Anita Lee, 2007: 29). Dalam hal ini tiga konsep utama yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif menurut Slavin (1995 : 6) yaitu ”penghargaan kelompok, pertanggung jawaban individu, dan kesempatan yang sama untuk berhasil”.
Belajar kooperatif lebih dari belajar kelompok. Belajar kooperatif memupuk pembentukan kelompok kerja dengan lingkungan positif, meniadakan persaingan individu, dan isolasi dilingkungan akademik. Pada pembelajaran kooperatif menggunakan kelompok-kelompok kecil sehingga terjadi interaksi antara siswa, mereka saling bertukar ide dalam memecahkan masalah, setiap anggota memiliki peran, dan siswa lemah dapat bertanya kepada siswa yang pandai.
Model pembelajaran kooperatif yang paling sederhana dan cocok dengan pembelajaran matematika adalah model pembelajarn kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD). Tipe ini dikembangkan oleh Slavin yang merupakan salah satu tipe kooperatif yang menekankan pada aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal.
Sedangkan landasan filosofis untuk model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah setiap siswa memiliki batasan kemampuan, dan untuk melewati batasan tersebut diperlukan bantuan dari orang lain (guru maupun teman sebaya dalam pembelajaran di kelas).
2.2 Landasan Teoritik
Teori yang melandasi model pembelajaran kooperatif, yaitu: teori belajar konstruktivisme, teori Piaget, teori Vygotsky, teori Bruner dan teori Ausubel.
a. Teori Belajar Konstruktivis
Belajar merupakan suatu proses berubah perilaku yang diakibatkan oleh pengalaman yang didapat oleh seseorang. Tujuan pengajaran yang dilaksanakan disekolah menitik beratkan pada perilaku siswa atau perbuatan (performance) sebagai suatu jenis out put yang terdapat pada siswa.
Konstruktivisme adalah filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Von Glasersfeld, dalam Paul Suparno, 1997). Von Glasersfeld juga menyatakan lebih lanjut bahwa pengetahuan dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu berinteraksi dengan obyek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Struktur konsepsi itu membentuk pengetahuan apabila dapat digunakan dalam menghadapi pengalaman-pengalaman mereka ataupun dalam menghadapi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan konsepsi tersebut. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui subyek. Subyek membentuk skema kognitif, katagori, konsep dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
Di dalam proses konstruksi itu diperlukan kemampuan-kemampuan seperti: (1) kemampuan mengingat; (2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai kesamaan dan perbedaan; dan (3) kemampuan-kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari pada pengalaman yang lain.
Belajar konstruktif adalah merupakan proses atau metode dalam mengaktifkan siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri dari teks, dialog, penglaman fisis, dan lain-lain. Teori konstruktivisme menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan menstranformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya bila ada ketidaksuaian.
Ada tiga ciri dari belajar konstuktivis, yaitu siswa yang aktif dalam membangun pengetahuannya, siswa mencari sendiri arti dari apa yang mereka pelajari, dan siswa sendiri yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya.
Menurut Glasersfeld (1988) pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad 20 dalam tulisan Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Piaget. Namun bila ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok konstruktivistik sebenarnya telah dimulai oleh Vico, seorang epistemolog dari Italia.
Pandangan konstruktivistik dilandasi oleh beberapa teori, seperti teori Piaget tentang skema, asimilasi, akomodasi; konsep Zone of Proximal Development (ZPD) dari Vygotsky; teori Bruner tentang discovery learning; dan teori Ausubel tentang belajar bermakna.
b. Teori Piaget
Skema adalah suatu struktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Jean Piaget menyebutkan bahwa struktur kognitif sebagai Skemata (Schemas), yaitu kumpulan dari skema-skema. Seorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata ini.
Skemata berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya, sehingga individu yang lebih dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap dari pada ketika ia masih kecil.
Skemata akan beradaptasi dan berubah secara terus menerus selama perkembangan mental anak melalui adaptasi dengan lingkungannya. Skemata bukanlah benda nyata yang dapat dilihat, melainkan suatu rangkaian proses dalam sistem kesadaran orang, maka tidak memiliki bentuk fisik dan tidak dapat dilihat. Skemata adalah hasil kesimpulan atau bentukan mental, konstruksi hipotesis, seperti intelek, kreativitas, kemampuan, dan naluri (Wadsworth, 1989).
Skemata membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam pikiran anak. Makin baik kualitas skema ini, makin baik pulalah pola penalaran anak tersebut. Proses terjadinya adaptasi dari skemata yang telah terbentuk dengan stimulus baru dilakukan dengan dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi.
1. Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam skemata atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Asimilasi tidak menyebabkan perubahan skema, melainkan memperkembangkan skema.
2. Akomodasi adalah (a) membentuk skema baru yang dapat cocok dengan rangsangan yang baru atau (b) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
Proses asimilasi dan akomodasi perlu untuk perkembangan kognitif seseorang. Dalam perkembangan intelek seseorang diperlukan keseimbangan antara asimilasi dengan akomodasi. Proses ini disebut equilibrium, yaitu pengaturan diri secara mekanis untuk mengatur keseimbangan proses asimilasi dan akomodasi. Disequilibrium adalah keadaan tidak seimbang antara asimilasi dan akomodasi. Equilibration adalah proses dari disequilibrium ke equilibrium. Proses tersebut berjalan terus dalam diri individu melalui asimilasi dan akomodasi. Equilibration membuat seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya (skema). Bila terjadi ketidakseimbangan, maka seseorang terpacu untuk mencari keseimbangan dengan jalan asimilasi atau akomodasi.
Perkembangan kognitif seseorang akan melalui beberapa tahap sebagai berikut.
1. Tahap Sensori Motor (sejak lahir sampai dengan 2 tahun)
Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui perbuatan fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra).
2. Tahap Pra Operasi (2 tahun sampai dengan 7 tahun)
Ini merupakan tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Operasi konkrit adalah berupa tindakan-tindakan kognitif seperti mengklasifikasikan sekelompok objek, menata letak benda berdasarkan urutan tertentu, dan membilang.
3. Tahap Operasi Konkrit (7 tahun sampai dengan 11 tahun)
Umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami konsep kekekalan, kemampuan mengklasifikasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara objektif, dan mampu berfikir reversible.
4. Tahap Operasi Formal (11 tahun dan seterusnya)
Tahap ini merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas. Anak pada tahap inis udah mampu malakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek atau peristiwanya langsung, dengan hanya menggunakan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi dan generalisasi.
Selain itu, pada tahap ini Piaget mengidentifikasi adanya enam jenis konsep yang berkembang, yaitu:
• Kekekalan banyak (6 – 7 tahun)
• Kekekalan materi (7 – 8 tahun)
• Kekekalan panjang (7 – 8 tahun)
• Kekekalan luas (8 – 9 tahun)
• Kekekalan berat (9 – 10 tahun)
• Kekekalan volume (11 – 12 tahun)
Kaitan antara teori belajar Piaget dengan penggunaan media pembelajaran matematika ini adalah pada tahap operasi konkrit dimana siswa tidak akan bisa memahami konsep tanpa benda-benda konkrit.
c. Teori Pembelajaran Sosial Vygotsky
Piaget dan Vygotsky merupakan dua tokoh utama konstruktivisme. Kedua tokoh ini memandang bahwa peningkatan pengetahuan merupakan hasil konstruksi pembelajaran dari pemelajar, bukan sesuatu yang “disuapkan” dari orang lain. Kedua tokoh ini juga berpendapat bahwa belajar bukan semata pengaruh dari luar, tetapi ada juga kekuatan atau potensi dari dalam individu yang belajar.
Pemikiran Vygotsky sama dengan pemikiran Piaget bahwa anak membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Vygotsky yakin bahwa perkembangan tergantung pada faktor biologis yang menentukan fungsi-fungsi elementer memori, atensi, persepsi dan stimulus respon, serta tergantung pada faktor sosial yang sangat penting artinya bagi perkembangan fungsi mental lebih tinggi untuk perkembangan konsep, penalaran logis, dan pengambilan keputusan.
Perbedaan pandangan antara Piaget dan Vygotsky antara lain; 1) Piaget memandang pentahapan kognitif anak berdasarkan umur yang kaku, semestara Vygotsky menyatakan bahwa dalam setiap tahapan itu terdapat perbedaan kemampuan anak, 2) Piaget lebih menekankan pada perkembangan kognitif anak sebagai manusia individu yang mandiri, sementara Vygotsky mementingkan perkembangan kognitif anak sebagai makhluk sosial, dan merupakan bagian integral dari masyarakat, dan 3) Piaget menamai potensi diri anak sebagai skemata, sementara Vygotsky menyebutnya sebagai “Zone of Proximal Development”.
Menurut Vygotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menagani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas itu masih dalam zone of proximal development anak yaitu daerah tingkat perkembangan sedikit diatas perkembangan anak saat itu. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan dan kerja sama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap kedalam individu tersebut.
Vygotsky (1978) mendefinisikan ZPD sebagai jarak antara “tingkat perkembangan aktual anak sebagaimana ditentukan oleh kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial sebagaimana ditentukan oleh pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau kerjasama dengan sebaya yang mampu”. Oleh karena itu ZPD, merupakan perangkat analitik yang diperlukan untuk merencanakan pembelajaran dan pembelajaran yang berhasil harus menciptakan ZPD yang merangsang serangkaian proses perkembangan batiniah.
d. Teori Penemuan Jerome Bruner
Dasar pemikiran J Bruner dengan apa yang disebutnya Discovery Learning adalah pemikiran Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara kreatif dalam proses pembelajaran di kelas. Bruner (1973) membedakan dua tipe model mengajar, yaitu model expository dan model hypothetical (atau discovery learning). Dalam Discovery Learning J Bruner, siswalah yang mengorganisasi materi pembelajaran yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir. Bruner berpikir bagaimana program pembelajaran dapat dikembangkan secara lebih efektif bagi anak yang sesuai dengan tingkat kemajuan anak. Tingkat-tingkat kemajuan anak dari enactive (tingkat representasi sensory) ke tingkat iconic (representasi kongkrit) dan akhirnya ke tingkat symbolik (representasi abstrak).
Adapun tahap-tahap penerapan belajar penemuan Bruner adalah: (1), Stimulus (pemberian perangsang); (2), Problem Statement (mengidentifikasi masalah); (3), Data collection (pengumpulan data); (4), Data Prosessing (pengolahan data); (5), Verifikasi; dan (6), Generalisasi.
Soemanto (2006) menyatakan ada empat aksi dalam Discovery Learning J Bruner yaitu: (1) Pertama, adanya suatu kenaikan dalam potensi intelektual; (2) Kedua, ganjaran intrisik lebih ditekankan dari pada ekstrinsik. (3) Ketiga, murid belajar bagaimana menemukan berarti ia menguasai discovery learning; dan (4) Keempat, murid lebih senang mengingat-ingat informasi.
Discovery learning merupakan metode pembelajaran dan sekaligus sebagai tujuan pendidikan. Sebagai metode, discovery learning merupakan penyediaan situasi bagi siswa tanpa mengungkapkan apa yang sudah diketahui guru tentang situasi tersebut. Asumsinya bahwa dengan bantuan minimal dari guru, siswa dapat mempelajari lebih banyak hal bila ia “menemukan” sendiri pelajaran yang dipelajarinya. Sebagai tujuan pendidikan, discovery learning merupakan sikap, strategi dan keterampilan yang memungkinkan individu untuk mengenali dan memecahkan masalah, sehingga membuatnya lebih memiliki kemampuan dalam menghadapi tuntutan-tuntutan kehidupan.
Ada dua tipe discovery, yaitu; unstructured discovery dan guided discovery. Unstructured discovery timbul dalam setting alami dimana siswa mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri, seperti seorang ilmuwan yang melakukan penemuan unik dalam proyek penelitian, sedangkan guided discovery timbul manakala guru memberikan gambaran tentang tujuan yang hendak dicapai, menyusun informasi sehingga pola-polanya dapat ditemukan, dan membimbing siswa ke arah tujuan.
d. Teori Ausubel
Menurut Ausubel, Novak, and Hanesian (1978), belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua demensi. Dimensi pertama, berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa, melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua, menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengkaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif dalam hal ini ialah fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dimiliki oleh siswa.
Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada siswa baik dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final, maupun dengan bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Pada tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengkaitkan informasi itu pada pengetahuan (berupa fakta, konsep, dan generalisasi) yang telah dimilikinya; dalam hal ini terjadi “belajar bermakna”. Akan tetapi siswa dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru itu, tanpa menghubungkannya pada pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitifnya; dalam hal ini terjadi “belajar hafalan”.
Kedua dimensi, yaitu penerimaan/penemuan dan hafalan/bermakna, tidak menunjukkan dikotomi sederhana, melainkan suatu kontinum.
Ausubel menyatakan, bahwa banyak ahli pendidikan menyamakan belajar penerimaan dengan belajar hafalan, sebab mereka berpendapat bahwa belajar bermakna hanya terjadi bila siswa menemukan sendiri pengetahuannya. Tetapi bila diperhatikan berikut
Belajar penerimaan dapat dibuat bermakna, yaitu dengan cara menjelaskan hubungan antara konsep-konsep. Sedangkan belajar penemuan rendah kebermaknaannya, dan merupakan belajar hafalan, yakni memecahkan suatu masalah hanya dengan coba-coba seperti menebak suatu teka-teki. Belajar penemuan yang bermakna sekali hanyalah terjadi pada penelitian yang bersifat ilmiah.
Belajar bermakna merupakan suatu proses mengkaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Meskipun kita tidak mengetahui mekanisme biologi tentang memori atau disimpannya pengetahuan, kita mengetahui bahwa informasi disimpan di daerah-daerah tertentu dalam otak. Banyak sel otak yang terlibat dalam penyimpanan pengetahuan itu. Belajar menghasilkan perubahan-perubahan dalam sel-sel otak, terutama sel-sel yang telah menyimpan informasi yang mirip dengan informasi yang sedang dipelajari.
Dasar-dasar biologis belajar bermakna menyangkut perubahan-perubahan dalam jumlah atau ciri-ciri neuron yang berpartisipasi dalam belajar bermakna. Peristiwa psikologi tentang belajar bermakna menyangkut asimilasi informasi baru pada pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitif seseorang. Jadi dalam belajar bermakna informasi baru diasimilasikan pada subsumer-subsumer relevan yang telah ada dalam struktur kognitif. Belajar bermakna yang baru berakibat pertumbuhan dan modifikasi subsumer-subsumer yang telah ada itu.
2.3 Sintaks
Adapun sintaks dari Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD adalah sebagai berikut.
1. Persiapan dan Penyampaian Materi
Guru menyiapkan dan menyampaikan materi pembelajaran sesuai dengan kompetensi dasar yang ada. Dalam penyampaian materi, guru dapat menggunakan berbagai pilihan teknik pembelajaran, seperti presentasi, metode penemuan terbimbing dan lain sebagainya.
2. Tes/Kuis Awal
Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara individu sehingga akan diperoleh nilai awal kemampuan siswa.
3. Membentuk Kelompok
Guru membentuk beberapa kelompok yang keanggotaanya bersifat heterogen. Setiap kelompok terdiri dari 4-5 anggota, dimana anggota kelompok memiliki kemampuan akademik yang berbeda-beda (tinggi, sedang, dan rendah). Jika mungkin, anggota kelompok berasal dari budaya atau suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan gender.
4. Diskusi Kelompok
Guru memberikan tugas kepada kelompok berkaitan dengan materi yang telah diberikan. Pada tahap ini tiap-tiap kelompok mendiskusikan materi yang diberikan oleh guru secara bersama-sama. Adapun tujuan dari pemberian tugas dan diskusi kelompok ini adalah untuk memastikan bahwa setiap anggota kelompok dapat menguasai konsep dan materi pembelajaran.
5. Tes/Kuis Individu Kedua
Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara individu.
6. Evaluasi
Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dibelajarkan.
7. Penghargaan
Guru memberikan penghargaan kepada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individu dari nilai awal ke niali kuis berikutnya.
2.4 Implementasi
Contoh dibawah ini merupakan salah satu implementasi penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan materi Konsep Himpunan.
1. Persiapan dan Penyampaian Materi
Guru menyiapkan materi sebelum memasukin kelas dan menyampaikan materi pembelajaran dengan metode presentasi sebagai awalnya dan dilanjutkan dengan metode penemuan terbimbing mengenai konsep himpunan dalam pemecahan masalah.
2. Tes/Kuis Awal
Guru memberikan tes awal setelah menyampaikan materi pembelajaran mengenai konsep himpunan dalam pemecahan masalah untuk mendapatkan skor dasar atau skor awal.
3. Membentuk Kelompok
Guru menginsformasikan pengelompokan siswa yang telah ditentukan dimana setiap kelompok terdiri dari 4 sampai dengan 5 siswa yang kemampuan akademiknya terdiri dari siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah.
4. Diskusi Kelompok
Guru membagikan bahan diskusi kelompok (biasanya berupa LKS) pada setiap kelompok untuk dikerjakan setiap anggota kelompok tentang materi pembelajaran yang sudah diberikan guru untuk didiskusikan bersama-sama, dan saling bantu-membantu antar anggota lain dalam kelompoknya, sedangkan guru memotivasi, memfasilitasi kerja siswa, membantu siswa yang mengalami kesulitan, dan mengamati kerjasama tiap anggota dalam kelompok belajar. Selanjutnya setelah semua siswa selesai mengerjakan LKSnya masing-masing, perwakilan kelomok atau salah satu siswa ditunjuk untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok dan guru bertindak sebagai fasilitator.
5. Tes/Kuis Individu Kedua
Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara individual.
6. Evaluasi
Guru melakukan evalusi dengan memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dibelajarkan.
7. Penghargaan
Guru memberikan penghargaan kepada kelompok melalui nilai penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan individual dari nilai dasar ke nilai berikutnya setelah mereka melalui kegiatan kelompok.
Penentuan nilai penghargaan kepada kelompok ditentukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
a. menentukan nilai dasar (awal) masing-masing siswa. Nilai dasar (awal) dapat berupa nilai tes/kuis awal atau menggunakan nilai ulangan sebelumnya;
b. menentukan nilai tes/kuis yang telah dilaksanakan setelah siswa bekerja dalam kelompok, misal nilai kuis I, nilai kuis II, atau rata-rata nilai kuis I dan kuis II kepada setiap siswa, yang kita sebut dengan nilai kuis terkini;
c. menentukan nilai peningkatan hasil belajar yang besarnya ditentukan berdasarkan selisih nilai kuis terkini dan nilai dasar (awal) masing-masing siswa dengan menggunakan kriteria berikut.
Kriteria Nilai Peningkatan
Nilai kuis/tes terkini turun lebih dari 10 poin di
bawah nilai awal 5
Nilai kuis/tes terkini turun 1 sampai dengan 10
poin di bawah nilai awal 10
Nilai kuis/tes terkini sama dengan nilai awal
sampai dengan 10 di atas nilai awal 20
Nilai kuis/tes terkini lebih dari 10 di atas nilai
Awal 30
Penghargaan kelompok diberikan berdasarkan rata-rata nilai peningkatan yang diperoleh masing-masing kelompok dengan memberikan predikat cukup, baik, sangat baik, dan sempurna.
Kriteria untuk status kelompok menurut Muslimin dkk, 2000 adalah sebagai berikut.
1. Cukup, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok kurang dari 15
(rata-rata nilai peningkatan kelompok < 15).
2. Baik, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok antara 15 dan 20
(15 < rata-rata nilai peningkatan kelompok < 20)
3. Sangat baik, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok antara 20 dan 25
(20 < rata-rata nilai peningkatan kelompok < 25)
4. Sempurna, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok lebih atau sama dengan 25
(rata-rata nilai peningkatan kelompok > 25)
Contoh Proses Penentuan Penghargaan Kelompok
2.5 Situasi Ideal
Model pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan model kooperatif yang sangat sederhana. Model pembelajaran ini dapat diterapkan untuk materi yang memiliki beberapa sub yang paralel, yakni tidak ada sub yang menjadi prasyarat sub-sub yang lain ataupun materi dengan sub-sub yang saling berkaitan menjadi prasyarat untuk sub selanjutnya. Selian itu, model ini juga dapat diterapkan untuk materi yang memiliki karakteristik open-ended (pemasalahan yang tidak hanya memiliki satu solusi untuk penyelesaiannya) atau close-ended (permasalahan yang memiliki tepat satu solusi untuk permasalahannya). Jadi, model pembelajaran kooperatif tipe STAD ini dapat diterapkan dalam jenis materi apapun karena bersifat sangat sederhana.
Pembagian kelompok dalam model pembelajaran kooperatif tipe STAD dilakukan secara heterogen, terutama heterogen dalam kemampuan akademik. Oleh karena itu, model pembelajaran kooperatif tipe STAD sangat tepat untuk diterapkan pada siswa yang memiliki karakteristik heterogen dari segi kemampuan akademik.
2.6 Keunggulan
Model pembelajaran kooperatif tipe STAD memiliki keunggulan diantaranya dipaparkan sebagai berikut.
1. Membuat daya fikir siswa lebih berkembang dan membuat siswa lebih aktif karena siswa tidak terlalu bergantung pada guru dan proses belajar lebih banyak dilakukan dengan interaksi dalam kelompok.
2. Melatih siswa lebih berani dalam mengemukakan pendapat karena pembelajaran tipe ini didesain untuk meningkatkan partisipasi siswa.
3. Melatih siswa berdiskusi dan bekerja sama dengan temannya karena dalam pembelajarn ini dilakukan dalam kelompok.
4. Siswa dapat memperdalam pemahamannya saat mereka berdiskusi dan bertukar ide dengan anggota kelompok karena dalam kelompok yang heterogen seorang siswa yang memiliki kemampuan tinggi akan dapat memotivasi dan memberikan rangsangan berpikir kepada siswa dengan kemampuan menengah kebawah dalam kelompok.
2.7 Kelemahan
Beberapa kelemahan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD adalah sebagai berikut.
1. Berdasarkan karakteristik STAD jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional (yang hanya penyajian materi dari guru), pembelajaran menggunakan model ini membutuhkan waktu yang relatif lama, dengan memperhatikan tiga langkah STAD yang menguras waktu seperti penyajian materi dari guru, kerja kelompok dan tes individual/kuis.
2. Dalam proses diskusi terdapat peluang anggota kelompok tidak aktif yang hanya mengganggu teman-tamannya yang aktif sehingga selain merugikan dirinya sendiri juga merugikan kelompoknya.
3. Tidak semua guru mau dan mampu menerapkan model ini karena memerlukan kemampuan khusus dari guru. Guru dituntut sebagai fasilitator, mediator, motivator dan evaluator (Isjoni, 2010:62). Dengan asumsi tidak semua guru mampu menjadi fasilitator, mediator, motivator dan evaluator dengan baik.
4. Bila guru tidak merencanakan tugas dengan baik yang mengharuskan setiap anggota kelompok aktif berpartisipasi mengerjakan tugas kelompok, maka kerjasama tidak akan berjalan dengan baik.
2.8 Upaya Optimalisasi
Untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal, maka beberapa kelemahan yang muncul dapat diantisipasi dengan upaya optimalisasi pelaksanaan kegiatannya seperti berikut.
1. Dari kendala yang pertama, penggunaan waktu yang lebih lama dapat sedikit diminimalisir dengan menyediakan lembar kegiatan siswa (LKS) sehingga siswa dapat bekerja secara efektif dan efisien. Sedangkan pembentukan kelompok dan penataan ruang kelas sesuai kelompok yang ada dapat dilakukan sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Dengan demikian, dalam kegiatan pembelajaran tidak ada waktu yang terbuang untuk pembentukan kelompok dan penataan ruang kelas.
2. Dengan asumsi tidak semua guru mampu menjadi fasilitator, mediator, motivator dan evaluator dengan baik. Solusi yang dapat di jalankan adalah meningkatkan mutu guru oleh pemerintah seperti mengadakan kegiatan-kegiatan akademik yang bersifat wajib dan tidak membebankan biaya kepada guru serta melakukan pengawasan rutin secara insindental. Disamping itu, guru sendiri perlu lebih aktif lagi dalam mengembangkan kemampuannya tentang pembelajaran.
3. Kesadaran guru dapat ditanggulangi dengan manajemen yang baik dari pemerintah pada umumnya dan sekolah pada khususnya untuk meningkatan kualitas tenaga guru dan mengadakan pengawasan dan evaluasi yang rutin sehingga guru sebagai ujung tombak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
4. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan ini diharapkan guru dapat membuat perencanaan yang baik. Misalnya, guru dapat merencanakan untuk menyuruh siswa membuat laporan hasil diskusi secara individu, walaupun ini merupakan tanggung jawab kelompok.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Landasan filosofis untuk model pembelajaran kooperatif adalah saling ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antar anggota, dan evaluasi proses kelompok. Sedangkan landasan filosofis untuk model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah setiap siswa memiliki batasan kemampuan, dan untuk melewati batasan tersebut diperlukan bantuan dari orang lain (guru maupun teman sebaya dalam pembelajaran di kelas). Teori yang melandasi model pembelajaran kooperatif, yaitu: teori belajar konstruktivisme. Pandangan konstruktivistik dilandasi oleh teori Piaget tentang skema, asimilasi, akomodasi dan teori Ausubel tentang belajar bermakna. Sintaks dari Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD adalah persiapan dan enyampaian materi, tes/kuis awal, membentuk kelompok, diskusi kelompok, tes/kuis individu kedua, guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara individu, evaluasi, penghargaan. Salah satu implementasi penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam makalah ini digunakan dalam materi Konsep Himpunan. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD ini dapat diterapkan dalam jenis materi apapun karena bersifat sangat sederhana dan pada siswa yang memiliki karakteristik heterogen dari segi kemampuan akademik. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD ini memiliki beberapa kelebihan maupun kelemahan yang dapat diupayakan untuk optimalisasi agar tetap menghasilkan output siswa dengan prestasi yang baik.
3.2 Saran
Berdasarkan simpulan teori dan pembahasan dalam makalah ini adapun beberapa saran yang dapat sampaikan yaitu diharapkan bagi para guru matematika dalam melakukan proses pembelajaran dikelas dapat menggunakan model pembelajaran kooperatif tipr STAD karena model ini sangat sederhana dan menghasilkan prestasi siswa yang baik. Sedangkan, untuk para siswa hendaknya lebih melibatkan diri atau lebih aktif lagi dalam upaya peningkatan prestasi belajarnya. Kerja sama tim yang telah terbentuk lebih ditingkatkan agar prestasi belajar lebih meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Ausubel David P., Joseph D. Novak, and Helen Hanesian, Educational Psychology, New York: Halt, Renehart and Winston, 1978.
Bruner, Jerome S., The Relevance of Education, New York:The Norton Library, 1973
Endah Bekti Wahyuli. (2011). “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams–Achievement Divisions (STAD) untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Matematika pada Materi Persamaan dan Pertidaksamaan Kuadrat pada Peserta Didik Kelas X Teknik Komputer Jaringan (TKJ) di SMK 45 Wonosari”. Yogyakarta.
Isjoni. 2010. Cooperative Learning Efektifitas Pembelajaran Kelompok. Bandung:Alfabeta.
Lie, Anita, 2007. Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo.
news.okezone.com, 12 Nopember 2013, “Ngajar Matematika, Guru Harus Antusias.”
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1997.
Piaget, J., Psychology and Epistemology, New York: The Viking Press: 1971.
sindonews.com, 5 Juni 2014, “Kualitas SDM Rendah, Indonesia Perlu Revolusi Mental.”
Slavin, Robert E. 1995. Cooperative Learning. Theory, Research, and Practice: Second Edition. Boston: Allyn and Bacon.
Von Glasersfeld, Cognition, Construction of Knowledge, and Teaching, Washington D.C.: National Science Foundation, 1988.
Vygotsky, Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1978.
Wadsworth, Piaget’s Theory of Cognitive and Affective Development (4th ed.), New York: Logman, 1989.
Widya Wati. 2010. “Makalah Strategi Pembelajaran Model Pembelajaran”. Padang
TAI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Rasional
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kini semakin pesat.Hal ini seiring dengan bidang pendidikan yang terus mengalami perkembangan. Setiap waktu akan mengalami perubahan yang akan menentukan arah mutu pendidikan ke depan. Perlu diingat bahwa pendidikan bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain dan lingkungan masyarakat. Hal ini sejalan dengan arti pendidikan menurut Undang Undang No. 20 tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasionalyaitu :Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan diriya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pada dasarnya pembelajaran merupakan hasil sinergi dari tiga komponen pembelajaran utama yakni siswa, kompetensi guru, dan fasilitas pembelajaran. Pembelajaran matematika adalah suatu proses atau kegiatan guru mata pelajaran matematika dalam mengajarkan matematika kepada para siswanya, yang di dalamnya terkandung upaya guru untuk menciptakan iklimdan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuhan siswa tentang matematika yang amat beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dengan siswa serta antara siswa dengan siswa (Suyitno, 2004:2)
Matematika sebagai mata pelajaran yang membekali siswanya untuk memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta mampu bekerja sama masih banyak kurang diminati oleh siswa. Dari beberapa hasil pengamatan, dijumpai masih banyaknya siswa yang takut, kurang senang dan menemui kesulitan dalam menghadapi pelajaran matematika. Tidak jarang pula dari siswa yang mengeluhkan bahwa matematika dianggapnya sebagi pelajaran yang membosankan, menjenuhkan ataupun banyak sebutan lain yang bernilai negatif.
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia.Tidak mengherankan jika pelajaran matematika dalam pelaksanaan pendidikan diberikan di semua jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dilihat dari porsi jam pelajarannya, matematika diberikan lebih banyak dibanding pelajaran yang lain.
Dalam mengajar matematika pada prinsipnya berorientasi pada falsafah pendidikan berkaitan dengan tujuan pengajaran dan penggunaan cara belajar peserta didik aktif serta pemecahan masalah. Guru harus memahami bahwa kemampuan anak berbeda-beda, serta tidak semua siswa menyenangimata pelajaran matematika. Jadidalam memilih suatu model pembelajaran, guru harus memiliki pertimbangan yang tepat agar tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat tercapai. Meskipun dalam proses belajar mengajar sudah tercakup adanya komponen-komponen seperti model, strategi, pendekatan, metode, dan tehnik yang dikembangkan untuk meningkatkan minat siswa dalam belajar serta untuk mencapai tujuan utama pembelajaran yaitu adanya keberhasilan siswa dalam belajar dalam rangka pendidikan baik dalam suatu mata pelajaran maupun pendidikan pada umumnya, namun semua itu belum cukup untuk menghilangkan kesan negatif yang sudah melekat pada siswa.
Kegiatan pembelajaran disekolah menunjukkan bahwa banyak model pembelajaran dikembangkan, namun masih jarang digunakan dalam proses pembelajaran. Adanya kecenderungan untuk melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centred) masih lebih dominan dilakukan daripada pembelajaran yang berpusat pada siswa (student oriented).
Hal ini disebabkan adanya perasaan ribet atau terlalu banyak hal yang harus dipersiapkan ataupun kurangnya pengetahuan guru tentang model-model pembelajaran yang tepat untuk digunakan. Untuk mencapai tujuan pembelajaran yang optimal yang harus diingat oleh guru adalah tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan kondisi .Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri.Cooperative Learning sebagai salah model pembelajaran yang dapat dilakukan dalam proses pembelajaran merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat dijadikan sebagai alternatif langkah untuk mengatasi permasalahan diatas. Cooperative Learning yang memiliki berbagai tipe sangat memungkinkan dilakukan dengan menyesuaikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri.
Cooperative Learning merupakan suatu model pembelajaran yang mengelompokkan siswa dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling bekerja sama dalam memahami pelajaran atau dapat disebut proses pembelajaran yang berbasis kerjasama (Budimansyah, 2003: 11). Menurut penelitian yang dilakukan Wedd (1985), menemukan bahwa dalam pembelajaran dengan menggunakan model Cooperative Learning, sikap dan perilaku siswa berkembang ke arah suasana demokratisasi dalam kelas. Model pembelajaran kooperatif adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar (Trianto,2009: 55). Intinya, model pembelajaran kooperaktif ini lebih mengutamakan kerjasama kelompok kecil antarsiswa dalam mencapai tujuan pembelajaran.
TAI merupakan salah satu tipe model pempelajaran Cooperative Learning. Dasar pemikiran TAI adalah untuk mengadaptasi pengajaran terhadap perbedaan individual berkaitan dengan kemampuan siswa maupun pencapaian prestasi siswa.Pembelajaran dengan menggunakan TAI adalah pembelajaran yang menggabungkan pembelajaran individual denganpembelajaran kelompok.Pembelajaranyang dilakukan dengan kerja sama kelompok heterogen dapat membantu siswa apabila mengalami kesulitan dalam menguasai materi pelajaran, sehingga peran anggota kelompok juga besar dalam meningkatkan hasil belajar matematika anggota yang lainnya.
Dengan menerapkan modelCooperative Learning tipe TAI, diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Dengan siswa mempunyai kebebasan untuk bertindak, aktif berdiskusi, saling memberikan informasi untuk memahami suatu konsep, dan saling membantu dalam memahami materi-materi yang diajarkan diharapkan supaya hasil belajar matematika meningkat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana kajian filosofis dari Model Pembelajaran Tipe TAI ?
2. Bagaimana kajian teoritik dari Model Pembelajaran Tipe TAI ?
3. Bagaimana langkah-langkah dari Model Pembelajaran Tipe TAI ?
4. Bagaimana implementasi dari Model Pembelajaran Tipe TAI ?
5. Bagaimana situasi ideal, kelemahan dan kelebihan dari Model Pembelajaran Tipe TAI ?
1.3 Tujuan
1. Dapat mengetahui dan memahami kajian filosofis dari Model Pembelajaran Tipe TAI ?
2. Dapat mengetahui dan memahami kajian teoritik dari Model Pembelajaran Tipe TAI ?
3. Dapat mengetahui dan menjelaskan bagaimana langkah-langkah dari Model Pembelajaran Tipe TAI ?
4. Dapat mengetahui dan menjelaskan implementasi dari Model Pembelajaran Tipe TAI ?
5. Dapat menegetahui dan memahami situasi ideal, kelemahan dan kelebihan dari Model Pembelajaran Tipe TAI ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kajian Filosofis
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatur bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Artinya, pendidikan harus menjadikan manusia memiliki kecakapan hidup dan bisa hidup bermasyarakat.
Menurut Ina (2008) dalam widya wati (2010 : 15) Model Cooperative Learningberanjak dari dasar pemikiran getting better together yang menekankan pada pemberian kesempatan belajar yang lebih luas dan suasana yang kondusif kepada siswa untuk memperoleh, dan mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai, serta keterampilan-keterampilan sosial yang bermanfaat bagi kehidupannya di masyarakat.
Melalui model Cooperative Learning, siswa bukan hanya belajar dan menerima apa yang disajikan oleh guru dalam proses belajar mengajar, melainkan bisa juga belajar dari siswa lainnya, dan sekaligus mempunyai kesempatan untuk membelajarkan siswa yang lain. Proses pembelajaran dengan model Cooperative Learningini mampu merangsang dan menggugah potensi siswa secara optimal dalam suasana belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 2 sampai 6 orang siswa.
Pada saat siswa belajar dalam kelompok akan berkembang suasana belajar yang terbuka dalam dimensi kesejawatan, karena pada saat itu akan terjadi proses belajar kolaboratif dalam hubungan pribadi yang saling membutuhkan. Pada saat itu juga siswa yang belajar dalam kelompok kecil akan tumbuh dan berkembang pola belajar tutor sebaya (pear group) dan belajar secara bekerjasama (cooperative).
Sebagai dampak isntruksional dalam model Cooperative Learningadalah pemahaman, keterampilan berpikir kritis dan kreatif, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi, keterampilan mengunakan pengetahuan secara bermakna, proses pembelajaran yang efektif. Sedangkan dampak pengiringnya adalah menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam mengatasi keragaman siswa, otonomi dan kebebasan siswa, kebebasan sebagai siswa, penumbuhan aspek sosial, interpersonal, dan intrapersonal.
TAI singkatan dari Team Assisted Individualization, TAI termasukkategori pembelajaran kooperatif, dalam model pembelajaran TAI, siswaditempatkan dalam kelompok-kelomkpok kecil (4 sampai 5 siswa) yangheterogen serta diikuti dengan pemberibantuan secara individu bagi siswayang memerlukannya. Dengan pembelajaran kelompok diharapkan parasiswa dapat meningkatkan pikiran kritisnya, kreatif, dan menumbuhkanrasa sosial yang tinggi. Sebelum dibentuk kelompok, siswa diajarkanbagaimana bekerja sama dalam suatu kelompok, siswa diajarkan menjadipendengar yang baik, dapat memberikan penjelasan kepada temansekelompok, berdiskusi, mendorong teman lain untuk bekerjasama,menghargai pendapat teman lain, dan sebagainya.Team Assisted Individualization (TAI) melibatkan pengakuan tim dankelompok untuk pembelajaran individu anggota. (Suyitno,2007: 20).
Landasan filosofis yang terdapat dalam model pembelajaran kooperatif adalah 1) manusia harus menyadari dirinya menjadi mahluk sosial yang saling bergantung atau saling memerlukan; 2) selama hidup di masyarakat, manusia harus menyadari bahwa pemikiran banyak orang akan jauh lebih baik daripada pemikiran sendiri; 3) selain itu, manusia harus menyadari dirinya akan lemah bila berada dalam posisi sendiri, sehingga memerlukan teman lain untuk dapat mengerjakan pekerjaan yang lebih besar.
Sedangkan landasan filosofis yang terdapat dalam model pembelajaran tipe TAI adalah
1. Memaksimalkan interaksi, artinya dalam kelompok tersebut tentu siswa akan saling berinteraksi dengan temannya.
2. Menghargai orang lain, dalam berdiskusi tentu saja setiap siswa memiliki pemikiran yang berbeda-beda, disini siswa harus menghargai pendapat dari temannya.
2.2 Kajian Teoretik
Teori yang melandasi model pembelajaran kooperatif, yaitu:
1. Teori Penemuan Jerome Bruner
Jerome Bruner, seorang ahli psikologi Havard adalah seorang pelopor pengembangan kurikulum terutama deangan teori yang dikenal dengan pembelajaran penemuan (inquiri).
Teori Bruner yang selanjutnya disebut pembelajaran penemuan (inquiri) adalah suatu model pengajaran yang menekankan pentingnya pemahaman tentang struktur materi dari suatu ilmu yang dipelajari, perlunya belajar aktif sebagai dasar dari pemahaman sebenarnya, dan nilai dari berfikir secara induktif dalam belajarnya (pembelajaran yang sebenarnya terjadi melalui penemuan pribadi). Menurut Bruner, belajar akan lebih bermakna bagi siswa jika mereka memusatkan perhatiannya untuk memahami struktur materi yang dipelajari. Untuk memperoleh struktur informasi, siswa harus aktif di mana mereka harus mengidentifikasi sendiri prinsip-prinsip kunci dari pada hanya sekedar menerima penjelasan dari guru. Oleh karena itu guru harus memunculkan masalah yang mendorong siswa untuk melakukan kegiatan penemuan, guru memberikan contoh dan siswa bekerja berdasarkan contoh tersebut sampai menemukan hubungan antar bagian dari suatu struktur materi (Woolfolk dalam Trianto 2012 : 80).
Aplikasi ide-ide Bruner dalam pembelajaran menurut woolfolk, (Trianto 2012 : 80) digambarkan sebagai berikut (1) memberikan contoh dan bukan contoh dari konsep yang dipelajari ; (2) membantu siswa mencari hubungan antar konsep ; (3) mengjukan pertanyaan dan membiarkan siswa menemukan sendiri jawabannya ; (4) mendorong siswa untuk membuat dorongan yang bersifat intuitif.
2. Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, teori behavioristik adalah proses interaksi anatara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yanag merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan atau gerakan / tindakan.
Jadi perubahan tingkah laku akibat belajar dapat berwujud konkrit, yaitu dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu tidak dapat diamati. Meskipun teori behaviorisme tersebut sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan “Teori Connectionisn”.
Dasar-dasar teori Connectionism dari Edwar L.Thorndike (1874-1949) diperoleh juga dari sejumlah penelitian yang dilakukan terhadap perilaku binatang. Penelitian-penelitian Thorndike pada dasarnya dirancang untuk mengetahui apakah binatang mampu memecahkan masalah dengan menggunakan “reasoning” atau akal, dan atau dengan mengkombinasikan beberapa proses berfikir dasar.
3. Teori Ausubel
Menurut Ausubel, Novak, and Hanesian (1978), belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua demensi. Dimensi pertama, berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran disajikan pada siswa, melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua, menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengkaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur kognitif dalam hal ini ialah fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dimiliki oleh siswa.Kedua dimensi, yaitu penerimaan/penemuan dan hafalan/bermakna, tidak menunjukkan dikotomi sederhana, melainkan suatu kontinum.
Ausubel menyatakan, bahwa banyak ahli pendidikan menyamakan belajar penerimaan dengan belajar hafalan, sebab mereka berpendapat bahwa belajar bermakna hanya terjadi bila siswa menemukan sendiri pengetahuannya. Belajar penerimaan dapat dibuat bermakna, yaitu dengan cara menjelaskan hubungan antara konsep-konsep. Sedangkan belajar penemuan rendah kebermaknaannya, dan merupakan belajar hafalan, yakni memecahkan suatu masalah hanya dengan coba-coba seperti menebak suatu teka-teki. Belajar penemuan yang bermakna sekali hanyalah terjadi pada penelitian yang bersifat ilmiah.
Dimana dalam model pembelajaran Tipe TAI ini pada prosesnya ada diskusi bersama teman dimana dalam diskusi ini siswa di tuntut untuk dapat menemukan sendiri informasi yang diinginkan. Dan dengan cara seperti itu belajar siswa akan merasa belajar lebih bermakna dan siswa pun mudah untuk mengerti materi-materi yang diinginkan.Dengan diskusi bersama ini juga siswa dapat mengemukakan pendapat sendiri maupun mendengar pendapat teman yang lain.
4. Teori Pembelajaran sosial Vygotsky
Teori Vygotsky menekankan pada aspek sosial daripada pembelajaran. Menurut Vygotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas itu masih dalam zone of proximal development anak yaitu daerah tingkat perkembangan sedikit diatas perkembangan anak saat itu. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan dan kerja sama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap kedalam individu tersebut.
Pemikiran Vygotsky sama dengan pemikiran Piaget bahwa anak membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Vygotsky yakin bahwa perkembangan tergantung pada faktor biologis yang menentukan fungsi-fungsi elementer memori, atensi, persepsi dan stimulus respon, serta tergantung pada faktor sosial yang sangat penting artinya bagi perkembangan fungsi mental lebih tinggi untuk perkembangan konsep, penalaran logis, dan pengambilan keputusan.
Pada model pembelajaran Tipe TAI berhubungan dengan teori belajar yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dimana dalam model pembelajaran tipe TAI selain siswa harus menjawab test yang diberikan guru siswa juga harus berdiskusi dengan kelompok. Hubungan dengan teori yang dikemukakan oleh Vygotsky proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, dengan seperti ini pada diskusi bersama siswa dituntun untuk menemukan masalah yang ada dengan seperti itu siswa harus bekerja untuk menangani masalah-masalah yang dihadapinya.
2.3 Sintaks
2.3.1 Sintaks Pembelajaran Kooperatif
Tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994). Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, dkk.(2000), yaitu hasilbelajar akademik, penerimaan terhadap kjeberagaman, dan pengembangan keterampilan sosial.
1. Hasil Belajar Akademik
Didalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya.Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
2. Penerimaan terhadap Keragaman
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.
3. Pengembangan Keterampilan Sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh siswa sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial. Keterampilan sosial yang dimaksud dalam pembelajaran kooperatif antara lain adalah: berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, memancing teman untuk bertanya, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok, dan sebagainya. Sintaks pembelajaran
kooperatif terdiri dari enam langkah utama, seperti tampak pada tabel di bawah ini.
Tabel 1: Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif
Fase ke Indikator Aktivitas/Kegiatan guru
1 Menyampaikan tujuan dan
Memotivasi siswa Guru menyampaikan semua tujuan
pelajaran yang ingin dicapai dan
memotivasi siswa
2 Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada
siswa dengan jalan demontrasi atau
lewat bahan bacaan
3 Mengorganisasikan siswa
kedalam kelompok-
kelompok belajar Guru menjelaskan kepada siswa
bagaimana caranya membentuk
kelompok belajar dan membantu setiap
kelompok agar melakukan transisi
secara efisien.
4 Membimbing kelompok
bekerja dan belajar Guru membimbing kelompok-kelompok
belajar pada saat mereka mengerjakan
tugas
5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang
materi yang telah dipelajari atau
masing-masing kelompok
mempresentasikan hasil kerjanya
6 Memberikan penghargaan Guru mencari cara-cara untuk
menghargai upaya atau hasil belajar
individu maupun kelompok.
2.3.2 Sintaks Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI
Team Assisted Individualization (TAI) memiliki dasar pemikiranyaitu untuk mengadaptasi pembelajaran terhadap perbedaan individualberkaitan dengan kemampuan siswa maupun pencapaian prestasi siswa.Dalam model pembelajaran TAI, siswa dibagi menjadikelompok-kelompok kecil (4 sampai 5 siswa) yang heterogen.Selanjutnya diikuti dengan pemberian suatu masalah kepada siswa yang diselesaikan secara individu. Selanjutnya siswa mendiskusikan jawabannya dengan anggota kelompoknya yang kemudian akan disampaikan oleh masing-masig ketua kelompok. Dengan pembelajaran kelompok, diharapkan parasiswa dapat meningkatkan pikiran kritisnya, kreatif, dan menumbuhkanrasa sosial yang tinggi. (Suyitno, 2007: 10).
Sintaks pembelajaran kooperatif tipe TAI adalah sebagai berikut:
1. Guru menyiapkan materi bahan ajar yang akan diselesaikan oleh kelompok siswa.
2. Guru memberikan pre-test kepada siswa atau melihat rata-rata nilai harian siswa agar guru mengetahui kelemahan siswa pada bidang tertentu. Dalam pembelajaran kooperatif tipe TAI ini disebut sebagai proses Placement Test.
3. Guru memberikan materi secara singkat. Dalam pembelajaran kooperatif tipe TAI ini disebut sebagai prosesTeaching Group.
4. Guru membentuk kelompok kecil yang heterogen tetapi harmonis berdasarkan nilai ulangan harian siswa, setiap kelompok 4-5 siswa. Dalam pembelajaran kooperatif tipe TAI ini disebut sebagai proses Teams.
5. Setiap kelompok mengerjakan tugas dari guru berupa LKS yang telah dikerjakan sendiri sebelumnya, dan guru memberikan bantuan secara individual bagi yang memerlukannya. Dalam pembelajaran kooperatif tipe TAI ini disebut sebagai proses Team Study.
6. Ketua kelompok melaporkan keberhasilan kelompoknya dengan mempresentasikan hasil kerjanya dan siap untuk diberi ulangan oleh guru. Dalam pembelajaran kooperatif tipe TAI ini disebut sebagai proses Student Creative.
7. Guru memberikan post-test untuk dikerjakan secara individu. Dalam pembelajaran kooperatif tipe TAI ini disebut sebagai proses Fact Test.
8. Guru menetapkan kelompok terbaik sampai kelompok yang kurang berhasil (jika ada) berdasarkan hasil koreksi. Dalam pembelajaran kooperatif tipe TAI ini disebut sebagai proses Team Score and Team Recognition.
9. Guru memberikanmaterikembali di akhir waktu pembelajaran dengan strategi pemecahanmasalah, lalu memberikan tes formatif sesuai dengan kompetensi yang ditentukan. Dalam pembelajaran kooperatif tipe TAI ini disebut sebagai proses Whole-Class Units.
2.4 Implementasi
Aktivitas pembelajaran kooperatif tipe TAI ini diatur secara instruksionaladalah sebagai berikut.
1) Menyimak : siswa memperoleh materi dengan cara menyimak penjelasan dari guru.
2) Memecahkan masalah: siswa menyelesaikan masalah yang diberikan oleh guru dengan cara mereka masing-masing.
3) Diskusi kelompok: siswabertemu dengan kelompoknya kembaliuntukmendiskusikan masalah tersebut.
4) Menyampaikan: ketua kelompok menyampaikan hasil bahasan mereka dalam kelompoknya.
5) Kuis : Setelah semua ketua kelompok menyampaikan hasil diskusi mereka, guru mengadakan kuis secara individu.
Disini ini disajikan sebuah contoh implementasi model pembelajaran kooperatif tipe TAI untuk materi “MenyelesaikanSistem Persamaan Linier Dua Variabel”.
1) Guru menginformasikan pengelompokan siswa. Setiap kelompok terdiri dari 4 sampai dengan 5 siswa dengan kemampuan akademik yang heterogen.
2) Guru mengecek kemampuan prasyarat siswa dengan cara tanya jawab.
3) Guru memberikan materi terkait dengan materi “MenyelesaikanSistem Persamaan Linier Dua Variabel” secara singkat.
4) Setiap siswa menyelesaikan tugas berupa soal-soal yang berkaitan dengan determinan dan invers dalam menyelesaikan SPLDV pada lembar kerja siswa (LKS) yang sudah disediakan oleh guru secara individual. Guru mengamati kerja setiap siswa dan memberikan bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan seperlunya.
5) Dengan membawa hasil penyelesaian soal-soal yang telah dikerjakan siswa secara individual, siswa menuju ke kelompok belajar sesuai dengan kelompok yang telah diinformasikan guru.
6) Siswa mendiskusikan hasil pekerjaannya dengan teman satu kelompok dengan cara saling memeriksa, mengoreksi dan memberikan masukan. Guru mengamati kerja kelompok dan memberikan bantuan seperlunya.
7) Setiap kelompok mempresentasikan penyelesaian soal yang sudah dibahas sedangkan guru memfasilitasi siswa dan merangkum serta memberikan penegasan.
8) Untuk pengecekan pemahaman siswa guru memberikan soal kuis yang dikerjakan oleh setiap siswa secara individual. Hasil pekerjaan siswa dikumpulkan sebagai nilai individual.
2.5 Pembahasan
2.5.1 Situasi Ideal
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI baik diterapkan saat guru ingin membahas suatu permasalahan yang bersifat open ended, artinya permasalahan yang dapat diselesaikandengan banyakcara. Karena dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TAI siswa diharapkan mampu untuk saling berdiskusi dengan temannya. Jadi dengan materi atau persoalan yang bersifat open ended siswa akan saling mendiskusikan hasil yang diperolehnya sendiri dengan anggota kelompoknya. Dengan begitu diskusi akan menjadi semakin aktif antara siswa yang satu dengan teman-teman kelompoknya.
Pembagian kelompok dalam model pembelajaran kooperatif tipe TAIdilakukan secara heterogen, baik dari segi kemampuan maupun karakteristik yang lain. Oleh kargen dari karena itu, model pembelajaran kooperatif tipe TAI sangat tepat untuk diterapkan pada siswa yang memiliki karakteristik heterogen, baik dari segi kemampuan, jenis kelamin, atau karakteristik yang lain.
2.5.2 Kelebihan
Adapun kelebihan pembelajaran tipe TAI diantaranya : 1) siswa yang lemah dapat terbantu dalam menyelesaikan masalahnya karena dia akan dibantu oleh teman-teman kelompoknya. (2) siswa yang pandai dapat mengembangkan kemampuan dan ketrampilannya, artinya siswa yang pandai dapat mengembangkan kemampuannya dalam mengajarkan atau menjelaskan pendapatnya atau jawabannya kepada teman-teman kelompoknya. (3) adanya tanggung jawab dalam kelompok untuk menyelesaikan permasalahan dengan pemecahan yang benar, karena jawaban dari banyak siswa berkumpul dan dengan saling berdiskusi, maka akan didapatkan jawaban yang menurut kelompok tersebut paling mendekati kebenaran. (4) siswa mampu secara aktif mendiskusikan pemecahan masalah yang mereka peroleh secara individu. (5) siswa mampu untuk menjelaskan kembali pemecahan masalah yang telah di diskusikan dalam kelompoknya. Disini kemampuan berbicara siswa akan semakin meningkat
2.5.3 Kelemahan
Kelemahan pembelajaran tipe TAI adalah : 1) Memerlukan periode lama, karena siswa akan mengerjakan suatu permasalahn secara individu terlebih dahulu, selanjutnya didiskusikan paada kelompoknya, ini akan membutuhkan waktu yang lumayan lama. 2) Bila ketua kelompok tidak mampu mengorganisasikan kelompoknya dengan baik, maka kerjasama tidak dapat dilaksanakan dengan baik, jadi yangakan bekerja hanyalah beberapa murid yang pintar dan yang aktifsaja, sementara siswa yang lemah tidak mendapat pengetahuan tabahan. 3) karena nilai diambil dari nilai kelompok, siswa yang pintar akan merasa keberatan jika nilai yangdiperoleh kelompoknya tidak memuaskan.
2.5.4 Upaya Optimalisasi
Dalam melaksanakan suatu proses pembelajaran dalam kelas pembelajaran tidak selalu berjalan dengan lancar meskipun rencana yang telah dibuat sudah baik. Inti dari model pembelajaran tipe TAI ini adlaah diskusi kelompok, karena dengan diskusi kelompok yang baik akan menambah pengetahuan siswa dan siswa akan mampu untuk menjawab kuis dengan baik.
Hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran terutama dalam penerapan model pembelajaran tipe TAI diantaranya adalah sebagai berikut: 1) kurangnya pemahaman guru mengenai penerapan pembelajaran tipe TAI; 2) kurangnya kemampuan siswa untuk memimpin kelompoknya yang akan membuat siswa yang aktif hanyalah siswa yang pintar saja; 3) kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran.
Agar pelaksanaan pembelajaran dapat berjalan dengan baik, upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : 1) Guru senantiasa mempelajari teknik-teknik penerapan model pembelajaran tipe TAI di kelas dan menyesuaikan dengan materi yang akan diajarkan; 2) guru lebih aktif untuk mengamati dan membantu setiap kelompok dalam kelas, agar tidak ada kelompok yang tidak mampu untuk menyelesaikan permasalahan mereka; 3)meningkatkan sarana pendukung pembelajaran terutama buku sumber.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Menurut kajian filosofis tentang pengertian Model Pembelajaran Tipe TAI adalah dapat memaksimalkan interaksi, artinya dalam kelompok tersebut tentu siswa akan saling berinteraksi dengan temannya. Dan juga dapat menghargai orang lain, dalam berdiskusi tentu saja setiap siswa memiliki pemikiran yang berbeda-beda, disini siswa harus menghargai pendapat dari temannya.
2. Menurut kajian teoritik tentang Team Assisted Individualization (TAI) memiliki dasar pemikiran yaitu untuk mengadaptasi pembelajaran terhadap perbedaan individual berkaitan dengan kemampuan siswa maupun pencapaian prestasi siswa.
3. Langkah-langkah dalam model pembelajran tipe TAI adalah yang pertaman guru mempersiapkan materi, kedua guru memberikan pre-test kepada siswa, ketiga guru memberikan sedikit materi, keempat guru membentuk siswa dengan beberapa kelompok kecil, dan tiap kelompok mengerjakan tugas yang diberikan guru. Setelah berdiskusi pada kelompok tiap kelompok memeberitahukan hasil diskusinya. Selanjutnya siswa diberikan tugas individu. Guru menetapkan kelompok yang terbaik serta guru juga dapat memberikan materi dengan pemecahan masalah yang lebih baik dah memberikan tugas rumah.
4. Implementasi yang dapat dilakukan khususnya pada bidang matematika dapat digunakan salah satunya pada materi SPLDV, karena siswa dapat mendiskusikan cara yang akan digunakan dan guru dapat menjelaskan pemecahan masalah dengan lebih baik.
5. Kelebihan pada model pembelajaran tipe TAI adalah siswa yang lemah dapat terbantu dengan siswa yang pandai, begitu pun dengan siswa yang pandai dapat lebih mengembangkan kemampuanya. Dan adanya tanggung jawab siswa penyelesaian masalah dalam kelompoknya. Sedangkan kekurangan dari model pembelajran tipe TAI adalah memerlukan periode yang lama, jika kerjasama ridak dilaksanakan dengan baik maka yang bekerja hanyalah siswa yang pandai saja, dan siswa yang pandai mungkin akan keberatan dengan nilai yang diperoleh ditemtukan oleh pencapaian kelompok.
3.2 Saran
Dengan adanya penulisan makalah ini, diharapkan pembaca dapat mengetahui dan memahami bagaimana model pembelajaran tipe TAI.Dan pembaca juga dapat menerapkan model pembelajaran tipe TAI dengan tepat.Sebelum dapat menerapkan model pemebelajaran ini pembaca juga harus dapat mengetahui bagaimana kelemahan dan kelebihan dari model pembelajaran TAI. Sehingga pembaca juga dapat mengimplementasikan model pembelajaran ini dengan baik
Kami menyadari bahwasanya penyusunan dari makalah ini hanyalah manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekuaranagn, sedangkan kesempurnaan hanya milik Tuhan YME hingga dalam penulisan dan penyususnan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa penyusun terima dalam upaya evaluasi diri.
TGT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Rasional
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan kemajuan suatu bangsa. Pendidikan membantu manusia dalam pengembangan potensi dirinya sehingga mampu menghadapi segala perubahan yang terjadi, sebagaimana tercantum dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu: Pendidikan membuat watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Selaras dengan sistem pendidikan nasional yang tertuang dalam UU No.20 Tahun 2003, pelaksanaan pendidikan tentunya perlu mendapat proporsi yang cukup agar diperoleh out put yang unggul. Penanaman pendidikan ini tentunya harus mengacu pada arah perbaikan, khususnya adalah peningkatan kemampuan akademis. Salah satu langkah yang bisa ditempuh adalah dengan memaksimalkan kegiatan pembelajaran disekolah.
Kegiatan pembelajaran disekolah dapat berlangsung dengan baik apabila ada komunikasi positif antara guru dengan siswa, guru dengan guru, dan antara siswa dengan siswa. Oleh karena itu, komunikasi positif harus diciptakan agar pesan yang ingin disampaikan, khususnya materi pembelajaran dapat diterima dengan baik oleh siswa. Guru diharapkan mampu membimbing aktivitas dan potensi siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran yang sesuai. Hal ini dilaksanakan agar kualitas pembelajaran pada mata pelajaran apapun menjadi optimal. Salah satu mata pelajaran yang mendapat perhatian lebih adalah Matematika.
Matematika sebagi ilmu dasar begitu cepat mengalami perkembangan, hal itu terbukti dengan makin banyaknya kegiatan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Disamping itu juga sangat diperlukan siswa dalam mempelajari dan memahami mata pelajaran lain. Akan tetapi pada kenyataannya banyak siswa merasa takut enggan dan kurang tertarik terhadap mata pelajaran matematika. Bagi siswa yang kurang tertantang untuk mempelajari dan menyelesaikan soal-soal matematika. Soal-soal yang paling rumit biasanya soal cerita pecahan dan biasanya nilai siswa akan rendah pada soal dengan tipe ini (soal cerita matematika). (www.Pontianakpost.com, 14 Januari 2011)
Berkenaan dengan keadaan tersebut, akan digunakan suatu model pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita pecahan yaitu dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Teams Games Tournament). Untuk itu selanjutnya akan dibahas mengenai “model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Teams Games Tournament).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan rasional di atas, adapun masalah yang akan dibahas melalui makalah ini adalah sebagai berikut.
1) Bagaimana kajian filosofis dari model pembelajaran kooperatif TGT?
2) Bagaimana kajian teoretik dari model pembelajaran kooperatif TGT?
3) Bagaimana sintaks dari model pembelajaran kooperatif TGT?
4) Bagaimana implementasi dari model pembelajaran kooperatif TGT?
5) Bagaimana situasi ideal untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif TGT?
6) Apa saja kelebihan dari model pembelajaran kooperatif TGT?
7) Apa saja kekurangan dari model pembelajaran kooperatif TGT?
8) Apa upaya optimalisasi dari model pembelajaran kooperatif TGT?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
1) Untuk mengetahui kajian filosofis dari model pembelajaran kooperatif TGT.
2) Untuk mengetahui kajian teoretik dari model pembelajaran kooperatif TGT.
3) Untuk mengetahui sintaks dari model pembelajaran kooperatif TGT.
4) Untuk mengetahui implementasi dari model pembelajaran kooperatif TGT.
5) Untuk mengetahui situasi ideal dalam penerapan model pembelajaran kooperatif TGT.
6) Untuk mengetahui kelebihan dari model pembelajaran kooperatif TGT.
7) Untuk menghetahui kekurangan dari model pembelajaran kooperatif TGT.
8) Untuk mengetahui upaya optimalisasi dari model pembelajaran kooperatif TGT.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kajian Filosofi
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatur bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Artinya, pendidikan harus menjadikan manusia memiliki kecakapan hidup dan bisa hidup bermasyarakat.
Agar bisa hidup dimasyarakat, manusia harus menyadari dirinya menjadi mahluk sosial yang saling bergantung atau saling memerlukan. Selama hidup di masyarakat, mereka harus menyadari bahwa pemikiran banyak orang akan jauh lebih baik daripada pemikiran sendiri. Selain itu, manusia harus menyadari dirinya akan lemah bila berada dalam posisi sendiri, sehingga memerlukan teman lain untuk dapat mengerjakan pekerjaan yang lebih besar.
Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang mengajarkan keterampilan bekerja sama dalam kelompok atau teamwork. Banyak ahli berpendapat bahwa model pembelajaran kooperatif unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Pembelajaran kooperatif juga memberikan efek terhadap sikap penerimaan perbedaan antar-individu, baik ras, keragaman budaya, gender, sosial-ekonomi, dll.
Erman Suherman (2001:218) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif mencakup suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai sebuah tim untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama. Menurut Anita Lie (2004:12), sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas terstruktur disebut sebagai sistem “pembelajaran gotong royong” atau pembelajaran kooperatif. Jadi dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar dalam kelompok kecil atau tim untuk saling membantu, mendiskusikan dan berargumentasi dalam menyelesaikan masalah, tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama dalam pembelajaran. Ada tiga tujuan pembelajaran kooperatif yang penting, yaitu: hasil belajar akademik, penerimaan terhadap perbedaan individu dan pengembangan keterampilan sosial (Modul PLPG, 2012:46).
Anita Lie (1997) menambahkan bahwa model pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekadar belajar kelompok, tetapi ada unsur-unsur dasar yang membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Menurut Roger dan David Johson seperti yang dinyatakan oleh Anita Lie bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif sehingga untuk mencapai hasil yang maksimal perlu diterapkan lima unsur model pembelajaran kooperatif, yaitu (1) Siswa harus memiliki saling ketergantungan positif. Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. (2) Tanggung jawab perseorangan. Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran kooperatif, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. (3) Tatap muka. Dalam pembelajaran kooperatif setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan berdiskusi. (4) Komunikasi antar anggota. Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka dalam mengutarakan pendapat. (5) Evaluasi proses kelompok. Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif. Adapun Ciri-ciri dari pembelajaran kooperatif, antara lain: (1) siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya, (2) kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah, (3) bilamana mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, serta jenis kelamin yang berbeda dan (4) penghargaan lebih berorientasi kelompok dari pada individu.
Model pembelajaran kooperatif ada berbagai macam salah satunya yaitu model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Teams Games Tournament). Model ini pada mulanya dikembangkan oleh David DeVries dan Keith Edwards. TGT adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menempatkan siswa dalam kelompok – kelompok belajar yang beranggotakan 4 sampai 6 orang siswa yang heterogen. Guru menyajikan materi , dan siswa bekerja dalam kelompok mereka masing – masing. Dalam kerja kelompok guru memberikan LKS kepada setiap kelompok. Tugas yang diberikan dikerjakan bersama – sama dengan anggota kelompoknya. Apabila ada dari anggota kelompok yang tidak mengerti dengan tugas yang diberikan, maka anggota kelompok yang lain bertanggung jawab untuk memberikan jawaban atau menjelaskan sebelum mengajukan pertanyaan tersebut kepada guru (Rusman, 2012).
Model pembelajaran kooperatif Teams Games Tournaments (TGT) merupakan tipe pembelajaran yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement. Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks, disamping menumbukan tanggung jawab, bekerja sama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar. Ketika semua memiliki kesempatan untuk belajar secara kelompok, turnamen akademik diadakan agar siswa berkompetensi untuk mendapatkan poin tertinggi. Turnamen ini akan memberikan perubahan yang menyegarkan dari rutinitas normal (Gunter, 1990)
Model Pembelajaran Kooperatif Teams Games Tournament (TGT) mempunyai banyak manfaat antara lain sebagai alternatif untuk menciptakan kondisi yang variatif dalam kegiatan belajar mengajar, dapat membantu guru untuk menyelesaikan masalah dalam pembelajaran, seperti rendahnya minat belajar siswa, rendahnya aktivitas proses belajar siswa ataupun rendahnya hasil belajar siswa dan melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status. Ditinjau dari kompetensi yang dapat dikembangkan dalam Model Pembelajaran TGT yaitu sebagai berikut: (1) Pengetahuan (knowledge), (2) Pemahaman (understanding), (3) Kemampuan (skill), (4) Nilai (value), (5) Sikap (attitude), (6) Minat (interest).
2.2 Kajian Teoretik
Ada beberapa teori yang melandasi model pembelajaran kooperatif TGT, yaitu: (1) Teori Belajar Piaget, (2) Teori Belajar Sosial Albert Bandura, dan (3) Teori Pembelajaran Sosial Vygotsky.
1. Teori Belajar Piaget
Piaget (dalam Slavin, 2000) memandang bahwa setiap anak memiliki rasa ingin tahu bawaan yang mendorongnya untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Baik lingkungan fisik maupun sosialnya. Piaget meyakini bahwa pengalaman secara fisik dan pemanipulasian lingkungan akan mengembangkan kemampuannya. Ia juga mempercayai bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya dalam mengemukakan ide dan berdiskusi akan membantunya memperjelas hasil pemikirannya dan menjadikan hasil pemikirannya lebih logis.(Slavin, 2000). Melalui pertukaran ide dengan teman lain, seorang anak yang sebelumnya memiliki pemikiran subyektif terhadap sesuatu yang diamati akan merubah pemikirannya menjadi obyektif Aktivitas berpikir anak seperti itu terorganisasi dalam suatu struktur kognitif (mental) yang disebut dengan "scheme" atau pola berpikir (patterns of behavior or thinking).
Berkaitan dengan pandangan Piaget dalam hal pembelajaran, Duckworth (Slavin, 1995) mengemukakan bahwa pedagogi yang baik harus melibatkan anak pada situasi di mana anak mandiri melakukan percobaan, dalarn arti anak mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi tanda - tanda, memanipulasi simbol, mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri jawabannya, mencocokkan apa yang la temukan dan membandingkan temuannya dengan anak lain.
2. Teori Belajar Sosial Albert Bandura
Pijakan awal teori belajar sosial adalah bahwa manusia belajar melalui pengamatannya terhadap prilaku orang lain. Pakar yang paling banyak melakukan riset teori belajar sosial adalah Albert Bandura. Konsep dari teori ini menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi. Teori belajar sosial menekankan pengamatan sebagai proses pembelajaran, yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari perilaku dengan mengamati secara sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang lain. Proses belajar semacam ini disebut "observational learning" atau pembelajaran melalui pengamatan (modeling).
3. Teori Pembelajaran Sosial Vygotsky
Teori Vygotsky menekankan pada aspek sosial dari pada pembelajaran. Menurut Vygotsky siswa sebaiknya belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu sehingga ide baru akan muncul dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Pada setting kooperatif, siswa dihadapkan pada proses berpikir teman sebaya mereka. Metode ini tidak hanya membuahkan belajar terbuka untuk seluruh siswa, tetapi juga membuat proses berpikir siswa lain terbuka.
Menurut Vygotsky, pada saat siswa bekerja di dalam ZPD (Zone of Proximal Development) mereka, tugas-tugas yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri, akan dapat mereka selesaikan dengan bantuan teman sebaya atau orang dewasa. Pembelajaran di sekolah hendaknya bekerja dalam daerah ini, menarik kemampuan-kemampuan anak dengan maksud mondorong pertumbuhan seefektifnya.
Pemikiran Vygotsky sama dengan pemikiran Piaget bahwa anak membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pemikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Vygotsky yakin bahwa perkembangan tergantung pada faktor biologis yang menentukan fungsi-fungsi elementer memori, atensi, persepsi, dan stimulus respon, serta tergantung pada faktor sosial yang sangat penting artinya bagi perkembangan fungsi mental lebih tinggi untuk perkembangan konsep, penalaran logis, dan pengambilan keputusan.
2.3 Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif TGT
Menurut Slavin (dalam Purwati, 2010) ada 4 komponen utama dalam TGT yang secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut.
Langkah 1 : Tahap Menyampaikan Informasi (Presentasi Klasikal)
Pada tahap ini guru menyajikan materi pelajaran seperti biasa, bisa dengan ceramah, diskusi, demonstrasi atau eksperimen bergantung pada karakteristik materi yang sedang disampaikan dan ketersediaan media di sekolah yang bersangkutan. Guru juga harus memberitahu siswa agar cermat mengikuti proses pembelajaran karena informasi yang diterimanya pada tahap ini sangat bermanfaat untuk bisa menjawab kuis pada tahap berikutnya dan skor kuis yang akan diperoleh sangat menentukan skor tim mereka.
Langkah 2: Tahap Pembentukan Tim atau Pengorganisasian Siswa (Kelompok)
Pada tahap ini, guru membentuk kelompok-kelompok kecil beranggotakan 4 sampai 6 orang siswa. Perlu diperhatikan bahwa setiap kelompok mempunyai sifat heterogen dalam hal jenis kelamin dan kemampuan akademik yang terdiri dari siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Fungsi kelompok disini adalah mengarahkan semua anggota untuk belajar mengkaji materi yang disampaikan oleh guru, berdiskusi, membantu anggota yang kemampuan akademiknya kurang sehingga mereka secara tim nantinya siap untuk mengikuti game turnamen. Kekompakkan kerjasama tim akan mampu meningkatkan hubungan antar sesama anggota tim, rasa percaya diri, dan keakraban antar siswa.
Langkah 3: Tahap Permainan (Game Tournament)
Pada tahap ini, guru membuat suatu bentuk permainan. Materinya terdiri dari sejumlah pertanyaan yang relevan dengan materi ajar yang disampaikan oleh guru pada tahap sebelumnya untuk menguji kemajuan pengetahuan siswa setelah memperoleh informasi secara klasikal dan hasil latihan di kelompoknya. Turnamen dapat dilaksanakan tiap bulan atau tiap akhir pokok bahasan. Turnamen ini diadakan antar kelompok. Langkah – langkah pelaksanaan permainan (game tournament) adalah sebagai berikut :
a. Membentuk meja turnamen, disesuaikan dengan banyaknya siswa pada setiap kelompok.
b. Menentukan ranking (berdasarkan kemampuan) setiap siswa pada masing – masing kelompok.
c. Menempatkan siswa dengan ranking yang sama pada meja yang sama, misalkan siswa pandai (A1, B1,C1, dst) ditempatkan pada meja 1, siswa sedang (A2, B2, C2, dst) ditempatkan pada meja 2 dan seterusnya.
d. Masing – masing siswa pada meja turnamen bertanding untuk medapatkan skor sebanyak – banyaknya dengan aturan permainan sebagai berikut Slavin, 1995 (dalam Kurniawan, 2008):
1. Setiap pemain dalam tiap meja menentukan terlebih dahulu pembaca soal, pemain pertama dan penantang dengan cara undian. Pemain yang menang undian mengambil kartu undian yang berisi nomor soal dan diberikan kepada pembaca soal. Pembaca soal akan membacakan soal sesuai dengan nomor undian yang diambil oleh pemain.
2. Soal dikerjakan secara mandiri oleh penantang dan pemain sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam soal. Setelah selesai mengerjakan soal, maka pemain akan membacakan hasil pekerjaannya yang akan ditanggapi oleh penantang.
3. Pembaca soal akan membuka kunci jawaban dan skor hanya diberikan kepada pemain yang menjawab benar atau penantang yang memberikan jawaban benar. Jika semua jawaban pemain salah, maka kartu dibiarkan saja.
4. Permainan dilanjutkan dengan kartu soal berikutnya sampai semua kartu soal habis dibacakan, dan posisi pemain diputar searah jarum jam agar setiap peserta dalam satu meja turnamen dapat berperan sebagai pembaca soal, pemain dan
penantang.
5. Dalam permainan, pembaca soal hanya bertugas untuk membaca soal dan membuka kunci jawaban, tidak boleh ikut menjawab atau memberikan jawaban kepada peserta yang lain.
6. Setelah semua kartu selesai terjawab, setiap pemain dalam satu meja menghitung jumlah kartu yang diperoleh dan menentukan berapa poin yang diperoleh.
7. Setiap pemain kembali kepada kelompok asalnya dan melaporkan poin yang diperoleh kepada ketua kelompok.
e. Skor siswa dari masing – masing kelompok (A, B, C, dst) dikumpulkan dan ditentukan kelompok yang mempunyai jumlah kumulatif tinggi sebagai pemenang pertandingan. Skema Model Pembelajaran Kooperatif TGT dapat digambarkan seperti bagan dibawah ini
Gambar 1: Skema Model Pembelajaran Kooperatif TGT
Langkah 4: Tahap Pemberian Penghargaan Kelompok
Skor kelompok diperoleh dengan cara menjumlahkan skor anggota setiap kelompok, kemudian dicari rata-ratanya. Berdasarkan skor rata-rata kelompok akan diperoleh gambaran perbedaan prestasinya. Dari skor rata-rata kelompok ini guru dapat memberikan penghargaan kepada setiap kelompok berdasarkan kriteria seperti pada tabel berikut:
Kriteria Penghargaan untuk Kelompok
No Kriteria (Rata–rata Kelompok Predikat
1 X < 15 -
2 15= X <20 Kelompok Cukup
3 20= X <25 Kelompok Baik
4 25 = X Kelompok Sangat Baik
Skor rata-rata kelompok yang lebih kecil dari 15 sengaja tidak diberikan predikat untuk memacu kelompok agar lebih giat belajar pada topik-topik berikutnya.
Dari sintaks pembelajaran di atas tampak bahwa pengetahuan tidak bersumber dari guru, akan tetapi siswalah yang secara aktif membangun pengetahuan mereka sendiri bersama anggota kelompoknya sesuai dengan prinsip-prinsip teori belajar konstruktivisme. Dengan demikian, guru hanya berperan sebagai fasilitator agar terjamin kondisi yang baik untuk pembelajaran.
2.4 Implementasi Model Pembelajaran Kooperatif TGT
Implementasi model pembelajaran kooperatif TGT membahas mengenai bagaimana model pembelajaran kooperatif TGT ini diterapkan dalam pembelajaran sesuai dengan sintaks atau langkah-langkah dari model pembelajaran kooperatif TGT. Adapun implementasi yang akan dibahas dibawah ini merupakan implementasi model pembelajaran kooperatif TGT dalam pembelajaran matematika mengenai materi penjumlahan, pengurangan dan soal cerita pecahan
Pembelajaran menyelesaikan soal cerita pecahan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT membutuhkan persiapan yang matang. Persiapan yang perlu dilakukan oleh guru meliputi:
1. Menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang di dalamnya memuat Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, Indikator, Tujuan pembelajaran materi pembelajaran, dan aspek lain yang dibutuhkan dalam pembelajaran.
2. Membuat media, kartu soal, LKS (Lembar Kerja Siswa), lembar penilaian kelompok dan sebagainya.
Adapun tahapan-tahapan dalam pengimplementasian model pembelajaran kooperatif TGT mengenai materi penjumlahan, pengurangan dan soal cerita pecahan adalah sebagai berikut:
Langkah 1 : Tahap Menyampaikan Informasi (Presentasi Klasikal)
Guru menjelaskan materi pembelajaran penjumlahan, pengurangan, dan soal cerita pecahan dengan menggunakan media gambar pecahan. Penjelasan materi pembelajaran oleh guru sebagai berikut :
a) Penjumlahan pecahan berpenyebut sama
b) Penjumlahan berpenyebut tidak sama
Kue Mina Kue Wayan Kue Mina dan Wayan
Untuk menyemakan penyebutnya carilah KPK dari 2 dan 4. KPK dari 2 dan 4 adalah 4.
= = sehingga + = + =
c) Pengurangan berpenyebut sama
d) Pengurangan soal cerita pecahan berpenyebut tidak sama
Bu Mia mempunyai pita yang panjangnya m. Diberikan kepada Devi m. Berapa meter pita Bu Mia sekarang? Untuk menentukan panjang pita Bu Mia setelah dipotong kita harus mengurangkan panjang pita mula-mula dengan panjang pita yang diberikan kepada Devi, yaitu -
Diketahui : Pita Bu Mia m, diberikan Devi m
Ditanya : Sisa pita Bu Mia
Jawab : - = ...
Untuk mengurangkan kedua pecahan berpenyebut tidak sama, kita harus menyamakan penyebut kedua pecahan tersebut. Setelah penyebutnya sama, kita tinggal mengurangkan kedua pembilang dari pecahan-pecahan tersebut, sedangkan penyebutnya tetap.
Agar lebih jelas, perhatikan uraian berikut.
- = - = - = (KPK dari 8 dan 4 adalah 8)
Jadi, panjang pita Bu Mia sekarang adalah m.
Langkah 2: Tahap Pembentukan Tim atau Pengorganisasian Siswa (Kelompok)
Guru membentuk kelompok-kelompok kecil beranggotakan 4 sampai 6 orang siswa. Pembentukan kelompok bersifat heterogen baik dalam hal jenis kelamin maupun kemampuan akademik yang terdiri dari kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Guru juga membagikan LKS (Lembar Kerja Siswa) untuk masing – masing kelompok yang nantinya akan didiskusikan di setiap kelompoknya.
Langkah 3: Tahap Permainan (Games Tournament)
Guru membentuk suatu permainan dengan kartu soal yang berisi soal-soal tentang penjumlahan pecahan, pengurangan pecahan, dan soal cerita tentang penjumlahan dan pengurangan pecahan. Dengan tujuan untuk menguji pengetahuan siswa yang diperoleh dari presentasai kelas atau tahap sebelumnya. Permainan dilakukan sesuai dengan aturan main yang sudah dipaparkan di atas pada sintaks tahap permainan (Games Tournament). Tiap kartu soal mempunyai skor tergantung pada tingkat kesulitan soal. Soal tentang penjumlahan dan pengurangan pecahan berpenyebut sama mempunyai skor 10 tiap satu nomor soal dijawab benar. Soal tentang penjumlahan dan pengurangan pecahan berpenyebut tidak sama mempunyai skor 30. Dan soal cerita penjumlahan dan pengurangan pecahan mempunyai skor 50 tiap nomor yang dijawab benar.
Kartu Soal
Penjumlahan Pecahan :
+ = ...
Skor : 10
Kartu Soal Pengurangan Pecahan :
- = ...
Skor : 30
Kartu soal cerita pecahan :
Adik membeli kue 2 bagian kemudian diberikan temannya bagian. Berapa sisa kue adik?
Skor : 50
Kartu Soal
Penjumlahan Pecahan :
+ = ...
Skor : 10
Kartu Soal Pengurangan Pecahan :
- = ...
Skor : 30
Kartu soal cerita pecahan :
Adik membeli kue 9 bagian kemudian ibu membelikan adik kue yang sama bagian. Berapakah kue adik?
Skor : 50
Langkah 4: Tahap Pemberian Penghargaan Kelompok
Guru menjumlahkan skor anggota setiap kelompok, kemudian guru mencari rata – ratanya. Dari skor rata-rata kelompok ini guru dapat memberikan penghargaan kepada setiap kelompok berdasarkan kriteria seperti pada tabel berikut.
Kriteria Penghargaan untuk Kelompok
No Kriteria (Rata–rata Kelompok Predikat
1 X < 15 -
2 15= X <20 Kelompok Cukup
3 20= X <25 Kelompok Baik
4 25 = X Kelompok Sangat Baik
Kelompok terbaik akan mendapatkan penghargaan dari guru berupa hadiah dan pujian untuk menambah semangat dalam belajar. Khususnya dalam meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita pecahan.
2.5 Situasi Ideal Model Pembelajaran Kooperatif TGT
Situasi ideal dari Model Pembelajaran Kooperatif TGT ini dapat diterapkan pada semua materi pembelajaran matematika karena penerapan model pembelajaran dapat dikatakan mudah dan pada tahap awal, guru berperan untuk menyampaikan materi yang akan di ajarkan sehingga model pembelajaran ini dapat diterapkan pada semua materi matematika. Dan dilanjutkan dengan tahap pembentukan kelompok, lalu tahap permainan dan yang terakhir tahap pemberian penghargaan kelompok.
Pembagian kelompok dalam model pembelajaran kooperatif tipe TGT dilakukan secara heterogen, baik dari segi kemampuan , jenis kelamin maupun kekarakteristik yang lain. Oleh karena itu, model pembelajaran kooperatif tipe TGT sangat tepat untuk diterapkan pada siswa yang memiliki karakteristik heterogen agar dalam proses pembelajaran berlangsung secara efektif dan efisien.
2.6 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif TGT
1. Kelebihan Model Pembelajaran Kooperatif TGT
a) Model pembelajaran kooperatif TGT tidak hanya membuat peserta didik yang cerdas (berkemampuan akademis tinggi) lebih menonjol atau aktif dalam pembelajaran, tetapi peserta didik yang berkemampuan akademi rendah juga ikut aktif .
b) Siswa tidak terlalu bergantung kepada guru dan lebih percaya diri untuk berfikir mandiri, menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar bersama siswa lainnya.
c) Mengembangkan kemampuan mengungkapkan ide secara verbal dan membandingkan dengan ide – ide orang lain.
d) Dapat mengurangi sifat individualistis siswa.
e) Dalam model ini, siswa memiliki dua bentuk tanggung jawab belajar. Yaitu belajar untuk dirinya sendiri dan membantu sesama anggota kelompok untuk belajar.
f) Mendidik siswa untuk berlatih bersosialisasi dengan orang lain.
g) Motivasi belajar lebih tinggi.
2. Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif TGT
a) Dalam model pembelajaran ini, dibutuhkan waktu yang relatif lama.
b) Siswa yang memiliki kemampuan lebih akan merasa terhambat oleh siswa yang berkemampuan kurang.
c) Sulitnya pengelompokan siswa yang mempunyai kemampuan heterogen dari segi akademis.
d) Masih adanya siswa berkemampuan tinggi kurang terbiasa dan sulit memberikan penjelasan kepada siswa lainnya.
2.7 Upaya Optimalisasi
Didalam setiap pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidaklah selalu berjalan dengan mulus karena disebabkan oleh suatu hal, meskipun sebelumnya rencana telah dirancang sedemikian rupa. Kunci dari model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Teams Games Tournament) adalah adanya suatu kegiatan game tournament yang bertujuan untuk meningkat motivasi belajar siswa dan yang terpenting dalam model pembelajaran ini guru akan memberikan penghargaan berupa hadiah / pujian untuk kelompok yang terbaik atau kelompok yang mendapatkan skor tertinggi.
Adapun hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran terutama dalam penerapan model pembelajaran kooperatif diantaranya adalah sebagai berikut. (1) Kurangnya pemahaman guru mengenai penerapan pembelajaran kooperatif, (2) Jumlah siswa yang terlalu banyak yang mengakibatkan perhatian guru terhadap proses pembelajaran relatif kecil sehingga yang hanya segelintir orang yang menguasai arena kelas, yang lain hanya sebagai penonton, (3) Kurangnya sosialisasi dari pihak terkait tentang tipe pembelajaran kooperatif, (4) Kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran, dan (5) Terbatasnya pengetahuan siswa akan sistem teknologi dan informasi yang dapat mendukung proses pembelajaran.
Agar pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat berjalan dengan baik, upaya yang harus dilakukan adalah sebagai berikut. (1) Guru senantiasa mempelajari teknik-teknik penerapan model pembelajaran kooperatif di kelas dan menyesuaikan dengan materi yang akan diajarkan, (2) Pembagian jumlah siswa yang merata, dalam artian pembagian kelompok bersifat heterogen, (3) Diadakan sosialisasi dari pihak terkait tentang pembelajaran kooperatif tipe TGT (Teams Games Tournament) dan (4) Meningkatkan sarana prasarana pendukung pembelajaran .
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Model pembelajaran kooperatif Teams Games Tournaments (TGT) merupakan tipe pembelajaran yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement. Ada beberapa teori yang melandasi model pembelajaran kooperatif tipe TGT, yaitu: (1) Teori Belajar Piaget, (2) Teori Belajar Sosial Albert Bandura, dan (3) Teori Pembelajaran Sosial Vygotsky. Menurut Slavin (dalam Purwati, 2010) ada 4 langkah utama dalam TGT, yaitu Tahap Menyampaikan Informasi (Presentasi Klasikal), Tahap Pembentukan Tim atau Pengorganisasian Siswa (Kelompok), Tahap Permainan (Games Tournament) dan Tahap Pemberian Penghargaan Kelompok. Situasi ideal model pembelajaran kooperatif TGT ini dapat diterapkan pada semua materi pembelajaran matematika karena penerapan model pembelajaran dapat dikatakan mudah dan pembagian kelompok dilakukan secara heterogen, baik dari segi kemampuan, jenis kelamin maupun kekarakteristik yang lain. Adapun kelebihan dari model pembelajaraan kooperatif TGT adalah tidak hanya membuat peserta didik yang cerdas (berkemampuan akademis tinggi) lebih menonjol atau aktif dalam pembelajaran, tetapi peserta didik yang berkemampuan akademi rendah juga ikut aktif . Dan kekurangan dari model pembelajaran kooperatif TGT adalah membutuhkan waktu yang relatif lama.
3.2 Rekomendasi
Adapun rekomendasi yang dapat ditawarkan melalui makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Bagi Sekolah diharapkan dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif Teams Games Tournament (TGT), dengan cara mengadakan kompetisi dalam sekolah berupa perlombaan antar kelas. Sehingga siswa akan lebih semangat untuk belajar.
2. Bagi guru diharapkan dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif Teams Games Tournament (TGT), dengan cara mempersiapkan soal-soal yang menurut pandangan guru soal tersebut masih belum dipahami oleh siswa dan memberitahukan materi apa yang akan diadakan games turnamen. Sehingga, dengan adanya informasi game turnamen tersebut aktivitas belajar siswa di rumah dan di sekolah akan meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, Nyimas, dkk. 2009. Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Erman Suherman,dkk.2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia.
Gunter, Mary Alice.1990.Instruction A Models Approach.New York: Allyn and Bacon
Lie, Anita.2002. Cooperatif Learning : Mempraktikkan Cooperatif Learning di Ruang Kelas.Jakarta:GRasindo
Slavin, Robert E.1995. Cooperatif Learning Theory Research and Practise. Boston:Allyn &Bacon
Supardi, Suparman. 2010. Gaya Mengajar yang Menyenangkan Siswa. Yogyakarta: PINUS Book Publisher.
Trianto.2000.Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.
TUTOR SEBAYA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Rasional
Fadjar Shadiq (2009:1) Tujuan, materi, proses, dan penilaian pembelajaran matematika di kelas akan selalu menyesuaikan dengan tuntutan perubahan zaman. Dengan demikian metode, model, pendekatan, dan strategi pembelajaran matematika yang digunakan guru di kelas akan ikut menentukan keberhasilan pencapaian tujuan pelajaran matematika. Permendiknas No 22 Tahun 2006 (Depdiknas, 2006) menyatakan bahwa pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Formulasi lima tujuan pelajaran matematika di atas menunjukkan pentingnya memfasilitasi para siswa SMP untuk mempelajari kemampuan berpikir
Proses pembelajaran di kelas kurang meningkatkan aktifitas siswa terutama dalam pembelajaran matematika. Salah satu faktor yang sangat mendukung keberhasilan guru dalam proses belajar adalah kemampuan guru dalam menerapkan metode pembeajaran. Dalam pembelajaran matematika, sebenarnya telah banyak upaya yang dilakukan guru untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Disisi lain yang menjadikan matematika itu dianggap siswa pelajaran yang sulit adalah bahasa yang digunakan oleh guru. Dalam hal ini tentu siswa lebih
paham dengan bahasa teman sebayanya daripada bahasa guru. Agar proses pembelajaran dapat berlangsung aktif dan menyenangkan. Salah satu pendekatan pembelajaran yang diduga mampu mewujudkan situasi tersebut adalah pendekatan dengan Metode Tutor Sebaya.
Metode pembelajaran tutor sebaya sangat membantu siswa akan lebih terbuka bebas menyampaikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi kepada temannya daripada guru, maka siswa akan lebih memahami materi dan tidak merasa enggan, takut atau malu lagi untuk bertanya.
Siswa dengan tingkat kepandaian yang tinggi dapat membantu siswa yang kurang pandai dengan mengajarkan materi atau melaksanakan bimbingan dalam menyelesaikan soal- soal atau permasalahan. Tutor sebaya dapat mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan, siswa menjadi lebih percaya diri, saling membantu antar teman, menghargai pendapat orang lain dan mau menerima kekurangan diri sendiri sebagai sesuatu yang dapat dipenuhi dengan masukan dan bantuan orang lain.
Mengajar teman sebaya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu yang sama, ia menjadi narasumber bagi yang lain. Strategi tersebut merupakan cara praktis untuk mengajar teman sebaya di dalam kelas, dan juga memberikan tambahan-tambahan kepada pengajar apabila mengajar dilakukan oleh peserta didik (Silberman,2001:74).
Ketika proses belajar dengan tutor sebaya berlangsung, terjadi pendekatan kooperatif karena tutor sebaya akan menggunakan bahasa sehari-hari dan bisa lebih akrab, sehingga pembelajar atau siswa yang dibantu oleh tutor sebaya bisa mengembangkan kemampuan dengan lebih baik untuk memahami materi. Manfaat pembelajaran dengan tutor sebaya dapat menjadikan siswa lebih senang belajar, kreatif, dan menyenangkan dalam kegiatannya karena siswa lebih mudah bertanya, lebih terbuka dengan teman sebaya daripada dengan gurunya.
1.2 Masalah
1. Bagaimana kajian filosofis pada model pembelarajan kooperatif tutor sebaya?
2. Bagaimana kajian teoritik pada model pembelarajan kooperatif tutor sebaya ?
3. Bagaiman sintaks pada model pembelarajan kooperatif tutor sebaya ?
4. Bagaimana situasi ideal pada model pembelarajan kooperatif tutor sebaya ?
5. Apa saja kelebihan dan kekurangan model pembelarajan kooperatif tutor sebaya ?
6. Upaya apa yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil belajar pada model pembelajaran kooperatif tipe tutor sebaya dalam pembelajaran matematika?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui kajian filosofis didalam model pembelarajan kooperatif tutor sebaya.
2. Mengetahui kajian teoritik didalam model pembelarajan kooperatif tutor sebaya.
3. Mengetahui sintaks pada model pembelarajan kooperatif tutor sebaya.
4. Mengetahui situasi ideal pada model pembelarajan kooperatif tutor sebaya.
5. Mengetahui kelebihan dan kekurangan model pembelarajan kooperatif tutor sebaya.
6. Mengetahui upaya apa yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil belajar pada model pembelajaran kooperatif tipe tutor sebaya dalam pembelajaran matematika.
BAB II KAJIAN FILOSOFIS
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatur bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Artinya, pendidikan harus menjadikan manusia memiliki kecakapan hidup dan bisa hidup bermasyarakat.
Agar bisa hidup dimasyarakat, manusia harus menyadari dirinya menjadi mahluk sosial yang saling bergantung atau saling memerlukan. Selama hidup di masyarakat, mereka harus menyadari bahwa pemikiran banyak orang akan jauh lebih baik daripada pemikiran sendiri. Selain itu, manusia harus menyadari dirinya akan lemah bila berada dalam posisi sendiri, sehingga memerlukan teman lain untuk dapat mengerjakan pekerjaan yang lebih besar.
Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengupayakan seorang siswa mampu mengajarkan kepada peserta lain. Mengajar teman sebaya memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu yang bersamaan, ia menjadi nara sumber bagi peserta
lainnya. Pengorganisasian pembelajaran dicirikan siswa yang bekerja dalam situasi pembelajaran kooperatif didorong untuk bekerja sama dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugasnya. Mereka akan berbagi penghargaan bila mereka berhasil sebagai kelompok.
Ciri-ciri pembelajaran kooperatif, antara lain: (1) siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya; (2) kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah; (3) bilamana mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, serta jenis kelamin yang berbeda; dan (4), penghargaan lebih berorientasi kelompok dari pada individu.
Manfaat pembelajaran kooperatif bagi siswa antara lain: (1) meningkatkan kemampuan bekerjasama dan bersosialisasi; (2) melatih kepekaan diri, empati melalui variasi perbedaan sikap dan prilaku; (3) mengurang rasa kecemasan dan menumbuhkan rasa percaya diri; (4) meningkatkan motivasi belajar, harga diri dan sikap prilaku yang positif, sehingga siswa akan tahu kedudukannya dan belajar untuk saling menghargai satu sama lain; (5) meningkatkan prestasi belajar dengan menyelesaikan tugas akademik, sehingga dapat membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit.
Model pembelajaran tutor sebaya merupakan (peer teaching) salah satu alternatif yang dapat diterapkan kepada siswa dalam proses belajar mengajar. Siswa cenderung merasa takut dan tidak berani untuk bertanya atau mengeluarkan pendapatnya kepada guru, tetapi siswa akan lebih suka dan berani bertanya atau mengeluarkan pendapatnya tentang materi pelajaran kepada temannya atau siswa lain. Sehingga dengan diterapkannya model pembelajaran tutor sebaya ini diharapkan dapat membantu siswa untuk dapat menerima materi pelajaran.
BAB III KAJIAN TEORITIK
Cooperative Learning (pembelajaran kooperatif) yaitu pembelajaran yang mengacu pada tiga tujuan interaksional yakni hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman dan pengembangan keterampilan sosial (Mustanin, 2000: 6).
Pembelajaran kooperatif berbeda dengan metode diskusi yang biasanya dilaksanakan di kelas, karena pembelajaran kooperatif menekankan pembelajaran dalam kelompok kecil dimana siswa belajar dan bekerjasama untuk mencapai tujuan yang optimal. Pembelajaran kooperatif meletakkan tanggungjawab individu sekaligus kelompok, sehingga diri siswa tumbuh dan berkembang sikap dan perilaku saling ketergantungan secara optimal. Kondisi ini dapat mendorong siswa untuk belajar, bekerja dan bertanggungjawab secara sungguh- sungguh untuk mencapa tujuan yang telah ditetapkan.
Menurut Muslimin Ibrahim (2000: 6) unsur-unsur pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:
1. Siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka sehidup sepenanggungan bersama.
2. Siswa bertanggungjawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya seperti milik mereka sendiri.
3. Siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalam kelompoknya memiliki tujuan yang sama.
4. Siswa haruslah membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompoknya.
5. Siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/penghargaan yang juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok.
6. Siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membuthkan ketrampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
7. Siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
ciri-ciri pembelajaran menggunakan model kooperatif adalah sebagai berikut:
1. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya.
2. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah.
3. Bilamana mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin berbeda-beda.
4. Penghargaan lebih berorientasi kelompok dari pada individu.
Metode tutorial teman sebaya adalah metode pembelajaran dimana siswa berkelompok berpasangan dua orang, seorang dari pasangan itu mengulangi menjelaskan materi pelajaran yang diterima dari sajian guru kepada pasangannya, kemudian pasangan yang mendengar sambil membuat catatan-catatan kecil, kemudian bergantian peran sampai keduanya jelas dan memahami materi pembelajaran (Ekowati, 2004).
Pembelajaran Cooperative Learning dengan metode Tutorial teman sebaya akan memberikan hasil yang sangat memuaskan karena proses belajar terjadi berulang-ulang (operant conditioning). Menurut Skiner, operan conditioning ini cukup efektif karena melalui proses pengulangan yang terus menerus antar pasangan dihadapkan pada masalah yang sama dan pengalaman temporal yang terus menerus maka mereka akan lebih mudah untuk mengenal dan mengingat, karena ada ketergantungan positif antara siswa yang pandai, sedang dan kurang.
Teori Pembelajaran Sosial Vygotsky
Teori Vygotsky menekankan pada aspek sosial daripada pembelajaran. Menurut Vygotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menagani tugas- tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas itu masih dalam zone of proximal development anak yaitu daerah tingkat perkembangan sedikit diatas perkembangan anak saat itu. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan dan kerja sama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap kedalam individu tersebut.
Pemikiran Vygotsky sama dengan pemikiran Piaget bahwa anak membentuk pengetahuan sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Vygotsky yakin bahwa perkembangan tergantung pada faktor biologis yang menentukan fungsi- fungsi elementer memori, atensi, persepsi dan stimulus respon, serta tergantung pada faktor sosial yang sangat penting artinya bagi perkembangan fungsi mental lebih tinggi untuk perkembangan konsep, penalaran logis, dan pengambilan keputusan.
SINTAKS
Sintaks Pembelajaran Tutor Sebaya
Langkah-langkah model pembelajaran tutor sebaya dalam kelompok kecil ini adalah sebagai berikut.
1. Pilihlah materi yang memungkinkan materi tersebut dapat dipelajari siswa secara mandiri. Materi pelajaran di bagi menjadi sub-sub materi (segmen materi).
2. Bagilah siswa menjadi kelompok-kelompok kecil yang heterogen, sebanyak sub-sub materi yang akan disampaikan guru. Siswa-siswa pandai disebar dalam setiap kelompok dan bertindak sebagai tutor sebaya.
3. Masing-masing kelompok diberi tugas mempelajari satu bab materi. Setiap kelompok di pandu oleh siswa yang pandai sebagai tutor sebaya.
4. Beri mereka waktu yang cukup, baik di dalam kelas maupun di luar kelas.
5. Setiap kelompok melalui wakilnya menyampaikan sub materi sesuai dengan tugas yang telah diberikan. Guru bertindak sebagai nara sumber utama.
6. Setelah kelompok menyampaikan tugasnya secara berurutan sesuai dengan urutan sub materi, beri kesimpulan dan klarifikasi seandainya ada pemahaman siswa yang perlu diluruskan.
IMPLEMENTASI
Kelas/Semester : Mata Pelajaran : Topik :
VII/1
Matematika
Himpunan
• Irisan Dua Himpunan
• Gabungan Dua Himpunan
Guru menjelaskan Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi Dasar
Guru menjelaskan Tujuan Pembelajaran
Guru menjelaskan Materi Pembelajaran
Sub materi pertama yaitu Irisan himpunan A dan B adalah suatu himpunan yang anggotanya merupakan anggota himpunan A dan sekaligus merupakan anggota himpunan B. Notasi:
Contoh :
Dalam suatu kelas yang terdiri dari 40 siswa ternyata 24 siswa gemar basket, 30 siswa gemar tenis, dan 2 siswa tidak gemar kedua jenis olah raga tersebut. Berapakah siswa yang gemar basket dan tenis?
Jawab:
Misalkan S = { siswa }
B = { siswa gemar basket } T = { siswa gemar tenis }
Banyak siswa yang gemar basket dan tenis = x orang,
siswa yang gemar basket saja ada (24 – x) orang, dan yang gemar tenis saja ada (30 – x) orang, maka :
(24 – x) + x + (30 – x) + 2 = 40
24 – x + x + 30 – x + 2 = 40
54 – x + 2 = 40
56 – x = 40
- x = 40 – 56
- x = - 16
x = 16
Jadi ada 16 siswa yang gemar basket dan tenis
Sub materi kedua yaitu Gabungan himpunan A dan B adalah suatu himpunan yang anggota- anggotanya merupakan anggota A saja, anggota B saja, dan anggota persekutuan A dan B. Notasi :
Contoh:
2. Diketahui
K = { bilangan asli genap kurang dari 12 } L = { bilangan asli ganjil kurang dari 12 } Tentukan :
a. Diagram Venn-nya b. K L
Jawab :
a. Anggota K = { 2, 4, 6, 8, 10 } dan
L = { 1, 3, 5, 7, 9, 11 }
b. K L = { 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11 }
siswa dikelompokan kelompok-kelompok yang heterogen, sebanyak 2 kelompok sesuai
dengan banyaknya sub materi. Siswa-siswa pandai disebar dalam setiap kelompok dan bertindak sebagai tutor sebaya.
Masing-masing kelompok mendapat tugas mempelajari satu sub bab materi yang diberikan
guru. Setiap kelompok di pandu oleh siswa yang pandai sebagai tutor sebaya.
Siswa tutor diberikan alokasi waktu 15 menit untuk menjelaskan materi kepada teman sebayanya di masing masing kelompok.
Wakil setiap kelompok menyampaikan sub materi sesuai dengan tugas yang telah
diberikanke depan kelas. Wakil setiap kelompok juga menyampaikan masalah dan kendala
terkait sub materi sesuai dengan tugas yang telah diberikan guru ke sebagai nara sumber
utama di dalam kelas mengawasi tutor di dalam kelas
depan kelas. Guru
Siswa bertanya jawab dengan tutor terkait masalah yang ditemui siswa. Diskusi berlangsung dengan ditemani guru sebagai narasumber utama, siswa juga diperkenankan mengemukakan pendapat terkait materi, dan mengajukan pertanyaan terkait materi. Guru mendampingi siswa sebagai narasumber utama memberikan klarifikasi pada siswa
Guru kesimpulan dan klarifikasi pemahaman dan konsep-konsep siswa terkait materi yang perlu diluruskan atau pun perlu ditambahkan.
BAB V1
PEMBAHASAN
6.1 Situasi Ideal
Model pembelajaran kooperatif tipe Tutor Sebaya membahas beberapa materi yang memiliki sub sub bagian. Oleh karena itu, model pembelajaran kooperatif tipe Tutor sebaya tepat diterapkan untuk materi yang bersifat parallel , yakni sub-sub materi yang ada dapat dikaji tanpa prasyarat dan dapat dipelajari secara terpisah. Artinya, tidak ada yang menjadi prasyarat sub lain dan dan dapat dikaji bersamaan.
Pembagian kelompok dalam model pembelajaran kooperatif tipe Tutor sebaya dilakukan secara heterogen, baik dari segi kemampuan maupun karakteristik yang lain. Oleh karena itu, model pembelajaran kooperatif tipe Tutor sebaya sangat tepat untuk diterapkan saat ada siswa yang memiliki Kemampuan Lebih, baik dari segi kemampuan akademik, jenis kelamin, atau karakteristik yang lain.
Seorang tutor hendaknya memiliki kriteria sebagai berikut:
1) memiliki kemampuan akademis di atas rata-rata siswa satu kelas
2) mampu menjalin kerja sama dengan sesama siswa
3) memiliki motivasi tinggi untuk meraih prestasi akademis yang baik
4) memiliki sikap toleransi dan tenggang rasa dengan sesama
5) memiliki motivasi tinggi untuk menjadikan kelompok diskusinya sebagai yang terbaik
6) bersikap rendah hati, pemberani, dan bertanggung jawab
7) suka membantu sesamanya yang mengalami kesulitan.
Tutor atau ketua kelompok memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai berikut:
1) memberikan tutorial kepada anggota terhadap materi ajar yang sedang dipelajari,
2) mengkoordinir proses diskusi agar berlangsung kreatif dan dinamis
3) menyampaikan permasalahan kepada guru pembimbing
6.2 Kelebihan
Model pembelajaran tutor sebaya yaitu pembelajaran yang dilakukan oleh teman- temannya yang mempunyai usia hampir sebaya (Djamarah, 1995:31). Kelebihan penggunaan model pembelajaran tutor sebaya antara lain adalah:
1) Dapat melatih siswa atau dapat meningkatkan kemampuan untuk mengeluarkan pendapat dan berkomunikasi. Maksudnya pada keterampilan ini dasarnya berkenaan dengan kemampuan siswa menangkap pengertian atau makna dari apa yang didengar, dibaca, dan dilihat atau dilakukan kemudian menjelaskan penelitian atau makna hasil tangkapan dan hasil pengolahan pikiran dengan bahasa atau kata-kata sendiri sehingga dipahami oleh orang lain.
2) Dapat melatih kemampuan siswa untuk berinisiatif dan kreativitas dalam kemampuan siswa mempunyai kesediaan atau kesiapan kemampuan dan keberanian untuk melakukan suatu hal baru atau hal lain dalam menangani suatu masalah.
3) Untuk melatih kemampuan siswa untuk bekerja sama, maksudnya mempunyai semangat atau spirit dan kesediaan untuk berbuat bersama orang lain secara kompak dalam menangani suatu kegiatan yang secara sadar dirancang bersama guru untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya, tetapi dalam proses pembelajaran guru juga mengawasi dan membantu tutor sebaya dalam pembelajaran di kelas
6.3 Kekurangan
1) Siswa yang dipilih sebagai tutor dan berprestasi baik belum tentu mempunyai hubungan baik dengan siswa yang dibantu.
2) Siswa yang dipilih sebagai tutor belum tentu bisa menyampaikan materi dengan baik.
3) Tidak semua siswa dapat menjelaskan kepada temannya.
4) Tidak semua siswa dapat menjawab pertanyaan temannya.
6.4 Upaya Optimalisasi
Untuk menentukan seorang tutor ada beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh seorang siswa yaitu siswa yang dipilih nilai prestasi belajar matematikanya tinggi, dapat memberikan bimbingan dan penjelasan kepada siswa yang mengalami kesulitan dalam
belajar dan memiliki kesabaran serta kemampuan memotivasi siswa dalam belajar. Arikunto mengemukakan bahwa dalam memilih tutor perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Tutor dapat diterima (disetujui) oleh mayoritas siswa sehingga siswa tidak mempunyai rasa takut atau enggan untuk bertanya kepadanya.
b. Tutor dapat menerangkan bahan yang akan diajarkan yang dibutuhkan oleh siswa yang lain dalam kegiatan belajar mengajar.
c. Tutor tidak tinggi hati, kejam atau keras hati terhadap sesama kawan.
d. Tutor mempunyai daya kreativitas yang cukup untuk memberikan bimbingan, yaitu dapat menerangkan pelajaran kepada kawannya.
Agar model pembelajaran Metode pembelajaran kooperatif Tutor Sebaya mancapai tingkat keberhasilan yang diharapkan, saran penggunaan tutor sebagai berikut:
1. Mulailah dengan tujuan yang jelas dan mudah dicapai.
2. Jelaskan tujuan itu kepada seluruh siswa
3. Siapkan bahan dan sumber belajar yang memadai.
4. Gunakan cara yang praktis.
5. Hindari kegiatan pengulangan yang telah dilakukan guru.
6. Pusatkan kegiatan tutorial pada keterampilan yang akan dilakukan tutor.
7. Berikan latihan singkat mengenai yang akan dilakukan tutor.
8. Lakukanlah pemantauan terhadap proses belajar yang terjadi melalui tutor sebaya.
9. Jagalah agar siswa yang menjadi tutor tidak sombong.
BAB VII
PENUTUP
7.1 Simpulan
Pembelajaran dengan metode tutor sebaya adalah suatu metode pembelajaran yang melibatkan siswa menjadi pengajar setelah dipilih oleh guru berdasarkan kriteria tertentu yang didukung dengan prestasinya yang lebih tinggi dari kelompoknya untuk membantu teman-temanya sendiri yang mengalami kesulitan belajar.
Tutor Sebaya merupakan salah satu strategi pembelajaran untuk membantu memenuhi kebutuhan peserta didik. Ini merupakan pendekatan kooperatif bukan kompetitif. Rasa saling menghargai dan mengerti dibina di antara peserta didik yang bekerja bersama. Tutor sebaya akan merasa bangga atas perannya dan juga belajar dari pengalamannya. Hal ini membantu memperkuat apa yang telah dipelajari dan diperoleh atas tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Ketika mereka belajar dengan “tutor sebaya”, peserta didik juga mengembangkan kemampuan yang lebih baik untuk mendengarkan, berkonsentrasi, dan memahami apa yang dipelajari dengan cara yang bermakna. Penjelasan tutor sebaya kepada temannya lebih memungkinkan berhasil dibandingkan guru. Peserta didik melihat masalah dengan cara yang berbeda dibandingkan orang dewasa dan mereka menggunakan bahasa yang lebih akrab.
7.2 Rekomendasi
Adapun rekomendasi atau saran yang dapat kami berikan antara lain ;
1. Sebelum merencanakan pembelajaran, guru seharusnya mengetahui karakteristik dan keanekaragamaan peserta didik,sehingga mampu menerapkan metode yang dicocok dalam proses pembelajaran.
2. Dalam metode pembelajaran kooperatif Tutor Sebaya guru harus cermat dalam memilih siswa sebagai tutor sebaya, agar nantinya siswa yang dipilih memang benar mampu dan tepat dalam menjelaskan materi kepada temen yang dirasa kurang mampu.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas.. Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Depdiknas, 2006
Djamarah, S.B., . Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006
Ekowati, Endang. Model-Model Pembelajaran Inovatif Sebagai Solusi Mengakhiri Dominasi Pembelajaran Guru. Jawa Timur: STKIP PGRI JOMBANG 2004.
Fadjar Shadiq , Model-Model Pembelajaran Matematika Smp. Yogyakarta: PPPPTK, 2009
Huda, A.Q. Penerapan Model Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Peer Tutoring (Tu- tor Sebaya) untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPS Kompetensi Dasar Hidrosfer Siswa Kelas VII SMPN 07 Kota Semarang Tahun Ajaran 2008/2009. Skripsi. Semarang: FIS UNNES Milles, B.M. & Huberman, A.M. 1992
Mustanin, Nur. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: University Press.2000.
Muslimin, Ibrahim. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press.2000. Silberman, M., 101 Strategi Pembelajaran Aktif, Yogyakarta: Silberman, M. 2001
Yappendis, Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Ilmu-ilmu Pendidikan Islam, 2007 http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas/article/view/2303
Tidak ada komentar:
Posting Komentar